Episode 2

1917 Kata
Malam ini aku masih memasak seperti biasanya, menunggu Mas Tama pulang, aku tidak mau menampakkan raut kesedihanku di depannya, toh rasanya percuma jika aku pun menangis sekarang padanya. Yang ada tindakan itu hanyalah kekonyolan belaka, habis ini dia akan menertawakan aku di belakang dengan keluarga dan w************n itu. Aku harus sabar hingga beberapa waktu lagi. Jika aku inginkan dia, atau sakit ini terbalaskan hingga impas aku akan mencoba tenang. Sedikit dilema karena Mas Tama bisa jadi hanya dipengaruhi oleh keluarganya. Dorongan akan kekecewaan karena dia tidak mempunyai anak dariku hingga akhirnya dia menyetujui persyaratan mertua macan tak lain ibunya itu. Aku sebenarnya bingung. Sekarang aku sebatang kara. Setelah melepas Yosi waktu itu menikah, dia dibawa pergi jauh oleh suaminya, ke Malang. Terlebih lagi dia juga sangat marah padaku karena menjual semua warisan almarhumah Ibu. Bodohnya saat itu aku lebih mementingkan Mas Tama, yang kupikir waktu itu Mas Tama butuh uang untuk mengembangkan usahanya. Berbeda dengan suaminya Yosi yang memang sudah cukup sukses. Sekarang bagaimana? Kemana aku akan mengadu, pria yang selama ini kuharap tempat berlindungku pun sudah tega menusukku di belakang. Ah, tiba-tiba saja aku teringat Ibuku. "Ibu … aku rindu," rintihku gemetar, tetesan air mata pun menetes deras. Buru-buru kuhapus saat mendengar mobil Mas Tama memasuki garasi. Aku mencoba menghela nafas dan merapikan riasanku. Setelah itu, aku segera menghampiri Mas Tama dengan langkah kaki yang gontai. "Aslamualaikum, Dek," ucap Mas Tama saat aku sudah berada di depan pintu. "Walaikumsalam," jawabku lalu mencium punggung tangannya. "Kamu masak apa? Mas lapar!" singkatnya beranjak ke meja makan. Aku membuntuti dia sembari menenteng tas dan jasnya. Sigap aku membungkuk saat ia duduk di kursi untuk membukakan sepatu. "Tidak usah, Sayang. Aku bisa sendiri. Lagian sudah lama juga kamu tidak seperti ini. Tidak usah ya? Aku bisa buka sendiri," tolak Mas Tama sambil membuka sendiri sepatunya. "Iya, Mas," singkatku berdiri. Lalu menyiapkan makanan di piringnya. Setelah Mas Tama beranjak dan mencuci tangan, ia pun kembali duduk. "Jangan banyak-banyak!" sanggahnya saat aku menyendokkannya beberapa bongkah nasi. "Kenapa? Katanya kamu lapar?" "Tadi ada pertemuan di kantor, dan ada acara makan-makan. Tapi aku hanya makan sedikit, menurutku masakan-nya tidak lezat. Aku lebih suka masakan kamu," tuturnya. Aku sedikit menaikan alis dan sigap menuangkan lagi nasi ke baki. "Di kantor, apa di tempat Ibumu, Mas?" tanyaku berdesis pelan. Mas Tama sedikit membuka mata. "Tidak. Aku belum sempat ke rumah Ibu. Pengenya sih mau minta maaf. Tapi entar saja lah, tunggu aku tidak sibuk," celotehnya. Aku hanya bungkam sembari tetap fokus pada menu makanan. "Nih, Mas, makanlah," singkatku menyerahkan nasi yang sudah kusendok beserta lauknya. "Makasih, Sayang," ujarnya mencubit pipiku lembut. Terpaksa aku tarik ujung bibir ini untuk tersenyum. Muak sekali aku rasanya. Dia pikir aku tidak tahu kebenarannya. ****** Suasana gelapnya kamar, dan malam yang semakin larut, membuatku semakin gelisah tak menentu. Aku masih ingin tahu sudah seberapa dekat Mas Tama dengan mantan tunangannya itu. Aku benar-benar ingin mencari tahu segalanya. Mungkin saja mereka sudah merencanakan pernikahan di belakangku. Tapi kapan-nya, aku benar-benar tidak tahu. Aku benar-benar sudah dibuat gila dengan masalah ini. Saat kulirik Mas Tama, dia sudah terlelap. Reflek aku sambar gawai Mas Tama dan mencoba untuk membukanya. "s**t! Sial...!" bentakku saat tahu ponsel Mas Tama memakai pasword. Padahal selama ini aku tidak pernah mau tahu dengan apa yang ada di dalam ponsel ini. Sekarang ketika aku ingin mencari tahu sesuatu, ponselnya menggunakan password, membuat nafasku terasa sesak. Tak terasa, bulir air mata pun kembali menetes. "Aku harus bisa leluasa cari tahu semua tentang wanita itu. Tapi bagaimana caranya? Mas Tama sangat rapi menyembunyikan dia." Kembali aku menghapus air mata yang mengepul dan memutuskan untuk tidur. **** Keesokan paginya, seperti biasa aku tetap melayani Mas Tama dengan baik, menyiapkan baju kantornya dan juga menyiapkan sarapan. Untuk pertama kalinya pagiku dirundung awan hitam, sampai-sampai aku tidak bisa menghirup dingin udara pagi. Darahku terasa mendidih yang sewaktu-waktu bisa saja meluap emosi. Namun, semua itu aku tahan. Aku belum siap hidup konyol tercampakkan di rumahku sendiri. "Sayang, Mas berangkat kerja dulu ya?" pamitnya mengecup keningku lembut. Aku hanya menyunggingkan senyum hangat padanya. "Iya, Mas hati-hati," singkatku. Mas Tama mengacak rambutku dan beranjak pergi. Nafasku tersengal seraya menidurkan kepala di atas meja makan. Tak habis pikir, aku pun mencoba menghubungi temanku. Kali saja aku bisa mendapat info lebih cepat sebelum mereka semua mengelabuiku. Aku memiliki teman yang pernah dekat dengan Luna, siapa tahu dia bisa membantu. Tuuutt….! Aku mencoba menghubungi nomor Risa. Bersyukur panggilan itu tersambung dan tak lama Risa mengangkatnya. "Hallo, Risa?" "Ya ada apa, Arum? Tumben lu nelpon gue?" "Gue butuh bantuan lo nih?" "Apa?" "Lu masih kenal, Luna? Yang waktu itu pernah satu kantor sama lu? Lu deket gak sama dia?" cecarku dengan pertanyaaan. "Ya kenal sih … tapi semenjak dia jadi model dan menikah. Kami kehilangan kontak gitu?" "Owh.." lirihku. "Kenapa?" "Dia... wanita yang akan dinikahi Mas Tama,"desisku terasa berat. " Apa?" "Iya, Sa. Gua mau minta tolong sama lo, cari info tentang dia dan suami gua. Akhir-akhir ini mungkin mereka sibuk menyiapkan pernikahan," rengekku. "Lu cegah atau apa kek! Labrak aja kalo lo emang tau!" "Nggak, Sa. Ini rumit! Ibunya Mas Tama yang menjodohkan mereka. Guenya pengen tahu, seberapa hebat sih saingan gue itu, ya selain bakatnya bisa mengandung," ujarku mencoba bercanda walau beban hatiku berat. "Is amitlah gue punya mertua kayak itu Rum. Ya udah, gue bisa kok deket sama dia lagi. Lagian kita pernah akrab juga. Lu tenang aja. Gue bakal bantuin lu nguntit-tin mereka," jelasnya. Sedikit lega akhirnya Risa mau membantu. "Makasih, Risa" singkatku. "Nanti aku kabari lagi ya, aku akan temui dia di kantornya dulu." "Emang lu tahu kantor, Luna?" tanyaku sedikit heran. "Ya tahulah. Orang tempat kerja dia yang baru, masih deket dari kantor gue!" balas Risa. Baguslah kalau begitu. "Hum. terima kasih ya?" "Sama-sama, Arum, Sayang!" balasnya seraya memutuskan sambungan telepon. ****** Hari mulai siang. Hari ini aku masih berada di rumah sakit. Setelah cek up ke dokter tentang program kehamilanku barusan, aku sengaja duduk dulu di taman rumah sakit. Lalu kembali berpikir gundah. "Hah!" Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya menghembuskannya juga. Buat apa aku datang lagi untuk cek up ke dokter tentang program kehamilan ini, toh Mas Tama juga sudah mencari jalan lain yang lebih mudah untuk mendapatkan anak. Aku bingung, Dokter bilang aku tidak bermasalah. Tapi masih juga belum diberi keturunan. Sedangkan, Mas Tama … ketika aku kembali untuk mengambil hasil lab kemarin, ternyata Dokter bilang Mas Tama tidak melakukan tes. Benar-benar keterlaluan. Hum, ternyata saat aku pamit ke kamar mandi, Mas Tama tidak mau melakukan tes. Pantas saja saat aku bilang tunggu hasil tes keluar dia hanya diam saja. Deerrrt derrt…. Ponselku bergetar, aku pun langsung melihat pesan itu dan membacanya. [Suami lo ada disini, Rum, bareng wanita itu. Mereka lagi makan di kantin kantor. Gue nyapa mereka gak ya?] pesan Risa lengkap dengan foto suamiku bersama wanita cantik yang tak lain adalah Luna. Mereka sudah terlihat sangat akrab, sangat jelas hubungan mereka sudah terjalin cukup lama. [Gak usah Risa, kamu balik kantor aja!] titahku. Aku tidak mau Mas Tama merasa Risih jika dia melihat Risa. Apalagi terpergok sedang berduaan dengan kekasihnya. Bisa-bisa dia menaruh curiga. [Baiklah, lagian gue gak punya banyak waktu. Harus balik lagi ke kantor!] tulisnya, selepas mengetik ucapan terima kasih, aku pun bergegas pulang dengan mencari taksi. Yang kusangka usaha yang aku yakini dengan sabar ini akan berbuah manis, malah sekarang terasa sangat pahit. "Hiks … hiks …." tangisku pecah sembari mengelus d**a, ada yang sesak rasanya yang tak bisa terlepas. Seakan nafasku terhenti. Tidak kupedulikan berapa pasang mata yang melihatku berjalan sambil menangis. "Mas, permainanmu benar-benar membuatku terkesima," batinku. Pikiran kembali miris saat mengingat dokter tadi menyarankan Mas Tama ikut kontrol program kehamilan. Semua itu hanya membuatku sakit. Semua sia-sia tak ada yang tersisa, harapan dan impian itu sirna sudah. Mas Tama saja akan menikah lagi. Mana mungkin dia mau ikut kontrol denganku. Bahkan, pekan lalu, yang aku kira dia telah melakukan tes pun hanya sebuah kebohongan. Heran, susah sekali laki-laki itu jika kupinta untuk ikut program. "Taksi!" panggilku saat melihat taksi menepi. Kebetulan kosong, aku pun langsung masuk ke dalamnya. "Bang, kita ke perumahan sekar ya?" pintaku pada pak taksi. "Baik, Non." Aku akan pergi ke rumah mertuaku, untuk menemui ibu dan Resti. Aku ingin mencari tahu apa yang mereka lakukan kemarin. Apa mereka tak mau memberi tauku tentang pernikahan Mas Tama dan Luna? Atau bisa saja mereka biarkan Mas Tama membuat anak haram dengan w************n itu. Aku sudah benar-benar merasa kepanasan sendiri. Serasa siap kalo Mas Tama akan menikah lagi. Tapi entah apa yang membuatku rapuh, terkadang siap, terkadang sebaiknya. Pak Taksi berkendara lumayan cepat. Sekitar 20 menit perjalanan, kami telah sampai di depan rumah Ibu mertua. "Sudah sampai, Non!" ucapnya. "Iya, Bang." Segera aku turun setelah memberikannya uang pas. Dengan hati yang deg-degan, aku melangkah ke depan pintu rumah Ibu. Tok tok tok….! Pintu sedikit terbuka hingga aku bisa mengintip suasana di dalamnya. Terlihat gadis bungsu Mas Tama beringsut dari duduknya dan beranjak ke pintu. "Siapa?" tanyanya. Matanya sedikit terbuka melihatku berdiri. "Mbak? Kenapa kok tiba-tiba nongol disini?" ujarnya. Aku tersenyum simpul. "Emang kenapa? Mbak tidak boleh kesini?" tanyaku. Resti menoleh ke arah dapur dan berteriak. "Ibuk....!" Wanita paruh baya itu berjalan keluar wajahnya sedikit berubah melihatku ada di pintu. "Mau apa kamu kesini?" tanyanya. Aku mendekat, dan sedikit memasang wajah sedih. "Ibu, Arum hanya pengen minta maaf soal malam itu. Mas Tama tidak seharusnya membentak Ibu begitu. Arum jadi merasa bersalah," jelasku sambil memegangi lengannya. Mertuaku itu terlihat sedikit memainkan wajahnya. "Ya sudah lah, kamu memang selalu pandai mengambil hati anakku itu, sekarang terserah. Aku sudah gak mau ngurus!" sungutnya. Aku sedikit menyringai dan melirik pada Resti. "Maaf ya, Res. Mbak juga sudah jarang datang kesini," ujarku. Resti menarik ujung bibirnya dan tersenyum. Sedari tadi, kedua orang itu tidak menyuruhku masuk. Sehingga tanpa di suruh, kakiku pun melangkah ke dalam. Kaki ini berhenti di dekat meja kecil ketika mataku mendapati sebuah catatan di atasnya. 'Nikah Tama 28 januari. Persiapan pernikahan?' Belum sempat aku membaca keseluruhan, Ibu sudah sewot hingga membuatku kaget. "Kamu kalau gak punya maksud lain, ya udah pulang! Gak usah basa basi gak jelas! Lagian kamu senangkan, Tama membenciku?!" hardik ibu. "Oh, baiklah, Bu. Bukan apa-apa, Arum hanya ingin minta maaf karena tidak enak hati malam itu." "Sudah! Pergi sana! Bilang saja kamu pengen hina aku, ya kan?" bentaknya. Aku tidak peduli, segera aku pun membalik dan secepat kilat menjauh. "28 januari … oke, baiklah!" lirihku bergumam pilu saat sudah sampai di luar rumah ibu. Pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari. ********* "Lo harus cegah, Arum! Jangan diamkan saja! Jangan biarkan Wanita itu menikah dengan suami lo!" hasut Risa saat aku menemuinya di kantor. Sepulang dari rumah Ibu aku langsung pergi ke kantor Risa. "Aku sadar, Risa. Aku tidak sesempurna itu jika harus membatalkan pernikahan mereka. Kenyataannya aku memang tak berguna," lirihku. Risa hanya menggeleng. "Emang dasar, dari dulu lu itu lemah, Arum! Kesel gue," geram teman lamaku itu. Aku hanya bungkan merintikkan air mata deras. Risa hanya berdesih melihat air mataku mengalir deras. "Trus lo mau apa?" "Diam..." lirihku. "Dan pura-pura gak tau, hiks..." tangisku kembali pecah. Ia menggeleng sambil berdesih gundah melihat kesedihanku, refleks Risa mengelus pundakku. "Yakin, kamu bakal kuat? Percayalah ini akan sangat menyiksa, Rum." Aku semakin menangis tersedu-sedu. Kembali tangannya lugas merangkul dan mengelus bahuku. Setidaknya kehadiran Risa membuat aku merasa bahwa sekarang aku tak seorang diri. "Kalau begitu, aku pulang dulu, Sa. Kamu juga harus kembali bekerja," pamitku. Risa hanya mengangguk. Setelah mengusap air mata, aku pun melangkah keluar kembali mencari taksi ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN