Kotak Hitam

1836 Kata
Hidung mancung dan bibir tipis berwarna merah muda itu membuat Alex tampak sempurna. Andai pertemuan kami tidak pernah dinodai oleh kejadian di hotel itu mungkin aku dengan  mudahnya jatuh hati pada Alex. Namun sayang itu sudah terjadi yang membuat aku sulit menerimanya. Alex mengusap matanya perlahan, ia meringis memegangi kepalanya. Aku segera menghampiri, duduk di tepi ranjang kemudian mengambil handuk basah yang ada di dahinya. Mata hitam itu terlihat sayu. Alex menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Saya akan buatkan makanan untuk Pak Alex,” ujarku sambil berdiri. Alex menarik tanganku hingga aku kembali duduk. Mata kami saling bertatapan membuat aku tak bisa berkutik dari hadapannya. “Boleh saya minta sesuatu darimu?” “A-apa?” Belum sempat Alex mengeluarkan suaranya bel apartemen berbunyi. Jantungku berdegup kencang seakan bunyi nyaring itu adalah petaka besar.  “Saya sembunyi di mana?” ujarku mulai panik. Orang di luar sana sepertinya sudah tidak sabaran menunggu pintu dibuka. Ia terus menerus membunyikan bel apartemen. “Kamu tetap di sini, kunci saja pintunya dari dalam,” ujar Alex sambil mencari pakaian yang ada di lemari. Setelah menemukannya dengan cepat Alex mengenakan pakaiannya. Setelah Alex keluar aku segera mengunci pintu kamarnya. Aku tidak tahu siapa yang bertamu pagi-pagi, jangan sampai ada orang yang tahu  keberadaanku. Suara ribut di luar sana membuatku penasaran. Kubuka sedikit celah pintu untuk melihat lebih jelas siapa yang bertamu. Ternyata teman-teman kantorku – Aline, Micel- dan Siska -sekertaris Alex. Disusul tiga pria tampan yang merupakan sahabat dari pria itu. “Pak Alex baik-baik saja?” tanya Aline sembari menggenggam tangan Alex. “Badannya hangat, apa bapak sudah ke dokter? Apa perlu aku panggilkan dokter?” lanjut Aline. Alex melepas tangannya dengan lembut ia tidak tersenyum hanya mengangguk sebagai jawaban. “Saya bawakan makanan untuk Pak Alex.” Kini giliran Siska yang mencari perhatian. “Saya siapkan dulu di dapur.” Siska beranjak ke dapur untuk mempersiapkan makanan yang ia bawa. “Apa ada seseorang di sini? Kenapa ada sepatu wanita?” tanya Rey, melirik ke arah heels pink yang ada di dekat pintu. Bodohnya aku lupa menyembunyikan sepatu itu. Semoga Alex bisa mencari alasan yang tepat. “Itu milik saudara saya, mungkin dia lupa membawanya.” “Kenapa dia bisa lupa? Apa dia tidak memakai alas kaki saat pergi?” Kini Micel menatap curiga pada Alex. “Dia pakai sandal rumah, kakinya lecet karena sering pakai heels,” ucap Alex. “Setahuku Melody tidak akan meninggalkan sepatunya sembarangan. Apa selera warna adikmu sudah berubah, Alex?” tanya Rey. Sepertinya pria itu sangat mengetahui siapa Melody. Semua orang terdiam mendengar Alex dan Rey bicara. Terasa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Tatapan Rey dan Alex pun berbeda. Siska datang membawa makanan dari dapur. Membuat suasana kembali seperti biasa. Mereka makan bersama, sesekali Aline, Micel dan Siska mencoba menyuapi Alex. Seperti biasa Alex tidak bisa menolak. Kututup kembali pintu kamar sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Melihat mereka makan perutku jadi keroncongan. Terlebih sebentar lagi jam makan siang dan aku belum memasukan makanan dan minuman ke dalam perut. “Cepatlah pergi aku lapar,” gumamku memegangi perut yang mulai berdemo. Aku berjalan gontai ke tempat tidur. Salah satu hal yang bisa kulakukan saat ini adalah tidur. Beberapa kali aku mengganti posisi yang nyaman namun mataku tetap terjaga. Aku bosan, lapar dan ingin cepat pergi dari tempat ini. Benar-benar menyiksa. Sebuah ide terlintas di pikiranku untuk menghilangkan rasa bosan. Kapan lagi bisa melihat kamar Alex dengan leluasa. Barang-barang yang ada di kamar Alex tidak terlalu banyak, sangat simpel dan sepertinya Alex tidak suka membeli barang mewah yang berlebih. Semua barang bahkan termasuk lukisan abstrak yang ada