Ini sudah dua hari Mas Tama tidak pulang, dia pergi keluar kota untuk urusan kantor yang mendadak, walau aku tahu itu hanya alasan. Mungkin saja sekarang dia sibuk menyiapkan hari pernikahannya bersama wanita pilihan ibunya itu. Aku yang kembali teringat omongan Dokter pun segera menghubunginya. Tak lama, setelah panggilan terhubung Mas Tama mengangkat panggilanku. Tidak memakai salam seperti biasa, aku langsung saja pada inti dan tujuanku menelepon.
"Halo, Arum," ucap Mas Tama. Entah kenapa darah ini tiba-tiba berdesir.
"Mas, aku rasa kali ini kamu mau ikut denganku untuk cek up program itu. Kamu kemarin tidak mau melakukannya dengan alasan buang-buang waktu! Tapi kamu ingin punya momongan! Sedangkan aku harus berusaha sendiri! Kamu bagaimana sih, Mas!"
"Dokter menyarankan, kamu juga diperiksa!" Kalau bisa, kamu hari ini juga cepetan pulang, Mas! Kamu bilang kan hanya sehari! Ini sudah dua hari," sungutku.
"Maaf kalau kamu capek, tapi itu saran dokter. Aku hanya kasih tau saja mas!"
"Kapan emang?" singkatnya dengan nada males.
"Besok, Mas. Kamu mau ya? Semoga saja usaha kita kali ini membuahkan hasil." Nada suaraku mulai melemah.
"Baiklah, aku tinggal dulu ya. Aku butuh istirahat! Mungkin nanti malam aku sudah sampai di rumah," balasnya. Benar 'kan? Keluar kota itu hanya alasannya. Nanti malam dia sudah sampai katanya. Cih!
"Baik, Mas," singkatku seraya menutup panggilan.
*******
Malam tiba, sekitar pukul 20.00 malam, suara mobil Mas Tama sudah terdengar masuk ke garasi rumah. Aku membiarkan saja dan tidak menyambutnya seperti biasa di depan pintu. Aku lebih memilih masuk ke kamar dan tidur. Lagipula, ada Mbak Inem juga yang akan membukakan pintu.
Krek!
Tak lama suara pintu kamar terbuka. Mas Tama seperti meletakan barang di dekat meja cermin. Aku tidak tahu sebab aku dalam posisi membelakanginya. Mas Tama terdengar membuka pintu kamar mandi. Mungkin ingin berganti pakaian. Sebab, tidak beberapa lama, dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku masih mengabaikannya, dan memilih untuk benar-benar tidur memejamkan mata.
********
Keesokan harinya, Aku dan Mas Tama sudah siap hendak pergi menemui dokter. Walau perjalanan ini hanya sia-sia tak akan merubah apapun setidaknya aku masih punya kesempatan jalan bareng Mas Tama lagi. Sedih rasanya saat perlahan aku harus membiasakan diri tanpa Mas Tama nantinya, dan siap-siap terluka dengan beban hati. Itupun kalau Mas Tama tidak membuangku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Tabunganku selama bekerja, sudah habis untuk merenovasi rumah ini. Kulirik Mas Tama masih fokus berkendara.
****
Beberapa jam kemudian, kami telah sampai di rumah sakit. Aku dan Mas Tama langsung menemui dokter karena kebetulan, kami sudah membuat janji sebelumnya. Jadi kami tidak perlu mengantri. Hingga dua jam berlalu, kami pun sudah selesai cek up pada dokter.
"Tunggu hasilnya dua hari lagi, saya akan berikan data dari labor nanti," ucap Dokter.
"Baik, Dok, terima kasih," balasku penuh senyum. Dokter beranjak dengan senyum tak kalah hangat. Kami pun segera berlalu dari ruangan Dokter.
"Aku harus segera ke kantor. Kamu bisa kan pulang sendiri?" tanya Mas Tama menoleh sinis ke arahku.
"Tapi, Mas, kamu kan bisa antar aku sebentar."
