" Jadi kau adiknya Dylan..." Tanya Natasha pada Delia yang sedang duduk menyendiri.
" Saya tidak tahu.." jawab Delia takut takut, persis seperti Sarah waktu pertama kali di bawa ke rumah utama.
" Tadi sempat bicara berdua dengan Dylan.." tanya Natasha lagi, semenjak hamil wanita itu semakin cerewet saja dan selalu ingin tahu.
" Iya sempat, tapi hanya sebentar.." jawab Delia dengan suara amat lembut.
" Oh bicara apa?"
" Katanya kalau misinya sudah selesai, dia akan membawa aku melakukan test DNA.."
" Oh bagus dong.. berarti Dylan mulai percaya kalau kamu adiknya dia.."
Delia hanya mengangguk kepalanya.
" Oh ya Nona, kalau boleh tahu—"
" Namaku Natasha, panggil Tasya saja.."
" Baik Tasya.. aku cris—" Delia terdiam bingung harus memperkenalkan dirinya sebagai apa.
" Karena nama pemberian dari kedua orangmu Delia.. jadi aku panggil Delia saja."
" Oh ya boleh.." gadis itu terlihat sangat polos. " Tadi tuan Dylan juga memanggil aku Delia.."
Natasha tersenyum masam, tampaknya Delia harus belajar membiasakan diri bersama mereka dulu.
" Baiklah.."
***
Dylan menyandarkan tubuhnya di jok mobil, Brian yang menyetir di sebelahnya memandang heran kearahnya.
" Ada apa, Lan.."
" Aku hanya berfikir setelah ini aku mau menjauh dari dunia gelap.."
Brian tersenyum kecil. " Apa itu artinya kau ingin memulakan hidup baru dengan Sarah.."
" Iya mungkin.. terima kasih kau telah banyak menolongku selama ini.."
" Kita teman, Lan.. sudah seharusnya tolong menolong.."
Dylan terdiam mendengar kata Brian, tiba tiba dia teringat dengan Kim.
Ya, pria itu baru berapa hari yang lalu mengirim video, walaupun Kim mengirim video itu menggunakan nombor telefon lain, tapi Dylan tahu itu Kim.
Sebuah video yang sudah lama mereka cari dan Kim yang menyimpan selama ini.
Dylan sempat kecewa dan marah karena Kim menyembunyikan video itu selama ini, padahal kalau sejak dulu dia menyerahkan video itu, pasti sudah lama mereka membalas dendam.
Namun mengingat dia juga pernah di posisi Kim, dia memahaminya.
" Kita sudah hampir tiba, Lan.." kata Brian mengejutkan Dylan dari lamunannya.
" Iya.." jawab Dylan sedikit ketus.
***
Brandon melangkah keluar dari ruangan kerjanya.
Dan jelas terdengar di telinganya baku hentam di depan rumah, mahupun di luar.
Brandon menggeram, apakah tadi malam anak buahnya salah memberi informasi?
Bukankah seharusnya anggota mafia Red Dragon berada di pelelangan untuk menjual jantung yang telah di sediakan kepada klien, lalu kenapa sekarang berada di rumahnya?
***
Nick dan Natalie yang sudah biasa dengan bau sangat menyengat, dengan langkah angkuh memasuki kawasan pelelangan.
Seketika tempat pelelangan itu menjadi heboh, melihat dua kembar dari gang Red Dragon berada kawasan pelelangan Brandon Farris.
" Apa yang kalian lakukan disini.." tanya salah satu anak buah Brandon.
" Bray.. apa kau mendengar itu.." kata Nick pelan, pria itu memakai earphone di telinga kanannya, Begitu juga Natalie.
Tak lama kemudian terdengar keributan dari pelbagai arah, dan semua orang disana automatik panik mendengar ada keributan.
Nick tersenyum sinis. " Kita ke markas Brandon."
Natalie mengangguk lalu mengikuti sang kakak, memang tujuan mereka kesana bukan untuk menjual beli, namun mereka mau menguasai kawasan pelelangan tersebut.
***
" Lan... Anak buah Brandon sudah berhasil di kalahkan.." kata Brian pada Dylan.
Mengangguk kepala, lalu keluar dari mobil.
" Tuan.." anak buah Brian yang menjaga area rumah itu memberi hormat pada Dylan, saat melihat pria itu keluar dari mobil.
" Apa kalian yakin, tidak ada yang meloloskan diri dari rumah itu.."
" Benar tuan.."
Dylan tak berbicara lagi, dia melangkah kearah pintu rumah itu, sepertinya rencananya selama ini untuk memojokkan Brandon berhasil.
Dia masuk ke ruangan yang cukup luas itu, lagi lagi dia merasa geram dengan tindakan Kim yang kurang dewasa, dia tahu kalau rumah dan usaha yang selama ini Brandon jalankan adalah dari duit Kim.
Brandon sepertinya sengaja memperalatkan Kim dalam semua usahanya selama ini, dengan menghasut demi hasut yang di sampaikan ke pada Kim.
Kim yang sudah tersudut dendam pada Dylan, dia tak bisa lagi membedakan kebenarannya.
Dan Dylan coba memahami semua itu, karena dia pernah berada di situasi Kim.
Bukankah selama ini, dia juga menurut dan mempercayai semua bualan Kim? Dan mungkin begitu juga dengan Kim.
" Mana pria tua itu?" Tanya Brian mengejutkan Dylan.
Hingga tak lama kemudian, Brandon datang bersama empat orang anak buah terlatihnya.
" Aku merasa ke empat orang itu bukan orang biasa.." kata Brian pelan.
Dylan melirik sekilas kearah Brian, dia hanya diam, walaupun dia setuju dengan pendapat Brian.
" Dylan Alvaro.." Brian maju ke depan sambil bertepuk tangan.
Dylan masih terdiam, dia tak menyangka pria tua itu terlihat masih gagah perkasa walau sudah tua dengan rambut beruban.
" Mafia dari Red Dragon datang bertamu satu kehormatan bagiku.."
Brandon tersenyum sinis, Dylan memang seperti Aldo, Adik angkatnya, kelam dan tak banyak bicara.
" Ada apa kau kemari.."
" Ingin membunuhmu.." jawab Dylan to the point membuat Brandon tersenyum.
" Kau tidak tahu perkara yang sebenar terjadi, Dylan.."
" Ya.. aku tidak mengetahuinya, yang aku tahu kau adalah anak angkat tidak tahu berterima kasih.."
Dylan tersenyum sinis, melihat wajah kesal Brandon. " Kau tidak tahu apa apa, Wilson sialan itu pilih kasih kepadaku karena aku hanya anak angkat kepada Davian Alvaro, aku tidak minta di adopsi olehnya.."
" Bukankah dalam wasiat Grandpa Wilson namamu juga tersenarai.." kata Brian karena Dylan hanya diam.
" Iya.. tapi tidak ada rumah, perusahaan, yang ada hanya duit sepuluh juta perbulan bersama Jackson, aku tak terima! Semantara Aldo terima semua kekayaan itu, seharusnya aku yang menikah dengan Elena karena aku adalah anak sulung dari Alvaro.."
" Apa kau waras pak tua? Apakah tidak ada tanda terima kasih sedikit saja yang kau simpan dalam otakmu?" Tanya Brian mulai jengkel dengan jalan fikiran Brandon.
Brandon menggeram, pemuda itu telah menyindirnya terang terangan.
" Ketika Uncle Jackson menceritakan pada kami tentang semua kebenarannya, dia tidak ada mengungkit tentang uang sepuluh juta perbulan.."
" Sudahlah, Bryan.. tidak ada guna berbicara dengan manusia lupa daratan.."
" SIALAN!!" Teriak Brandon, dia sadar hanya dia yang gila harta selama ini, semantara Jackson terima begitu saja duit sepuluh juta perbulan itu tanpa ada protes.
" Bunuh kedua b******n itu.."
Semantara itu Delia yang merasa kebosanan terkurung markas itu, mulai melangkah keluar dari dalam kamar.
" Apa aku temui papa saja.." Gumamnya.
Dia melangkah mendekati seorang pengawal.
" Hello tuan.."
" Iya.. Nona ada yang bisa saya bantu.." jawab pengawal itu.
" Dimana kamar tawanan.."
" Maaf, Nona, tapi saya—"
" Ingat aku adalah adik kepada tuan Dylan bos kamu, mau aku laporkan padanya karena tak mau menolongku.." sela gadis itu dengan suara tegasnya, namun percayalah dalam hati, dia sangat ketakutan.
Pengawal itu meneguk salivanya dengan kasar, sialan! Dia harus bagaimana sekarang?
Tadi tuan Lee sudah memperingatkannya jangan sekali kali membawa gadis itu ke kamar tawanan.
Namun sekarang gadis itu malah mengancamnya akan melaporkan pada sang kakak jika tak menuruti kemahuannya.
" Urm.. bagaimana ya, Nona.." pengawal itu tampak serba salah.
" Ayo!"
" Tapi tuan Lee sudah memberi tugas kepada saya, bawa Nona tunggu di kamar saja.."
" Oh begitu?"
Pengawal itu mengangguk kepala ketakutan, dia mendengar dari teman-temannya yang lain bawa ada lima orang anak buah tuan Brian sudah di penggal karena memberi obat perangsang kepada gadis di depannya ini, padahal itu murni perintah dari tuan Dylan untuk memberikan obat perangsang pada gadis itu.
" Baik, akan aku laporkan kepada kakak ku..
Lihat saja.."
Gadis itu memberikan lirikan tajam, dan ketika di mood seperti itu, pengawal itu seolah melihat Dylan dalam diri gadis itu.
" Baiklah nona.. mari.."
Pengawal itu mengalah, dia lebih baik di hukum tuan Lee daripada tuan Dylan yang langsung membuat nyawanya melayang.
" Begitulah.."
~ Bersambung ~