di dinding pun terlihat sederhana. Sebuah kotak hitam yang tergeletak di pojok dekat lemari menarik perhatianku. Kotak itu sedikit berdebu, tercetak merek dari brand terkenal di atas tutupnya. Kenapa Alex meletakkan barang mewah di tempat seperti itu? Bahkan ruangan ini masih cukup untuk  satu buah lemari kaca sebagai tempat barang-barang mewah yang mungkin bisa ia koleksi. Rasa penasaranku semakin menjadi. Kubuka isi dari kotak hitam itu. Tanganku bahkan kotor saat memegangnya. Beberapa lembar foto tersusun rapi di dalamnya. Cukup banyak, aku yakin ini adalah foto kenangan Alex semasa sekolahnya dulu. Ada sebuah foto keluarga di mana Alex dan seorang perempuan berada di tengah-tengah. Ada beberapa foto di mana hanya Alex dan perempuan itu tersenyum bersama. Sampai pada foto ke delapan terlihat Alex tumbuh dewasa bersama gadis cantik yang mirip dengannya. Di foto selanjutnya Alex dan seorang gadis berciuman di tepi sungai Yarra. Wajah gadis itu tidak terlihat karena foto diambil dari belakangnya. Apa mungkin dia adalah orang yang sama seperti di foto sebelumnya? Ada rasa aneh yang merasuk saat melihat foto itu. Mana mungkin pria seperti Alex tidak pernah berciuman, dia bahkan sangat hebat saat melakukannya. “Jangan menyentuh barang orang sembarangan.” Suara dingin itu membuat aku menoleh. Alex berjalan dengan langkah lebarnya. Dengan kasar ia mengambil kotak hitam itu dari tanganku. Aku cukup kaget dengan apa yang ia lakukan. Alex terlihat berbeda. Ia marah. “Ma-maaf, aku tidak sengaja menemukannya.” “Ini bukan ketidaksengajaan. Saya paling benci dengan orang yang mengambil barang berharga saya tanpa izin,” ujar Alex dengan nada dingin. Tatapannya menajam seolah terusik dengan apa yang aku lakukan. “Aku benar-benar tidak tahu kal-“ “Tapi seharusnya kamu tidak membukanya.” “Alex…” “Pergi!” “Aku minta maaf.” “SAYA BILANG PERGI!” Aku tersentak. Suara Alex meninggi. Matanya memerah menandakan ia benar-benar marah. Tapi kenapa? Apa yang membuat dia seperti ini? Air mataku meleleh begitu saja. Dia membentak dan mengusirku. Aku menatap Alex sebentar sebelum mengambil tas dan pergi dari apartemennya. Seumur hidup aku belum pernah dibentak, bahkan mama dan papa tidak pernah berbicara dengan nada tinggi. Entah kenapa Alex membuat aku sakit. Aku membencinya. *** Kejadian di apartemen Alex masih berputar di kepalaku.Seketika perasaanku menjadi kacau, beruntung mama dan papa tidak menyadari perubahan suasana hatiku.  Mama mengusap kepalaku dengan lembut, sementara papa duduk selonjoran sambil memijat jar-jari tanganku. Aku sudah biasa seperti ini, menjadi anak yang tidak tahu diri. Seharusnya akulah yang memijat atau melayani papa dan mama namun sampai usiaku yang ke 25 ini aku tetap memjadi anak manja. Mama dan papa memperlakukanku dengan baik karena aku anak mereka satu-satunya. Andai dua kakakku masih hidup mungkin rumah ini lebih ramai, tapi apa boleh buat, kami harus kehilangan mereka begitu cepat. Mama bilang kakak pertamaku adalah pria. Dia meninggal sesaat setelah dilahirkan. Kakakku terlahir prematur karena mama saat itu mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Kakak keduaku adalah perempuan. Dia meninggal sebelum dilahirkan. Ya, mama mengalami keguguran karena terpeleset dari lantai yang licin. Bersyukur aku lahir dengan selamat walau dulu mama sempat takut hamil lagi. “Kamu kenapa Ana, kok cemberut?” tanya mama. “Ma, kalau aku melihat foto mama tanpa izin apa mama marah?” “Kenapa bertanya seperti itu?” ujar papa menimpali. “Temanku sangat marah saat aku melihat foto lamanya.” “Mungkin saja dia malu dengan penampilannya yang dulu,” kata Mama. “Atau dia memiliki kenangan yang tidak boleh diketahui orang lain,” sahut Papa. Aku terdiam mencerna hipotesis dari mama dan papa. Apa iya Alex malu pada foto lamanya? Tapi Alex tetap terlihat tampan dalam foto itu. Tidak ada yang aneh dengan foto-foto itu bahkan aku bisa melihat wajah Alex