06. Sisi Baik Dylan

1059 Kata
Aaron mempersiapkan pistolnya, ketika Rick menghentikan mobilnya di sebuah rumah yang selalu tempat mereka menyimpan minuman keras. " Tuan.." sapa seorang pria bertubuh tegap. " Ini orangnya, Tuan.." " Hey bangun.." salah satu anak buah pria berkulit hitam itu menampar buruan mereka. " Lepaskan pakaiannya.." perintah Aaron sambil memperhatikan wajah pria itu. " Lepaskan.." buruan itu berontak ketika pakaiannya di buka paksa bahkan sampai di robek. " Apaan ini.." " Kecil sekali.." Aaron yang memang bersifat nakal memberi komentar saat melihat pusaka buruan itu yang kecil dan pendek. " Kurasa karena dia ketakutan makanya burungnya mengecil.." pria berkulit hitam itu turut memberi komentar. Serentak semua tertawa terbahak bahak, dan pria itu tentu tak terima burungnya di katanya kecil, dia meraung dan menangis. " Lepaskan.." Aaron memperhatikan ke seluruh tubuh pria itu, dia tak memiliki tato. " Dia bukan anak buah Dylan.." " Aku sudah menduga.." kata pria berkulit hitam itu. " Berikan chip itu.." Seorang anak buah berkulit hitam itu menghampirinya sambil menyerahkan sebuah kertas. " Chipnya ada disini.." Aaron menerima kertas itu, dan membuka lipatannya, ada chip memory di sana. " Ok, kalau begitu terima kasih, Bob.." kata Aaron sambil memberi isyarat pada Rick. " Lalu pria ini.." tanya Bob bingung. " Bunuh saja.." jawab Aaron. " Ah! Tunggu dulu, sebaiknya hantar saja ke markas satu.." Markas satu yang di ketuai Nick dan Natalie, Aaron sangat mengenal Nick, pria itu memang manusia berdarah dingin, menyiksa adalah kesenangannya. " Mafia psikopat itu pasti senang.." Dia tersenyum mengejek. " Bunuh saja aku.." teriak pria itu membuat langkah Aaron terhenti, dan saat yang sama tiga orang pria berjas hitam datang. Aaron mengenal mereka, ketiga mempunyai tato di batang leher. " Tuan Dylan memerintahkan kami untuk mengambil chip." kata salah satu dari mereka. Aaron terus menyerahkan chip tersebut dan terus masuk dalam mobil di ikuti Rick. " Terima kasih, Tuan.." Dalam perjalanan kembali ke club, Aaron melamun sambil memperhatikan kota New York, dia menghela nafas membuat Rick memandangnya bingung. " Ada apa, Tuan.." " Sepertinya ada yang tidak beres di markas." jawab Aaron. Setelah sekian lama dia meninggalkan markas, baru kali ini Dylan meminta tolong padanya, walaupun dia sudah tidak ada hubungan dengan anggota sombong itu tapi Aaron masih mengambil peduli tentang Dylan, tapi hanya Dylan... Dan dia? Dia yang membuat Aaron meninggalkan markas. " Kalau boleh tahu kenapa tuan meninggalkan markas." " Karena mencintainya.." jawab Aaron enteng. Rick mengerutkan dahi, mencintainya Bukankah Aaron meninggalkan markas karena Nick serta yang lain tak menyukai kebiasaan Aaron yang membawa wanita ke markas. Karena kehadiran pria itu yang selalu berada di dekat gadis itu membuat Aaron sulit mendekatinya, lagipun sifat gadis itu yang sombong dan dingin membuat Aaron kesulitan menebak isi hati gadis itu. Selama dia berada di markas dan kebiasaan Aaron membawa wanita di markas, tujuannya adalah membuat gadis itu cemburu, tapi siapa sangka karena kebiasaannya itu membuat teman temannya yang lain terganggu, dan mengusirnya! Aaron pergi bukan karena pengusiran itu tapi karena dia sudah putus asa dan dia sendiri tidak ada keberanian mengungkapkan perasaannya pada gadis pujaannya itu. Dylan tahu semua, tapi pria itu memilih tak ikut campur, karena fokusnya selama ini adalah balas dendam pada keluarga Jackson. " Aku selalu merinduimu.." gumamnya pelan. *** Dylan kembali ke kamar, dia melihat ke ranjang tiada sesiapa disitu. " Mana gadis itu?" Tak berselang lama, seseorang keluar dari kamar mandi dan hanya menggunakan handuk separas paha. " Apa kamu ingin menggodaku.." tanya Dylan membuat gadis itu terperanjat kaget. " Tuan?" Gadis itu panik, dia berlari ke ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, walaupun sudah terlambat karena Dylan sudah memperhatikannya sejak dia baru keluar dari kamar mandi tadi. Dylan hanya diam memperhatikan gadis itu yang masih mematung di hujung ranjang. Flora Jackson, ya nama gadis itu, Lee telah memberikan data lengkap tentang gadis itu. Dan memang benar dia adalah keturunan Jackson. Dylan akan membuat flora tersiksa dulu, karena terus membunuh tak begitu seru. " Sini kamu." Panggil Dylan sambil mengambil pengering rambut. " Cepat.." Gadis itu meneguk salivanya dengan susah payah, apa lagi yang di ingin pria itu? Dia melangkah pelan menghampiri pria itu. Lututnya sudah bergetar walaupun pria itu tak menunjukkan ia marah tapi entahlah tetap hatinya merasa takut. " Bisa lebih cepat.." Dylan menarik paksa tangan gadis itu. " Duduk.." " Tuan, jangan bunuh saya.." gadis itu mendongak memandang alat pengering rambut itu. Dylan tak menanggapi ucapan gadis itu, selimut yang terlilit di tubuh gadis itu di tarik kasar. " Tuan?" Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di d**a. Dylan melihat wajah gadis itu dari cermin, biarpun tertunduk tapi jelas terlihat gadis itu menangis ketakutan. Siksa batin! Ya, Dylan ingin menyiksa gadis itu dengan ringan ringan dulu, dia mau merosak mental gadis dengan ketakutan. " Turunkan tanganmu.." katanya pelan tapi gadis itu tak berkutik. " TURUNKAN TANGANMU!" Teriak Dylan tepat di kuping teling gadis itu. " Argh!" Karena terkejut dengan teriakan itu gadis itu sampai jatuh dari atas tempat duduk. " Hiks! Hiks.." " Berdiri.." melihat gadis itu hanya terdiam, Dylan terus mengambil pistol di atas meja. " Berdiri." Gadis itu mendongak melihatnya dengan bibir bergetar, melihat itu Dylan seolah kembali ke masa lalu. " Jangan sakiti adikku." Sekilas Dylan mengingat kepingan memori masa lalunya. Dylan menggelengkan kepala, dia tak mau mengingat masa lalu itu. Dia menarik lengan gadis itu memaksanya untuk berdiri. " Kamu mau mati.." " Tidak, saya mau ketemu mama.." jawab itu sambil tersedu sedu. " Duduk.." perintah Dylan dengan nada pelan. " Tapi tuan jangan bunuh saya, Ya?" " Baiklah.." Dylan tersenyum membuat gadis itu lebih tenang. " Janji ya..." Dylan tak menanggapi, perlahan dia memegang rambut gadis itu sambil mendekatkan pengering itu di rambutnya. Gadis itu menatap wajah pria itu di cermin yang tampak serius mengeringkan rambutnya, rambutnya juga di elus dengan lembut. Dia tak pernah di perlakuan lembut seperti itu sebelumnya, mesti pun pria itu sempat mengasarinya tadi, tapi kini dia tampak sangat hati hati mengeringkan rambutnya. " Sudah.." kata pria itu membuyarkan lamunan gadis itu. " Siapa namamu.." pancing Dylan walaupun dia sudah tau, tapi entah kenapa dia mau tau langsung dari bibir mungil gadis itu. " Quin Sarah.." Dylan mengerutkan dahi, kenapa namanya beda dengan data yang dia baca tentang gadis itu, tapi kemudian dia tersenyum. Pintar juga dia berbohong.. gumam Dylan dalam hati. " Quin Sarah?" Dylan manggut manggut. " Baiklah, panggilan kamu quin atau Sarah.." " Sarah.." —Bersambung— ————
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN