POV LUNA
"Mbak, gantian atuh, nanti kalo mbak Arum kembali bisa habis kita," ujar Resti menghampiriku dengan memegangi Ember dan kain pel.
"Ah, kamu ini. Denger ya, justru aku ongkang-ongkang kaki begini juga bantu kalian, kamu gak tau sih kesepakatannya, Arum nantangin aku harus hamil dalam waktu tiga bulan ini. Jika aku hamil semuanya akan kembali sama mas Tama. Tapi jika tidak, bersiaplah kalian jadi gembel," gerutuku, Resti manyun tak habis pikir dengan persyaratan itu.
"Sudah sana ah... aku gak mau keguguran dengan kerja'an berat itu!" bentakku. Resti makin mengerutkan kening dan kembali me-ngpel lantai.
Haah, lega rasanya, wanita bodoh itu beri persyaratan nyeleneh. Aku benar-benar tak menyangka aku bisa memanfa'atkan keada'an ini. Tadinya, aku mau memanfaatkan mas Tama akan kehamilanku bersama Dion. Pria tampan teman satu clubku, aku tidak mau meminta pertanggung jawaban dia karena dia pria yang miskin dan tak punya masa depan sama sekali. Aku tidak mau menghancurkan masa depanku menikah dengan dia.
Tadinya aku berpikir mas Tama lebih menjanjikan dengan aset Arum dan perusaha'an, ternyata semua berbalik seperti ini. Untungnya kehamilan ini bawa Hoki. Kandunganku sekarang baru menginjak 3 minggu, Arum baik siapapun, tidak akan curiga bahwa ini bukan benihnya Tama. Tinggal menunggu kapan waktunya saja Arum meminta hasil tespekku. Tapi aku harus pintar. Sewaktu-waktu Arum bisa saja berubah pikiran. Aku harus bujuk mas Tama untuk membuat surat perjanjian tentang persayaratan ini. Aku gak mau nanti persayaratn itu hanya guyonan wanita itu belaka.
"Mas...!" panggilku saat mas Tama masuk ke rumah.
"Ya...," singkatnya mendekat.
"Mas, kamu yakin, wanita itu bakal serius dengan persyaratannya?"
"Ya yakin sih, buktinya kita masih di ijinkan tinggal disini hingga detik ini kan?"
"Mas, aku kurang yakin aja sama dia, kamu bisa bikin surat perjanjian gitu. Akan syarat yang dikasih Arum! Biar nanti kita mudah membuangnya dari rumah ini!" hasutku, mas Tama menatapku dalam.
"Buat apa Luna?"
"Mas, bisa jadi Arum yang meremehkan kejantananmu dan menganggap kamu tidak akan bisa punya anak! Kita harus bales dia mas! Saat aku hamil nanti kita bisa gantian bales dia!" ucapku sedikit membentak. Mas Tama terdiam sejenak.
"Kamu gak kasian? Itu ibuk sama Resti dan bahkan aku di jadikan b***k. Buat perjanjian yang nanti perempuan itu tanda tangani. Hingga waktunya tiba kita akan campakan dia dari rumah ini!" jelasku, Mas Tama berdesih dan mengusap wajahnya.
"Kamu yakin dia bakal tanda tangan?"
"Yakin mas! Wong dia yang buat persyaratan," tegasku, mas Tama tampak ngangguk-ngangguk.
"Baiklah...."
"Makasih mas," ujarku Riang memeluknya. Mas Tama hanya tersenyum hangat. Aku tidak peduli dengan wajah gundahnya, yang terpenting sekarang harta mas Tama akan segera kembali padaku.
******
Bunyi mobil memasuki garasi, aku melirik ke dinding baru jam sebelas siang.
"Tumben itu perempuan pulangnya cepet!" desisku bergegas duduk menyambar Kain pel yang dipegang Resti.
"Udah sana...!" bentakku berbisik, Resti beranjak menemui ibuk di kamar belakang yang sedang sibuk dengan setrika'an.
"Bik iyem!" panggil wanita itu pada pembantunya. Aku lupa tadi aku titip Geby pada Iyem. Sial! Wanita ini bakal mencerocos deh kayaknya.
"Iya nyah....!" gegas Iyem menghampiri sembari menggendong Geby. Aku melirik babu itu sembari memainkan sedikit kain pel. Nafas Arum tampak berat melihat Iyem mengurus anakkku. Namun, ia urung berceloteh untuk mencermahiku. Karena aku juga terlihat sangat sibuk.
"Mas Tama! Kamu momong Anak itu. Aku ada keperluan sama Bik Iyem!" titahnya, Mas Tama berdiri dengan sedikit menggaruk dahinya mengambil Geby dari gendongannya Iyem.
********
Sorenya, setelah mas Tama selesai membuat surat perjanjian itu lengkap dengan matrainya, kami berdua menghampiri Arum ke kamar.
"Nyah... Enak banget ya. Bibik bisa rebahan santai gini tiap hari gak ngapa-ngapain di gaji," celetuk Iyem merebah di bawah ranjang Arum. Wanita itu terkekeh ringan melirik Ijah yang rebahan di bawah beralaskan kasur lantai dan beberapa cemilan menghadap ke TV kamar Arum.
"Kapan lagi kan Bik, berasa kayak nyonya gedongan."
"Iya nyah. Ini benar-benar nikmat Tuhan yang tiada duannya nyah." Reflek keduanya terkekeh.
Tok tok tok!
Mas Tama mengetuk pintu, sontak dua orang itu menoleh ke pintu. Ternyata mereka tidak menyadari kedatangan kami yang sudah berdiri sedari tadi. Mendengar dan melihat mereka tengah bersantai. Tentu saja kami tahu, sebab pintu kamarnya tidak ditutup.
"Ada apa? Kalian salah kamar jika harus program bikin anak disini!" ledek Arum menaikan kedua alisnya melihat kami berdua. Bik Iyem menyembunyikan tawanya dalam bantal. Aku geram melihat tingkah babu itu.
"Aku mau memberikan ini. Surat perjanjian persyarstan yang kamu buat!" tutur mas Tama. Sedikit wanita itu menaikan alisnya. Ia tersenyum simpul saat membaca isi surat itu.
"Ini konyol Mas! Gak perlu pakai surat segala! Aku akan serahkan semuanya jika terbukti istrimu ini hamil!" desisnya melemparkan lagi berkas itu ke hadapan kami.
"Jika kamu serius, kamu gak perlu susah-susah untuk tanda tangan ya 'kan? Atau sengaja kamu hanya mau hina kejantanan mas Tama?" timpalku, Arum sedikit menggaruk telinganya, jelas kali celotehku membuat telinganya sakit.
"Sudah ya, Murahan! Kamu buktikan saja kehamilanmu. Jikapun benar kamu bunting aku tidak akan ingkar! Aku bukan wanita picik seperti kalian! Itupun kalo kamu bisa buktikan!" bantahnya, aku menaikan alis dan kembali menyambar kertas itu.
"Kalo begitu tanda tangan!" titahku. Lama wanita itu memandangku dengan tatapan tajam. Ia menyomot berkas itu kasar dan berkata.
"Aku tanda tangan nanti! Saat kamu memang terbukti Hamil!" geramnya melampar kertas itu. Aku dan mas Tama membulatkan mata. Wanita itu memang tangguh dan sulit sekali menjatuhkannya.
"Bik! Simpan kertas itu! Kita akan keluarkan lagi saat melihat hasil USG dan tespek wanita ini!" perintah Arum. Iyem bergegas berdiri mengambil berkas itu dan memasukkannya ke dalam lemari. Kembali wanita itu menoleh pada kami berdua.
"Sudah bereskan? Sekarang kita hanya menunggu kabar baiknya! Jadi silahkan keluar dari kamarku!" usirnya dengan pelan tapi menyayat. Aku dan mas Tama bungkam sesaat. Setelah itu memilih beranjak. Kami semua terperanjat saat mendengar teriakan Resti dari belakang histeris.
"Mas Tama!" pekiknya berteriak dalam tangis. Sontak mas Tama berlalari mencari sumber suara itu. Aku dan yang lain juga menyusul.
"Ibuk!" panggil Mas Tama terkejut melihat ibuknya pingsan di rangkulan Resti.
"Mas, ibuk tadi sempat bilang pusing, aku takut ibuk kenapa-kenapa mas?" tangis Resti tersedu-sedu. Arum yang datang menyusul juga tampak cemas.
"Ibuk, ibuk bisa dengar Tama 'kan?" panggil Tama menangis. Arum coba mendekat dan ikut juga membangunkan ibuk.
"Heeh! Kamu mau ngapain, ini kan yang kamu mau. Kamu berharap ibuk mati!" hardikku pada Arum. Wanita itu geram melirik sinis padaku. Aku coba telan kesalku melihat tatapan tajamnya.
"Mas! Ayo bawa ibu ke mobil. Kita bawa dia ke rumah sakit," pintanya. Aku mencibir melihat tingkahnya yang sok care. Mereka bertiga membopong ibuk ke atas mobil.
"Luna! Kamu ikut ya?" pinta mas Tama.
"Gak mas, aku harus jaga Geby. Kamu antar saja ya, semoga ibuk gak kenapa-kenapa!" sahutku saat mereka sudah di dalam mobil.
"Sudah mas! Buruan. Nanti malah kenapa-kenapa ini!" geram Arum. Resti yang panik hanya bisa merebah di badan ibunya itu.
"Buk...bangun. Resti mohon," tangisnya. Mobil itu berlalu pergi menuju rumah sakit terdekat.
"Fyuuuh...!" desisku merasa lega semua pergi. Sekarang aku hanya tinggal bersama Geby dan pembantu itu. Aku melirik Iyem masuk ke rumah setelah ikut juga mengantar ibuk tadi ke mobil.
"Eh Babu...!" sorakku, langkah wanita paruh baya itu terhenti dan sontak berbalik.
"Tolong bikinkan aku jus, dan ya. Bisa tolong jaga Geby. Malam ini aku mau istirahat tidur dengan nyenyak!" pintaku, Iyem kembali membalik melangkah, pasti menuju kamarnya.
"Eh kamu mau kemana? Kamu belum tau aja. Aku pengganti Nnyonya rumah ini, jadi ja-" ucapanku terhenti serentak dengan hempasan kuat pintu kamar babu itu.
"Sialan!" bisikku, aku tak peduli dengan tingkah laku budaknya Arum. Toh nanti jika aku sudah dapatkan rumah ini, aku akan pecat dia!" kesalku berlalu ke dapur membuat jus. Badanku terasa gerah akan debat berkepanjangan dirumah ini.
Segera aku menghenyak di kasur dan menoleh pada Geby yang sedang tidur nyenyak.
"Uuuh.., tak sabar rasanya saat aku sudah benar-benar dapatkan segalanya. Mas Tama sejauh ini dia masih lemah! Mungkin karrna dia masih mencintai wanita itu. Tapi aku gak boleh nyerah, aku gak peduli dengan hatinya. Toh aku bisa menyelamatkan diri dari Dion dan dapat hidup enak disini. Jadi aku harus rebut segala kekaya'an Arum ini. Wanita tidak berguna dengan mulut sampah itu sepantasnya di sentil dari kehidupan wanita berkelas sepertiku.
Drrrrt drrrrt drrrrt...!
Bunyi ponselku berdering, sontak aku menautkan alis melihat nomor baru yang masuk.
"Ini nomor siapa?" lirihku reflek menekan tombol hijau.
"Hall-o?"
"Halo Luna. Berani sekali kamu coba kabur dari aku ha! Jalang!'' hardiknya. Aku gemetar suara yang tak asing lagi di telingaku.
"Jj-jangan hubungi aku lagi! aku sudah tenang Dion! Aku tidak mau menghabiskan sisa hidup dengan pria b******n sepertimu!" bantahku. Sepertinya Dion geram. Sebab dia mengancamku.
"Aku akan cari kau sampai dapat Luna! Kau lupa? Aku telah lakukan segalanya untuk membantu karirmu bahkan membunuh suamimu! Setelah kamu bisa tenang sekarang, kamu kabur begitu saja? Tak bisa sayang. Itu tidak adil!" ledeknya, Membuat mataku terbelalak. Seluruh tubuhku gemetar.
Dion Pria yang begitu akrab dengan Dunia malam itu, punya banyak relasi tentang perusaha'an modeling yang berbagai macam. Dari model profesional hingga model esek-esek. Bodohnya, dulu aku mengkhianati ayahnya Geby untuk menjadi simpanananya, dengan syarat dia akan rekomendasikan aku sebagai model salah satu kenalannya. Hingga suatu hari Mas Arman mengetahui hubunganku dengan Dion. Aku tak punya pilihan lain selain nurut perintah Dion untuk melenyapknya. Hingga seterusnya ancamannya akan menyeret-nyeret namaku atas pembunuhan itu. Membuat aku harus tetap menjadi selir dan pemuas nafsunya. Na'as sudah nasibku. Impian jadi model juga tak kunjung sampai, yang ada aku hanya pemuas nafsu pria tak waras seperti Dion. Tapi tidak lagi, aku tak ingin menemuinya. Semoga saja dia tidak menemukanku disini. Yang ada semuanya bisa berantakan jika dia muncul.
"Oh tuhannn," lirihku mengusap wajah dengan gusar.
*****************************""*
POV Ibu
Samar-samar aku mendengar denting jam ku-usahakan untuk membuka mata di malam yang sepi ini. Bisaku rasakan sekarang aku tengah berada dirumah sakit. Sedikit miris saat aku membuka mata, pertama kali yang aku lihat adalah Arum sedang menungguku disamping ranjang. rumah sakit. Sedikit aku gerakkan tangan menjangkau Resti yang ada di sofa tengah tertidur. Merasakan gerakanku, Arum mengangkat lehernya.
"Ibuk sudah bangun?" ujarnya, sedikit aku tepiskan tangannya dengan lenganku, kekesalan akan sikapnya akhir-akhir ini, membuat aku semakin tak menyukainya. Arum coba menjauh dan membangunkan anakku Tama.
"Mas...!" panggilnya menggerakkan tubuh Tama yang melingkar di sofa.
"Mas, bangun. Ibumu sudah siuman!" ujarnya, sedikit anakku itu beringsut dan mendatangiku.
"Ibuk.., syukurlah ibuk sudah sadar. Tama sangat khawatir sekali," desisnya mengelus rambutku.
"Nak?" lirihku coba mengeluarkan suara yang terasa berat dan sakit di dadaku.
"Ibuk tidak mau tinggal lagi dengan wanita itu," lirikku, pada wanita yang begitu menyesengsarakan kami bertahun-tahun. Terlihat Arum mendegup. Tapi aku tidak peduli dari dulu dia selalu drama dengan wajah sok polosnya.
"Suruh dia pergi...!" singkatku lagi dengan tertatih. Mendengar itu Arum beranjak pergi. Aku lega sekali dia bisa menghilang juga dari pandanganku.
Selama ini Arum memang begitu sopan dan baik padaku. Bahkan dia juga ikut cemas saat aku terbaring sakit. Namun, tingkahnya yang akhir-akhir ini seakan mengeluarkan racun hatinya yang lama terpendam, membuat dia menunjukan belang dan jati diri aslinya. Sama sekali aku tidak menyesal menikahkan Tama dengan wanita lain. Arum Tak lain hanya wanita munafik.
******************
Dua hari berlalu, aku sudah mulai membaik. Siang ini, saat Tama menemani makan siangku dirumah sakit. Aku coba bicara dari hati dengannya.
"Sudah Tama, Syarat Arum untuk waktu tiga bulan itu hanya teriknya saja agar dia bisa menginjak-injak harga diri kita lebih lama lagi! Sudah lupakan itu. Kita pergi saja dari wanita picik itu!"
"Buk, Tama belum punya uang ataupan apa untuk membawa ibuk dan yang lain pergi dari situ. Jadi ibuk sabar ya?" desisnya mengelus pipiku lembut. Aku berdesih, sudah cukup rasanya aku teraniaya dan tertindas oleh menantu kurang ajar itu.
Delapan tahun lamanya wanita itu siksa kami dengan rasa harap yang tak kunjung berbuahkan hasil. Bahkan kini saat Anakku sudah mampu lepas dari jeratan wanita itu, dia juga tak biarkan kami hidup tenang. Dia benar-benar tak tahu diri. Sudah jelas-jelas dia sendiri yang tidak berguna. Malah tidak mau sadar diri. Aku berharap, Tuhan segera cabut nyawanya. Sungguh, setelah semua ini pun, meski dia mau membayarkan biaya perawatanku, aku akan tetap membenci perempuan mandul yang picik lagi munafik itu! ....
AKU SANGAT BENCI KAMU ARUM!