yang tersenyum lebar. “Tapi dalam foto itu dia terlihat bagus maksudku tidak jelek.” “Ana, setiap orang punya rahasianya masing-masing. Meski kita menganggapnya biasa-biasa saja tapi bagi orang itu mungkin berbeda. Jangan sama ratakan masalah setiap orang karena mereka punya sudut pandang berbeda,” ucap mama, Aku menarik diri untuk duduk di samping mama. Aku masih bertanya-tanya pada diri sendiri sebenarnya apa yang disembunyikan Alex hingga marah besar. Pria itu sangat susah di tebak. Terlebih perlakuannya selama ini padaku masih tergolong baik--minus kejadian di hotel. “Oh, iya bagaimana keadaan Alex? Sudah baikan?” tanya mama sambil meraih majalah di atas meja.  “Katanya Alex sakit dan kamu yang merawatnya, benar Ana?” Papa berbalik menatapku. “Dari mana papa dan mama tahu kalau Alex sakit?” Mama tersenyum, “Alex mengirim pesan ke mama kalau kamu ada bersamanya. Alex bilang dia sakit dan membutuhkan bantuanmu. Harusnya kamu memberitahu mama kalau teman yang kamu maksud itu adalah Alex.” Tunggu. Kapan Alex mengirim pesan pada mama? Kenapa aku tidak tahu sama sekali. Bahkan saat aku masih di apartemennya Alex tidak terlihat memegang ponselnya. “Kapan Alex memberitahu mama?” tanyaku penasaran. “Semalam. Dia mengirimkan pesan singkat. Mama hampir tidak bisa tidur semalaman karena nungguin kamu yang belum pulang.” “Maaf, Ma. Aku gak mau mama khawatir,” jawabku. “Lain kali kamu harus jujur Ana, biar Papa dan Mama bisa tenang di rumah,” kata Papa. “Iya, Pa, Ma, lain kali Ana gak akan kayak gitu lagi. Ana ke kamar dulu, ya. Mau istirahat.” Aku beranjak pergi setelah mencium pipi mama dan papa. Kuhempaskan tubuh ke tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar. Masih terbayang senyum Alex dan wajahnya yang memerah ketika marah. “Pria aneh,” gumamku sebelum menarik selimut untuk tidur. *** Tidak seperti biasa pagi ini langkahku sedikit berat untuk menginjakkan kaki di kantor. Terlebih hari ini aku harus rapat dan bertemu dengan Alex. Aku duduk di kursi kerja sambil menghela napas dalam-dalam. Menarik dan menghembuskan dalam-dalam.  Bekerja dengan hati kacau tidaklah menyenangkan terlebih bayangan wajah Alex kemarin masih terekam jelas. “Aku harus siap-siap kena marah,” gumamku. “Dimarah sama siapa?” Micel datang sambil menenteng beberapa dokumen. Aku yakin semalam ia lembur mengerjakan tugas di rumah karena tidak biasanya Micel menenteng map plastik ke kantor. “Aku tidak enak badan, aku takut di marahi bos kalau presentasiku buruk.” Micel menarik kursi yang ada di meja sebelah, kini kami duduk saling berhadap-hadapan. Wajah Micel terlihat sayu, walau samar namun aku masih bisa melihat lingkaran matanya dari dekat. “Gak biasanya seorang Anatasya murung kayak gini. Lo baik-baik saja’kan?” Haruskah aku bicara pada Micel kalau Alex marah padanya, tapi bagaimana bisa aku mengatakan yang sejujurnya bisa-bisa Micel tahu kalau kemarin aku ada di apartemen Alex. Itu sama saja bunuh diri. “Tenang saja aku baik, gak perlu khawatir.” Suara heels menyentuh lantai terdengar memasuki ruang marketing. Aku dan Micel menoleh ke sumber suara. Siska datang menghampiri kami dengan anggun. Tapi ada yang aneh dengan penampilan gadis itu. Dia terlihat berani dengan rok pendek dengan belahan samping yang cukup tinggi. Aku yakin saat dia duduk nanti sebagian pahanya akan terekspos. “Ana, dipanggil sama Pak Alex ke ruangannya.” “Sekarang?” “Iya, sekarang. Katanya penting untuk rapat nanti.” Apa yang harus aku lakukan. Aku belum siap bertemu Alex. Ini mimpi buruk di pagi hari. “Ana, sana temui Pak Alex, Siska sudah pergi.” Micel menyadarkan aku, walau enggan aku harus tetap pergi karena itu adalah perintah. Siska yang duduk di belakang komputer menatapku lekat dan memberi kode dengan tangannya agar aku segera masuk. Kalau boleh memilih aku lebih baik diberikan pekerjaan yang banyak dari pada menemui Alex.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN