POV Arum
Dengan Kesibukanku dikantor sedikit aku bisa melupakan masalah yang ada dirumah, sekarang aku harus fokus memajukan lagi perusaha'an yang sudah di jalankan Tama ini, banyak sekali yang harus aku perbaiki dan aku rombak. Dari agenda kerja pendata'an dan yang lainnya. Mas Tama benar-benar tidak bisa berbuat banyak untuk perusaha'an ini. Untungnya Risa sahabatku mau di ajak bekerja sama membantuku membangun lagi perusaha'anku.
"Kamu beneran gak apa serumah dengan Luna tiga bulan lagi?" tanya Risa. Sejenak aku terdiam menghentikan tanganku mengotak atik laptop.
"Aku ingin balas mereka, tak apa tiga bulan saja, tak sabar rasanya melihat reaksi mereka betapa tidak bergunanya Tama itu," geramku menggertakkan rahang.
"Tapi gue cemaskan Lo Rum!" singkatnya, sontak aku menoleh.
"Kenapa?"
"Kematian suaminya Luna itu sangat ganjal. Orang-orang mencurigai Lunalah yang telah membunuhnya" jelas Risa, mataku membulat sembari mendegup.
"Mm-maksudmu? Dia bisa saja membunuhku gitu?"
Risa mengangguk pasti dengan wajah gundah, sontak aku tertawa geli.
"Lah kenapa?"
"Bahkan dia dirumah lembek gitu, mau aja jadi babu. Kamu tau. Bik Iyem dia tidak bekerja dan ongkang-ongkang kaki di rumah, semenjak ada Luna dan ibu mertuaku itu" jelasku panjang kali lebar. Risa sedikit terbolongo.
"Tetap aja lo harus hati-hati! Gue cuma ngingetin Lo Rum!" ujarnya lagi, aku terdiam.
"Kamu tau Psikopat 'kan? Mana kita tau Luna seperti itu?" Risa terus mengingatkan, mendadak membuatkuku sedikit gundah.
"Dah lah... kamu ini bikin aku takut aja."
"Gak ada salahnya kita hati-hati."
"Iya... Iya"
*******************
Sore berkunjung, aku pun kembali pulang ke rumah, benar saja syarat dariku sangat di terima dengan baik oleh Mas Tama dan Luna. Keduanya sangat disibukkan dengan ranjang mereka, terlihat jelas saat mereka lebih suka mengurung diri dikamar, sedangkan mertuaku tampak sibuk di dapur. Jijik sekali rasanya saat membayangkan apa saja yang mereka lakukan di kamar, tapi aku tetap mencoba tenang.
"Bik iyem... Bik, mau bawa kemana semua pakaian itu?" tanyaku melihat Bik Iyem membopong sekeranjang kain kotor.
"Itu nyah... mau di cuci!"
"Bik... kagak usah ya? Libur mbok di perpanjang hingga tiga bulan. Jadi berikan itu sama Resti ya?" ujarku sedikit lantang, Resti yang baru saja keluar dari kamar, menghembuskan nafas berat melihat tumpukan kain kotor itu.
"Oh iya Res, kamu cucinya pakai tangan aja ya? Gak bagus kalo pakai mesin cuci. Lagian kita harus menghemat, mengingat aku lebih banyak tanggungan sekarang makan kalian berlima iya kan?" ujarku. Resti menghela nafas dan membuangnya gusar mengangkat keranjang kain kotor itu ke belakang.
"Bik... Pesankan saya go food, saya lapar." Mataku melirik di meja makan, walau banyak makanan terhidangkan, aku jadi parnoan efek ucapan Risa tadi.
"Baik, Nyah."
"Dasar wanita kurang ajar! Dia perlakukan kita seenaknya!" bentak ibuk membantu Resti mencuci pakaian.
"Ini tu gara-gara ibuk, lagian Luna yang ibuk banggakan itu juga terima enaknya aja. Wajar buk, mbak Arum kek gini ama kita," gerutu Resti.
"Dia wanita yang tidak berguna! Harusnya dia itu pasrah dan ikhlas. Toh keluarganya juga sudah gak ada! Emang dasar dia itu mau jadikan kita babunya. Sialan!" gerutu ibuk, aku mengabaikan dan berlalu lagi ke teras ingin menenangkan diri. Kehadiran mereka semua membuat aku terasa sesak.
Ping...!
Bunyi notif pesan, aku membuka pesan w*****p yang dikirim Risa. Sedikit aku menggeleng dengan tertawa renyah melihat ia kirimkan foto hadi, cowok yang sempat aku taksir waktu jaman kuliah.
[Hadi permana, dia Duda anak satu. CEO GREE company] tulis Risa, aku melihat seksama gambar Hadi, benar dari dulu pesonanya memang berkelas dimataku.
[Dia gak mau kali sama gua...wkwkwk] tulisku dengan senyum.
[Biar gua yang atur!] tulisnya, aku semakin menggeleng-geleng liat tingkah sahabatku yang segitunya hanya untuk menghibur. Namun buyar fokusku pada layar ponsel saat Luna dan Tama keluar dari kamar, dengan pakaian wanita itu yang terkesan seksi, rambut acak-acakan bergelayut di pundak Tama, mungkin sengaja bikin aku panas. Yang ada aku jijik.
"Mas, kita makan ya laper," rengeknya, Tama mengajaknya ke meja makan.
"Eits... kalian mau kemana?" tanyaku, sontak saja dua orang itu berhenti dan membalik. Mereka terdiam tak mau berucap.
"Enak aja bangun tidur langsung makan! Tuh! Lihat masih banyak kerja'an. Dan kamu mas, katanya pagi tadi, kamu minta kerja'an sama aku 'kan? Kamu urus kebon gih. Itung-itung membayar makan kalian berlima," ujarku, Luna menggertakkan giginya. Aku mendekat sama sekali aku tidak takut dengan wanita itu.
"Setrika pakaiaan, menyapu dan mengepel! Pekerja'an masih banyak begitu, enak kali tinggal minta makan!" hardikku, Luna gemetar ingin bilang sesuatu namun aku sanggah dengan hardikan.
"Lakukan saja! Atau aku lupakan persyaratan itu!" bentakku, Luna menghela nafas berat dan berlalu mengerjakan pekerja'an yang aku suruh.
"Istrimu nurut juga ya mas? Tamak tepatnya! Dia rela jadi babu tiga bulan ini untuk mendapatkan kembali hartamu!" desisku meledek. Mas Tama kesal melihat wajahku dan memilih berlalu pergi. Sedangkan aku hanya tersenyum simpul.
Mas Tama. Benarkah semuanya sudah tidak tersisa lagi, sepertinya sekarang wanita itu lebih berarti bagimu dari apapun. Sedikit aku tepiskan hati yang kebawa perasa'an ini dan beranjak ke kamar.
*******************************
Dua tahun yang lalu......
"Istrimu itu sudah tidak berguna Tama, ibu tak habis pikir kenapa kamu begitu mencintainya. Dengar! Ibu bisa carikan pengganti wanita subur yang lebih baik dari Arum, kamu lupakan saja dia," ujar ibuk berbisik pada Mas Tama. Tak sengaja aku menguping.
"Gak, buk, Tama cinta sama Arum. Tama yakin suatu saat nanti Arum akan mengandung. Tama mohon buk, jangan sakiti Arum dengan bahas ini lagi di depannya," ujar mas Tama, dengan sedikit nada memohon. Terlihat jelas waktu itu dia sangat menghargai perasa'anku, mungkin rasa jenuh dan bosannya membuat cintanya memudar. Lantas bagaimana nanti jika dia tau kalau yang tidak subur itu bukan aku. Melainkan dia. Sudahlah, semua sudah terlanjur. Jika seandainya mas Tama tidak menikahi wanita itu, mungkin aku juga di uji dengan permasalahan baru harus menerima pria yang tidak berguna seperti dia. Takdirnya sudah benar. Tuhan memang tak pernah salah.
*************************
Siang ini Risa membawaku ke sebuah cafe di jam istrihat kantor. Sahabatku yang satu ini, memang mak comblang papan atas. Aku sedikit nervous melihat pria yang duduk di meja nomor delapan. Tampak menunggu setelan jas CEO, muka mulus persegi dengan gaya rambut klimisnya, mendadak membuatku salah tingkah menghadapinya.
"Maaf Hadi... kami terlambat," ucap Risa dengan nyengir dan membawaku menghenyak duduk.
"Tak apa. Aku juga belum lama," balasnya sambil tersenyum melirikku.
"Sudah lama kali kita tidak bertemu Arum," ujarnya mengulurkan tangan untuk bersalaman, gemetar aku menjangkau jabatan tangannya. Senyum manis pria itu membuat aku hanyut. Kembali aku tarik secepat mungkin dan tersenyum simpul.
"Ini.. Mm-memang sudah sangat Lama. Aku tidak menyangka kamu jadi orang hebat gini Hadi," ujarku, Pria itu tersenyum simpul lagi tertunduk.
"Sama saja.. Semua orang juga hebat Arum, sama sekali aku tidak merasa hebat dengan gelarku," ujarnya, cara bicaranya yang sopan dan merendah seketika hatiku jadi hangat.
"Jadi kapan? Kamu punya waktu berdua saja sama Arum Hadi? Itupun kalau kamu gak sibuk?" lontar Risa, reflek aku mencubit pinggangnya, mas Hadi tampak terkekeh.
"Berharapnya sih aku punya banyak waktu. Tapi bagaimana dengan Arum? Apa dia punya waktu untuk jalan?" tanyanya, sontak aku Kikuk tak sanggup melihat matanya.
"Aku...mm-," ucapku di cegat oleh Risa dengan spontan.
"Dia punya waktu kapan saja kok Hadi, Kamu tinggal bilang aja kapan, Di kantor aku bisa handle semuanya, justru CEO sepertimu yang tak punya banyak waktu," jelasnya, reflek aku menoleh pada Risa dengan mata membulat. Sahabatku itu hanya menyengir.
"Baiklah, bagimana dengan akhir pekan ini?" tanyanya menohokkan pandangan padaku. Aku nanar melihat matanya.
"Iiih jawab!" bisik Risa mencubitku.
"Biss-a," singkatku, gundah juga. Entah kenapa aku belum siap untuk kehadiran pria lain di hidupku.
"Bb-baiklah silahkan di minum jusnya," pinta Hadi, reflek aku menyeruput jus itu entah kenapa aku gerah. Kondisi tubuhku jadi panas dingin karna ulah sahabatku itu.
*********""********
"Ih Risa!, kamu gak perlu kali lakuin semua itu!" bentakku saat kami kembali ke kantor. Risa terkekeh.
"Tak apa gue sengaja biar lo gak melulu di streskan oleh orang-orang laknat itu di rumah."
"Ya tapi kan jangan Hadi juga...?!" geramku tak habis pikir.
"Kenapa? Dia orangnya keren gitu! Tajir lagi," singkat Risa, sejenak aku terdiam.
"Say.. Lo pantes untuk dapatkan kebahagia'an lo. Gue yakin Hadi adalah pria yang cocok, Lo kenal cukup baik dia. Dan sempat suka juga kan ama dia?" tanya Risa, pikiranku jauh membayangkan ke jaman SMA, seorang Hadi teman satu kelas yang kutu buku. Kami begitu dekat tapi aku tak pernah berani mengungkapkan perasa'anku padanya, hingga rasa itu pun hilang saja tertelan oleh waktu.
**********
Satu minggu berlalu hari yang kami sepakati pun telah tiba di hari ini. Malam ini Hadi akan menjemputku ke rumah. Tadinya aku tidak mau Hadi menjemputku, karena mas Tama dan ibuk ada dirumah. Tapi kembali Risa yakinkan aku, bahwa sekarang Tama dan ibuk mertuaku tak pantas lagi untuk dihargai.
Tin ....tin ....!
Bunyi klason mobil pajero nangkring didepan rumah, sontak saja mas Tama keluar memeriksa siapa yang datang, aku yang sudah dandan secantik mungkin keluar menghampiri Hadi yang turun dari mobil. Jelas aku dapat melihatnya karena pintu rumah terbuka. Sedangkan letak kamar aku dan pintu utama satu arah. tepatnya lurus, sehingga jika pintu kamarku terbuka, dan pintu rumah terbuka ada tamu, aku dapat melihatnya.
" Arum, kamu mau kemana? Siapa dia?"tanya Mas Tama, aku tidak peduli terus saja berjalan ke arah mobil mas Hadi. Mas Hadi membukakan pintu mobil untukku. Dia tidak akan kaget dengan adanya Mas Tama. Sebab, Risa sudah menceritakan semua tentangku padanya.
"Nyonyah.. Ini ponselnya ketinggalan!" teriak Bik iyem bergegas mendekatiku.
"Makasih ya, Bik."