"Gak bisa sayang, nanti aku bisa terlambat! Kamu pulang sendiri ya?" ujarnya terdengar sangat memuakkan.
"Baiklah," jawabku sedikit memanyunkan bibir dan tertunduk. Mas Tama berlalu pergi, meninggalkan kepalan jemariku yang menatap tajam jejaknya.
"Benar! Sekarang aku hanya sampah di matamu, Mas. Abaikan saja terus!" geramku seraya berlalu.
Ting!
Notif ponselku berbunyi. Segera aku mengambilnya dari dalam tas dan membaca pesannya.
[Nomor Luna 08xxxxx] Risa mengirimi aku nomor telepon Luna. Aku tidak tahu ini berguna atau tidak, setidaknya aku simpan saja dulu.
[Makasih, kamu dapat dari mana?] balasku
[Aku sudah bicara dengannya, kami sangat akrab sekali. Dia terus menceritakan kekasihnya yang membuat aku muak. Setidaknya aku mendapat banyak informasi] balasnya lagi. Bola mataku sedikit terbuka. Segera aku pun gegas ke bangku yang ada di taman rumah sakit dan duduk di sana. Tempatku biasa bersantai sejenak selepas check up.
[Call me] titahku.
Drrrrtt drrtt….!
Kilat panggilan Risa pun mendarat dengan cepat. Segera aku mengangkat panggilan itu. Langsung terdengar suara wanita itu sedang bercerita layaknya curhat pada Risa.
"Lucu ya, ini sudah setahun. Aku sebenarnya Risih karena dia pria beristri. Tapi melihat dukungan calon mertuaku, aku jadi semangat gitu. Mungkin benar, Mas Tama memang ditakdirkan kembali ke dekapanku. Wanita itu yang sebenarnya mengambil Mas Tama dariku," ucap Luna terdengar jelas suaranya. Sedangkan aku hanya terdiam tak bersuara.
"Memang waktu itu kalian pacaran?" tanya Risa.
"Ya, dan sempat dijodohkan. Kehadiran, Arum mengacaukan segalanya. Aku kecewa waktu itu Mas Tama membatalkan pertunanganan kami," jawab Luna.
"Owh begitu," singkat Risa.
"Oh iya, kamu masih betah bekerja di kantor itu, gak ganti kerjaan lain apa?" tanya Luna.
"Gak, aku dah terlanjur suka sama karirku yang ini," jawab Risa.
"Oh iya, kapan-kapan aku kenalin sama Mas Tama. Kamu pasti terkesima lihat wajah tampan dan wibawanya," ujar Luna. Aku menghela nafas mendengarnya. Mas Tama pasti sudah tahu betul tentang Risa. Karena pertemuan kami adalah saat aku dan Risa tersesat di gunung waktu masih jadi mapala kampus. Untungnya Luna tidak tahu kami teman satu kampus dengan Risa.
"Gak usah Luna, lagian aku males liat pacar orang takut sukak," canda Risa. Terdengar Luna terkekeh mendengar candaan Risa.
"Iya juga sih. Mas Tamaku kan ganteng pake bingit gitu," ucapnya terdengar centil. Luna dan Risa terkekeh renyah. Sontak aku pun mematikan panggilan telepon itu.
"Satu tahun? Ini sudah cukup lama mas!" geramku sambil menggertakkan rahang.
??????????
Hari berlalu hingga waktu yang ditunggu itu pun datang juga. Pagi ini aku tidak disambut kecupan dan sapaan Mas Tama. Dia izin padaku dari kemarin sore dengan alasan pekerjaannya. Mungkin mereka menikah. Sebab, hari ini tepat tanggal 28 Januari.
Aku diam tak bergeming di atas ranjang. Tepat hari ini, Mas Tama resmi membagi hati dan cintanya. Mengkhianati janji pernikahan dan membohongi aku. Entah bagaimana aku menanggapi rasa sakit yang membuat sesak di d**a. Semua rasa sakit ini telah bersemayam di relung hati terdalam.
"Arrrrrggghhh!" Akhirnya teriakkan-ku terlepas juga seiring tangis dan rintik air mata. Aku hancur, kini aku luruh berkeping. Mungkin ini sudah takdir dan jalan yang dipilihkan Tuhan. Sekarang aku hanya tinggal memilih. Mau diam atau bertindak. Sekarang pilihan itu ada di tanganku. Lagipula, apa yang tersisa? Cinta Mas Tama juga sudah terkikis. Sekarang hanya tersisa kebohongan dan sandiwara semata.
Drrrrttt....!
Sebuah panggilan melalui ponsel menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Segera aku mengangkat panggilan itu.
"Ya hallo?"
"Halo, Ibu, apa benar ini dengan ibu Arum? Saya menunggu Ibu di rumah sakit 4 hari yang lalu? Kenapa Ibu tidak datang ya?" tanya suara dari seberang itu.
"Mm-maaf, Dok! Saya, tidak sempat," ujarku terbata.
"Hasil labnya sudah keluar. Ibu Arum sama sekali tidak mandul. Justru yang mandul itu Bapak Tama, Ibu." Penjelasan Dokter membuat mataku terbelalak. Aku gemetar dibuatnya. Ada syukur yang tak terutarakan pada sang khalik. Aku tidak mandul, aku baik-baik saja. Sontak saja aku kibas selimut bergegas hendak menemui Mas Tama. Namun, langkahku terhenti saat mengingat semua pelik ini. Mereka sudah sangat tidak adil padaku. Mungkin Tuhan memintaku memberi pelajaran pada pengkhianat. Sudah! Lebih baik aku ikhlaskan saja sampah itu tanpa harus mengotori tanganku untuk membuangnya.
Selama delapan tahun mereka menghakimi aku dengan kesalahpahaman ini. Mereka bertindak sesuka hati mereka terutama mertuaku, sungguh ini benar-benar mukjizat yang luar biasa. Aku sudah sering minta Mas Tama untuk ikut juga kontrol. Tapi mereka malah mendoktrin aku yang cacat. Mas Tama … semoga wanita itu bisa tulus dan sayang padanya seperti aku peduli padanya. Jujur, aku sedikit kasihan, dia lelaki yang menemani hidupku selama ini. Tak tega rasanya jika nanti wanita itu tak bisa menerima Mas Tama seperti aku yang sabar memberinya dukungan selama ini.
Bagaimana jika seseorang mengetahui ini dan Mas Tama tersisihkan? Jujur, aku miris membayangkannya. Tapi, mungkin ini sudah jalannya. Mas Tama sudah torehkan api pengkhianatan padaku. Aku juga tak bisa diamkan saat cintaku berulah. Aku mencintainya sepenuh hati tanpa ada cela sedikitpun. Tapi dia begitu mudah menggantikan aku. Aku harus terima takdir ini. Jikapun hubungan ini berakhir aku terima, untuk sekarang biar aku awasi dia. Bagaimanapun, Mas Tama tetap korban akan sikap ibunya yang selalu ingin menghasutnya. Setidaknya, jika Mas Tama sendiri nanti, ada aku yang menyemangati. Lagi pula dia ingin tetap bersandiwara, biarlah aku ikut bermain-main dengan permainan ini.
Cup…!
Kecupan mesra mendarat di pipiku saat lamunan panjangku tentang takdir yang begitu menarik ini. Aku menoleh dengan tatapan datar dan sedikit menarik ujung bibir untuk tersenyum.
"Kamu sudah pulang?" tanyaku, pria itu tersenyum manis seraya menghenyakkan tubuhnya di sofa tempatku berbaring.
"Maaf, aku telat. Kamu marah?" bujuknya memainkan wajahnya mengelus pipiku. Aku terkekeh pelan sambil membalas mengelus pipinya.
"Aku tidak pernah marah, selama hidup bersamamu, Mas. Karena kamu, sudah sangat membuatku sabar!" desisku pelan. Mungkin Mas Tama susah mengartikan ungkapanku itu.
"Sepertinya kamu marah, maaf. Aku benar-benar begitu sibuk hingga menghabiskan waktu sampai dua hari," jelasnya. Aku menolehkan kepala keluar jendela. Lalu menghirup udara yang begitu segar.
"Aku tidak marah,"singkatku sambil kembali menolehkan wajah ke arahnya. Suamiku itu sedikit beringsut sambil meremas bahuku.
"Tak biasanya kamu biarkan hidangan di meja makan kosong, dan tak menyambutku pulang," protesnya. Aku bergumam tanpa menoleh.
"Maaf, Mas, aku sedikit tak enak badan. Kamu lapar?" tanyaku melirik wajahnya, sontak Mas Tama menggeleng.
"En-ggak, gak usah? Mas udah makan kok. Kamu sendiri gimana?"
"Aku sudah kenyang!" singkatku. Meski sedari pagi aku belum memakan apapun karena sibuk dengan lamunan. Mas Tama berdiri melepas semua atribut kantornya, jas, sepatu hingga tasnya, ia taruh sembarangan di atas kasur. Aku tak peduli. Aku biarkan itu dan beranjak ke depan laptop menunggu konfirmasi lamaran pekerjaan yang sudah ku-ajukan ke beberapa perusahaan, beberapa hari yang lalu.
"Sayang, kamu mau apa?" tanyanya mendekat saat melihat beberapa draft email yang sudah dikirim.
"Aku kirim surat lamaran. Aku mau kerja lagi, Mas. Kamu benar, program hamil itu hanya akan sia-sia. Lagian sekarang tak ada yang butuh anak lagi kan? Jadi aku akan bekerja lagi," jelasku panjang kali lebar. "Tidak mungkin aku pun bekerja di perusahaan-mu. Karena aku akan merasa jenuh," lanjutku. 'Lagipula perusahaan yang dipimpinnya seperti tidak ada perkembangan.'
"Hey, kok bisa gitu sayang? Kita akan tetap program. Kamu ingat kata dokter? Kamu gak boleh capek."
"Tapi aku capek, Mas!" bentakku. Mas Tama sedikit terheran.
"Aku capek dan bosan dirumah ini terus-terusan! Terserah kamu, izinkan atau tidak aku ingin bekerja lagi, Mas! Aku bisa stres jika terus-terusan di rumah!" tekanku membuat Mas Tama terdiam.
"Okke baiklah…." Aku meliriknya dengan senyum simpul.
"Ini kan yang kamu mau, Mas? Pastinya kamu sangat senang dengan keputusan ini," batinku sambil meninggalkannya.
????????
"Halo Risa? Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan atasanmu?" tanyaku pada Risa saat bicara dalam telpon denganya, sengaja aku sibukkan diri untuk mencari pekerja'an ini, sesekali aku lirik mas Tama. Yang juga sibuk dengan ponselnya.
"Apa sekarang? Aku malas keluar ah, Sa. Besok aja ya?"
"Gua ajakin lu, gua jemput. Masalah kerja'an beres serahkan sama gua, lagian lo sendirikan sekarang dirumah?"
"Gak sih, tapi tak apa. Udah lama juga aku gak keluar malem sama kamu" tukasku,
"Baik tunggu disana. On the way."
Segera aku beranjak menyambar blezer dan sepatuku, mas Tama berdiri melihat aku bersiap hendak pergi.
"Kamu mau pergi ya?" tanyanya, aku menoleh dengan tatapan datar. "Iya, kamu kenal Risa? Temen mapala kita dulu di kampus, dia punya pekerja'an untukku dan malam ini, dia mau ajak aku jalan. Katanya kangen" singkatku dengan tenang sembari merapikan rambut dan jam tanganku.
"Oh, kebetulan aku juga ada keperluan keluar sih?" desisnya nanar, aku melirik dengan tersenyum kecut. Kesempatan untuk mas Tama bisa keluar juga setelah dari tadi mungkin sibuk mencari alasan untuk keluar.