"Arum kamu mau kemana?" tanya mas Tama lagi, dengan sedikit melirik Hadi. Aku tak enak hati pada mas Hadi dan membawa mas Tama menjauh.
"Kamu apa-apa'an sih mas, pakai cegat aku mau pergi segala! Sudah sana! Urus saja istrimu, bukannya kalian harus deadline bikin anakya?" ledekku, mas Tama tampak mengusap wajahnya gusar. Aku beranjak meninggalkan dia dan menghampiri Hadi.
"Kita bisa berangkat?"
Aku mengangguk dengan senyum saat mas Hadi membukakan pintu.
***************
"Tama sepertinya cembura sekali ya?" tanya mas Hadi di atas mobil, sontak saja aku menoleh memandangnya heran.
"Kamu tau dari mana nama mas Tama?"
"Risa sudah cerita semuanya," singkatnya, aku berdecih.
"Anak itu...." geramku, mas Hadi terkekeh. Aku melirik mas Hadi sesekali yang terlihat tertawa renyah. Pura-pura saja. Sebab aku sudah tahu Risa pasti bercerita.
"Mas kamu menertawakan apa?"
"Lucu aja, setelah dengar cerita dari Risa," ucapnya masih dengan senyum merekah. Aku menaiki alis dan menyandar dengan nafas tersengal, tu anak sepertinya udah cerita semua.
"Oh iya, kita mau jalan kemana ini?" tanyanya, aku kembali mengangkat punggungku itu dan duduk dengan baik lagi.
"Aku udah lama gak makan kepiting saos, kita cari restoran kepitinng ya?" ujarku.
"Baik?"
**********************
"Maaf Arum jika aku lancang bertanya. Kenapa Tama masih tinggal bersamamu setelah semua ini?" tanyanya, saat kami sudah berada di restoran. Aku terdiam untuk sesaat.
"Aku ingin balas mereka, aku ingin lihat wajah tertunduk dan betapa tidak bergunanya Tama itu!" jelasku.
"Kamu benaran udah bisa lupakan Tama?" tanyanya, aku terdiam.
"Lupain kayak gimana maksudnya, aku sudah relakan dia!" singkatku menatap wajah Hadi hangat.
"Kamu wanita yang hebat, bertahan dengan pria buruk itu selama delapan tahun," ujar mas Hadi, aku sedikit tersipu mencuil daging kepiting yang sudah aku buka cangkangnya. Karena tak lama memesan, pesanan kami sudah datang. Mungkin gerak cepat.
"Kamu kenapa gak makan?" tanyaku.
"Aku alergi kepiting!" singkatnya, aku terdiam dan sontak menatap wajahnya.
"Oh, iya aku lupa!" desisku tepuk jidat, Hadi terkekeh.
"Lagian kamu kenapa gak bilang sih Di?"
"Aku mau nyenengin kamu malam ini Arum, ya udah kamu makan aja ya? Nanti kita cari cemilan."
"Makasih ya, dari dulu kamu tu emang so sweet tau gak sih Hadi," ujarku. Hadi tersenyum. Menatapku hangat.
"Iya kenapa tak dari dulu saja kamu bilang kalo kamu suka sama aku,"ujarnya, mataku terbelalak. Hadi terkekeh.
"Risa....!" batinku berteriak.
"Eng-gak kok...," desisku tertunduk. Hadi tersenyum manis dan membuat aku semakin malu.
"Kenapa? Kita sudah cukup dekat waktu itu. Kenapa kamu tidak mau jujur?" tanyanya, aku kikuk menengguk air putih.
"Itu gak benar Hadi, Risa itu ngada-ngada!" singkatku kembali memakan hidangan kepiting yang ada di depan meja. Hadi tersenyum manis sembari melipat lengannya di atas meja.
"Ya udah, terserah! Kamu habisin makanannya. Lalu, kita bisa ke tempat lain," timpalnya, aku kembali menatap matanya.
"Kemana?" tanyaku, kembali Hadi terkekeh melihat raut wajahku.
"Kemana aja! Kamu tenang aku bukan pria-" ucapan Hadi aku cegat.
"Aku tau maksudku bukan itu, emang salah aku nanya kemana?"
"Ya udah.. Makan lagi habiskan, sayang 'kan kalo di buang," tutupnya.
"Baik."
**********
"Kamu masih suka tempat ini?" tanyaku saat Hadi mengajakku ke tepi sungai di bawah jembatan, deretan rumah yang pemulung dan pengemis tampak di bangun sepanjang kolong jembatan di atas tampak kerlap-kerlip lampu dari mobil yang berlalu lalang.
"Gimana gak suka, kamu tau kan mbok Kasrih dia yang merawat dan membesarkan aku disini," desisnya, hatiku terhanyuh dan menatapnya hangat.
"Mbok Kasrih hebat, dia menjadikanmu sukses begini," ucapku, Hadi tertunduk sembari menggeleng.
"Mbok Kasrih memang wanita yang hebat, dia menyekolahkanku hingga tamat SMA, namun dia keburu meninggal. Beruntungnya keluargaku menemukanku seminggu sebelum dia meninggal," jelasnya, aku menautkan alis melihat matanya.
"Keluarga?"
"Ya, keluargaku, aku juga terkejut, Rum. Mbok Kasrih bilang dia menemukanku di kolong jembatan ini. Aku diculik dan maling itu kebingungan saat dikejar polisi, dia meletakkanku di gubuknya mbok Kasrih," jelasnya. Aku gak nyangka perjalanan hidup Hadi juga cukup berliku.
"Papa prustasi mencariku kemana-mana, hingga mama stres bertahun-tahun untung saat aku kembali beban mentalnya kembali membaik," jelasnya, aku teranyuh dan bernapas lega.
"Syukurlah, mereka bisa kembali lagi bersamamu," desisku, Hadi mengangguk.
"Oh iya, kapan-kapan aku bisa kenalkan kamu pada mereka?" tanyanya, sontak aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku belum siap, lagian sekarang aku masih status istri, Tama," ujarku, Hadi mengangguk. Aku kembali menatapnya mantap.
"Risa bilang, kamu Duda? Ada apa dengan istrimu?" Hadi terkekeh dengan tawa aku menautkan alis heran melihat glegatnya.
"Istriku dia terlibat skandal perselingkuhan. Mama papa menutupi itu demi nama baik," jelasnya.
"Sekarang bagaimana? Apa dia masih tinggal bersamamu?"
"Tidak ... hanya saja perceraian kami sengaja di tutupi. Mamaku dia begitu menjaga nama baik keluarga," jelasnya, aku manggut-manggut.
"Aku pikir, aku saja di dunia ini yang punya masalah," jelasku, Hadi tersenyum.
"Itulah hidup Arum, kamu ingat saat kita main disini, aku mengajakmu belajar bareng disini, kita berenang dan bersuka hati tanpa beban. Jujur aku ingin kembali pada masa-masa itu," tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Reflek aku mengelus tangannya.
"Itu semua sudah berlalu, jujur aku juga ingin kembali ke masa itu, tapi yang perlu kita perbaiki sekarang masa depan," jelasku, Hadi menoleh menatap lekat wajahku aku mendegup melihat manik mata pria itu.
"Aku ingin melalui hari-hari itu bersamamu Arum, saat Risa menghubungi dan memberi kabar tentangmu. Aku sedikit lega, aku kangen kamu Arum, terlebih Risa bercerita tentang apa saja yang telah kamu lalui. Aku berpikir ini bukan kebetulan, kamu mau kan? Hidup bersamaku?"tanyanya. Aku sedikit mengalihkan wajah memandang pada genangan air sungai.
"Untuk kali ini, aku masih istriya, Tama Di, aku belum urus perceraian," ucapku, Hadi mengenggam tanganku erat.
"Aku akan menunggumu," lirihnya, tatapan tajamnya menembus hatiku, hatiku teranyuh dengan mata berkaca-kaca. Jujur aku capek dan lelah hati melihat glegat mas Tama dan w************n itu dirumah.
"Okey, baiklah," desisku, Hadi membawaku menyandar di bahunya. Hal yang biasa kami lakukan dulu saat menunggu mbok Kasrih pulang dari mulung.
"Oh iya Rum, kenapa waktu itu kamu tak mau ungkapkan perasa'anmu, apa karna aku hanya anak seorang pemulung?" tanyanya, aku sedikit berdecih dan mencubitnya.
"Ih, kamu ini. Aku kan cewe, masa aku yang nembak kamu duluan sih! Kamu tu yang pengecut!" kesalku mencubit pinggangnya, Hadi terkekeh dan merangkulku erat....
Aku jadi merasa kembali muda dan seolah belum menikah ....