"Ya udah.., kalo kamu keluar, keluar aja. Aku mungkin lama, maklumlah kan Udah lama gak ngumpul sama Risa lagi," celetukku, mas Tama tampak menarik ujung bibirnya tersenyum dan berlalu pergi ke garasi. Nafasku tersengal. Seketika aku gemetar. Tapi aku harus kuat, aku gak boleh lemah.
Selang beberapa menit mobil mas Tama berlalu meninggalkan halaman rumah, aku coba tegar tak membiarkan bulir bening ini jatuh lagi. Sedikit penghibur hatiku, manusia yang tak ada guna seperti dia tak perlu aku tangisi, persis seperti ucapan yang terlontar kepadaku di hari lalu.
Trakt!
Bunyi pintu mobil terhempaskan, aku masuk dengan wajah di tekuk. Sedikit aku hela nafas berat menghenyak di kursi mobil di samping kemudi, lama Risa memperhatikan glegatku.
"Kenapa? Sepertinya tak ada yang baik-baik saja?" tanyanya, aku menyibak belah rambutku menghirup udara yang terasa begitu sesak.
"Tak apa.. Aku baik-baik saja, ayo jalan!"
***
"Jadi Tama itu mandul?"tanya Risa begitu terkejut saat aku coba jelaskan...
" Jiahahhaa...."tawa Risa pecah, perutnya geli hingga stir yang ia kendalikan hampir oleng.
"Ihh Risa... Hati-hati! Lo bisa nabrak orang kalo ngemudinya begini?"
"Ini beneran, lah. Gimana ceritanya itu? Mampus tu orang!" teriak Risa, aku juga ikut terkekeh renyah.
"Oh iya terus habis ini lu mau apa?" tanya Risa masih tertawa tak habis pikir.
"Sebenernya aku masih peduli sama dia, dan ya. Aku mau balas semua orang yang udah Hina gua. Gua sudah cukup sabar selama ini,"ucapku mantap, tak sabar melihat wajah mertuaku yang angkuh itu ditekuk.
"Lo masih cinta sama mas Tama?" tanyanya sedikit memelankan laju mobil. Aku menoleh dan memperhatikan Risa yang tengah fokus berkemudi.
"Kenapa bisa gak cinta coba? Selama ini dia sudah menemani hari-hariku Risa. Tentu saja aku care sama dia. Kasian! " bisikku menggerutu. Risa manggut-manggut girang.
"Gak sabar, liat tu orang bertekuk lutut pada lo dan nyesal," ujar Risa, aku terdiam membayangkan jika itu terjadi.
"Mungkin saja Luna itu juga bisa lebih tulus, mana kita tau kan?" terkaku, Risa menggeleng mantap. "Gak... gak mungkin! Aku kenal Luna, satu tahun aku deket dengannya meski hanya sebatas teman kantor. Dia tidak se humble Lo say. Yakin dah! Jika Tama tau kenyata'an ini, asli gantung diri dah tu laki lo!" tegasnya, aku mendegup.
"Jujur aku hanya prihatin sama mas Tama," lirihku menatap keluar jendela.
"Biarin! Dia pantas nerima karma siapa suruh main api di belakang lo," tegas Risa, aku terdiam sembari merasakan siuran angin mengelus rambut dan wajahku. Sejenak aku ingin ketenangan dari gaduhnya hati yang tengah berkecamuk akhir-akhir ini. Bibirku merekahkan senyum saat sedikit aku munculkan wajahku kejendela mobil.
"Sesa'at aku ingin kembali pada ketenangan alam? sa'at semua belum ada serumit ini," lirihku. Sontak mataku terbuka mengingat sesuatu, aku kembali menarik leherku menoleh pada Risa.
"Risa! Aku kangen mendaki gunung lagi. Kapan ya kita bisa pergi lagi?" tanyaku dengan tatapan harap.
"Yakin lu gak akan dejavu kenangan bersama Tama? Lagian lu udah tua kagak sanggup naik-naik lagi. Gua kerja dan gak bisa cuti!" jelas Risa panjang kali lebar, aku menyandarkan tubuhku ke kursi mobil dengan sedikit membuang nafas.
"Jujur aku ingin ketenangan...!" bisikku. Risa terkekeh.
"Bukan ketenangan tapi pengganti!" tegas Risa tersenyum simpul, aku sedikit memanyunkan bibir mendengar ucapan itu. "Gak lah, aku belum bisa nerima pria manapun lagi!" tegasku.
????????????
Ciiiittss....!
Bunyi pedal rem mobil Risa berhenti di depan Rumah. Setelah melewati hari-hari malam, dan jalan-jalan serta makan-makan, Risa pun telah mengantarku pulang.
"Okeh, gua kabari kerja'anmu besok siang, sekalian pengganti Tama, okey?!" ujarnya dengan sedikit memainkan raut wajahnya. Aku geram mendengarnya.
"Risa...! Udah gua gak butuh pria lain!"
"Pkoknya lu stay esok siang, gua bakal jemput lo"
"Okey terima kasih," ucapku sambil melambai seiring mobil itu melaju.
"Dah hati-hati!" teriakku melepas Risa pergi. Aku kembali melihat pagar rumah yang sepi, bayangan anggota keluarga bahagia dengan pengantin barunya kembali membuat dadaku terasa sesak. Kesunyian ini hanya mengundang sedihku. Aku terus saja berjalan hingga pintu.
"Bik..!" teriakku, tak butuh waktu lama Bik Iyem membukakan pintu.
"Nyonya, Kemana aja?"
"Gak kemana-kemana kok Bik? Bapak sudah pulang?" tanyaku, sontak Bik iyem menggeleng.
"Pertanya'an yang konyol! Siapa juga yang tau jalan pulang saat malam-malam pengantin baru begini dasar bodoh!" gerutuku sendiri, Bik iyem tampak menautkan alisnya mendengar gerutuanku itu.
***********************"**********
Seminggu berlalu, Mas Tama terlihat sangat sibuk. Jelas kali ia tak bisa bagi waktu dengan teratur hingga ia sudah kewalahan mencari alasan untuk keluar sering-sering. Aku coba menanggapi santai glegatnya. Hingga akhirnya aku gerah juga, aku tidak bisa geram sendiri saat murahan itu menikmati hari bahagianya dengan mas Tama. Terlebih pagi ini mas Tama mempertanyakan surat rumah, entah buat apa, aku takut. Dia akan menjual rumahku ini dan ia bawa pergi bersama wanita itu. Sengaja siang ini aku datangi rumah mertuaku, niat hati dari rumah memang ingin menemui mereka.
************************
"Mas kenapa kamu gak bisa dapatkan sih mas? Memang seberapa takut sih kamu sama wanita itu. Kita harus jual dan beli rumah lagi untuk kita, gak mungkin donk selamanya kita numpang di rumah ibu?" gerutunya, sejenak aku menguping dan coba mendekat ke pintu. Sepertinya mereka tak sadar akan keberada'anku yang sudah sampai di depan rumah mereka.
"Gak apa kali Luna, kamu tinggal disini ibuk gak keberatan kok."
"Tapi saya gak suka rumah ini, buk. Harusnya mas Tama fasilitasi rumah juga untukku, masak Arum tenang-tenang saja tinggal di rumah mewah itu.
"Iya sayang kamu sabar ya?"bujuk Mas Tama yang sontak membuat aku mencibir.
"Bener juga sih yang di bilang istrimu ini mas? Masak dia gak kamu belikan rumah juga sama sepertiku? Oh iya? Rumah sepertiku itukan rumah mahal! Emang dia punya tabungan buat nambah renovasi bisa sebagus itu? Lah harusnya kamu juga beli'in dia rumah dari uang kantor. Hadeeeuh, emang Luna udah jual tanah bapaknya berapa nanam saham disitu?" ujarku dengan nada meledek. Semua terbolongo dan nanar menatapku.
"Kasian banget kamu mas. Gak bisa bahagiakan istri ya?" ledekku sembari menyambar buah di atas meja dan mengunyahnya membuat semua orang termangu.
"Kk-amu ss-sjak kapan kamu tau semua ini?" tanya mas Tama padaku.
"Sejak kamu sudah berani kurang ajar mas?"
"Oh iya, Aku sudah minta pengacara urus semua ini. Kamu tau betulkan siapa yang berpeluang besar akan meneruskan perusaha'an sampah milikmu itu. Mutu dan cara kerjanya tak pernah meningkat. Kamu ini niat buat bangun masa depan gak sih, mana ngebet banget mau punya anak!" gerutuku, ibuk mertuaku terlihat menggertakkan rahangnya karena kesal.
"Kamu dah tau semuanya, dan sengaja mau bales kita. Dasar perempuan licik! Kamu itu yang tidak berguna, kenapa harus sok-sok'an membals sekarang. Cukup Tama ganti saja semua uangnya yang sudah terpakai itu, kelar!" Mendengar ucapan mertuaku tersayang itu reflek perutku geli dan terkekeh pelan.
"Sayangnya uang Mas Tama kagak cukup mertuaku tersayang! Perusaha'an mas Tama aja berjalan kayak siput lamban begitu. Modalnya belum kembali. Bahkan terkesah rugi. Intinya sekarang kalian yang berutang padaku!"hardikku, mata mertuaku itu membulatkan mata dengan tatapan tajam.
"Jadi... Cepatlah ganti. Sebelum aku perkarakan! Lagian coba tanyakan pada anak ibuk, kenapa hingga detik ini dia tidak bisa ceraikan saya? Dia takut kalian semua menjadi gembel!" ujarku. Mas Tama tertunduk. Aku berdiri sembari berdecih pelan dan terkekeh.
"Jadi, tolong cepat ganti kerugian saya! Secepat kalian mengatur pernikahan ini! Saya tidak main-main dengan ancaman saya!" tegasku sebelum pergi. Semua terbolongo melihatku melenggang pergi dengan riang hati.
***,,,,**************"*"**""****
Sore berkunjung, setelah mengutus semua pengacara menemui keluarga tak tau diri itu, aku merasa lega, akhirnya mereka gadaikan rumah itu untuk jaminan kerugianku. Uang dan segala data kantor sekarang menjadi milikku. Namun yang aku herankan, mas Tama dan semua antek-anteknya berdiri di pintu rumahku.
"Ada acara apa? Apa aku semua mengundang kalian syukuran?" tanyaku menghampiri.
"Aku perlu waktu untuk menyelesaikan segalanya, mencari rumah untuk Luna dan mencari pekerja'an baru. Kamu kan tau Ibuk kurang enak badan jadi dia gak bisa di bawa capek. Aku titipkan mereka untuk sementara. Sampai aku bisa menyelesaikan segalanya," pinta mas Tama membuat hatiku terenyuh sekaligus tersayat. Demi seorang Luna dan keluarganya, mas Tama rela mengemis begini. Sungguh mengharukan.
"Maksudmu Numpang begitu?" Mas Tama tertunduk. Aku menggut-manggut sembari menaikan alisku.
"Aku harus pikir seribu kali mas, nerima orang-orang kayak mereka. Mas! Aku sudah anggap hubungan kita selesai. Kamu salah, jika harus ngadu kepadaku!" jelasku dengan nada meledek.
"Seminggu saja Arum ... aku janji,"
"Gak, Mas!"
"Tiga hari? Aku mohon beri aku tiga hari? Tiga hari janji setelah itu kami akan pergi?" pintanya, aku coba memikirkan. Sedikit prihatin melihat wajah mas Tama yang gundah.
"Bb-aiklah, " ucapku. Mas Tama tampak sedikit lega.
"Aku sekarang sedang berbaik hati, tiga hari sudah cukup lama. Jadi jangan uji kesabaranku!" tegasku. Dengan muka manyun semua tampak membuntutiku masuk.