Pergi Bersama

1779 Kata
Alex duduk membelakangi meja kerjanya menatap jendela yang tertutup gorden biru. Aku tidak tahu harus berkata apa, rasanya begitu canggung. Alex memutar kursinya sehingga aku bisa melihat wajah tampan itu. “Duduklah,” ujarnya dingin. Aku menurut. Membantah ucapannya pun percuma karena dia adalah atasanku. Alex mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. Aku menatap Alex meminta penjelasan. Tidak mungkin Alex meminta diriku membelikannya kopi dan roti untuk sarapan. “Saya ingin membayar hutang.” “Apa? Hutang?” Alex mengangguk. “Seperti yang saya katakan hutang itu akan dicicil selama dua bulan.” Aku menghembuskan napas panjang, pria ini sudah gila. Ia bisa membeli jam tangan mewah dengan uang yang dimilikinya tapi membayar hutang seratus ribu harus dicicil. Apa dia sedang mempermainkan diriku? “Lupakan saja masalah hutang itu. Anggap itu traktiran,” ujarku  mendorong kembali uang dua puluh ribuan itu kepada Alex. Namun Alex kembali mendorong uang hijau itu padaku. “Janji adalah janji, saya tidak bisa mengingkarinya. Saya akan mencicilnya selama dua bulan tidak lebih dan tidak kurang.” Aku menerima uang pemberian Alex. Pria itu bertingkah seolah memiliki hutang miliaran rupiah. Apa boleh dibuat, Alex sudah mengatakan akan membayarnya dan itu tidak bisa diganggu gugat. Anggap saja rezeki yang tidak boleh ditolak. “Kalau tidak ada yang dibahas lagi saya permisi, Pak.” “Tunggu.” Aku mengurungkan niat untuk berdiri. Alex mengeluarkan sebuah bunga dari lacinya. Bunga mawar putih yang dibungkus dengan cantik ditambah hiasan pita warna merah yang ujungnya melingkar. Aku menatap Alex penuh tanya sementara pria itu terlihat biasa saja. Atau mungkin dia sedang menahan gugup “Ini… bunganya,” ujarnya tanpa melihatku. Alex memalingkan wajahnya. “Maksud bapak?” “Aku memiliki hutang dan ini bunganya. Aku tahu kamu tidak akan menerima uang lebih, jadi kubelikan saja bunga yang asli,” ujarnya cepat. Aku mengangguk paham. Terlintas sebuah ide di kepalaku, sedikit mempermainkan bos aneh ini pelajaran sepertinya tidak masalah. Lagi pula ia belum minta maaf karena telah membentakku kemarin. “Tapi aku tidak suka bunga,” ujarku. “A-apa? Jadi apa yang kamu suka?” Alex menatapku dalam, ia terlihat seperti anak kecil yang antusias menonton film kartun.  Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban dan itu membuat Alex mengusap bagian lehernya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pria itu. Alex membuka sebuah lemari kecil di dekatnya. Ia mengeluarkan sebuah bingkisan dan membuka isinya. Sebuah boneka panda berukuran kecil kini berada di tangannya. Alex meletakkan boneka itu di depanku. “Boneka?” tanya Alex. Aku menggeleng lagi dan Alex kembali menunduk untuk mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Aku penasaran kenapa bisa ada boneka di lemari itu. Tidak mungkin ia sengaja membeli boneka untuk koleksi pribadi. “Ini?” Alex memberikan tiga bando telinga kelinci. Astaga kenapa pria seperti Alex yang terlihat dingin dari luar tapi menyimpan benda-benda seperti ini. Sungguh ini di luar akal sehat, orang-orang tidak akan percaya jika tidak melihatnya langsung. “Aku tidak suka,” ujarku membuat Alex menyisir rambut hitamnya dengan tangan. Aku masih menunggu apa lagi yang akan ia berikan padaku. Alex membuka laci yang berada di sebelah kananya. Ia mengeluarkan sebuah coklat putih dan meletakkannya di atas meja. “Ini yang terakhir, apa kamu suka?” ujarnya dengan penuh keraguan. Pria ini penuh kejutan, aku belum bisa menebak orang seperti apa bosku ini. Dari luar dia terlihat dingin bagaikan es yang tak tersentuh, tapi jika diperhatikan lagi ada kehangatan dari sikapnya. Aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu, sifatnya selalu berubah. Aku menggeleng lagi membuat Alex menyandarkan tubuhnya di kursi. “Apa yang kamu suka? Katakan pada saya,” ujarnya frustrasi. “Sebenarnya aku… suka semuanya.” Dengan cepat kukemas barang-barang di atas meja, tak terkecuali bunga yang Alex berikan. Kutatap wajahnya yang terlihat shock dengan apa yang kulakukan tapi Alex hanya diam tak bisa melarang saat aku ‘menjarah’ barang yang ada di atas meja. Baiklah anggap saja ini sebagai balasan karena dia telah membentakku kemarin walau rasa sakit di hatiku masih membekas. “Terima kasih Pak Alex untuk hadiahnya. Permisi,” ujarku. Alex tidak menjawab. Ia menatapku dalam diam, bahkan sampai aku keluar dari ruangannya pun Alex tak bicara sedikit pun. Siska menghampiriku saat melihat barang-barang yang kubawa dari ruangan Alex. “Hadiah dari siapa?” tanya Siska penasaran. “Dari Pak Alex. Kamu mau? Ini ambil satu.” Kuberikan satu bando telinga kelinci itu pada Siska sebelum melenggang pergi dari hadapannya. *** “Jadi kami merencanakan untuk membuat pelatihan menenun memberikan fasilitas, edukasi dan kesempatan bagi anak muda berkreasi. Mengingat karena tingginya pemesanan kain tenun dari dalam maupun luar negeri selama dua bulan terakhir. Kita bisa mendapatkan pekerja professional dan generasi penerus dari kalangan milenial. Bisa dikatakan ini adalah aset yang bisa kita bangun untuk kelangsungan usaha,” ujarku menutup presentasi pagi ini. Para peserta rapat mengangguk dan saling berpandangan. Jantungku berdebar-debar ingin tahu bagaimana respon mereka terhadap ide kami, di bagian merketing. Terutama Alex yang hanya bengong menatap padaku. Apa ada yang aneh? Apa aku melakukan kesalahan? Pertanyaan seperti itu terus muncul dalam benak. “Pak, bagaimana menurut Anda?” tanya Siska membuat Alex mengalihkan pandangannya dariku. “Ehmm … bagus, aku setuju. Jadi sekalian saja survei tempat untuk pelatihannya,” ujarnya membuat Aku dan Aline bernapas lega. Pekerjaan kami tidak sia-sia dan Alex langsung menyetujuinya.  Rapat hari itu diakhiri dengan diskusi ringan untuk menyempurnakan ide-ide yang kupaparkan saat presentasi. Aline bahkan tersenyum lebar sepanjang rapat. *** “Ana,” teriak Aline dari ruangannya. Aku langsung beranjak dari mejaku untuk pergi menemuinya. Ia tersenyum lebar dan mempersilakan aku duduk. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. “Gue sudah bilang ke Pak Rangga kalau lo yang gantiin gue. Pak Rangga bilang dia bakalan jemput lo di rumah hari Senin. Lo mau’kan gantiin gue survei?” “Oke, gak masalah. Ketemu di bandara saja, biar tidak repot.” “Gak apa-apa, malah gue lihat dia senang.” Aline tersenyum lebar. “Hati-hati sama duda anak satu, bisanya lebih agresif,” goda Aline. Gadis itu tertawa kencang. Aku tahu apa yang ada di pikirannya apalagi kami pergi hampir seminggu. “Jangan sembarangan, aku ke sana buat kerja bukan untuk macam-macam,” ujarku kesal. “Macam-macam juga gak apa-apa. Gue tunggu berita baik setelah lo balik.” Aku memukul pelan lengan Aline dengan dokumen yang ada di atas meja. Gadis itu masih tertawa walau aku sudah beranjak meninggalkan ruangannya. Rangga Prayoga adalah salah satu asisten Alex walau sangat jarang terlihat bersamanya. Usia Rangga tidak berpaut jauh dariku, mungkin sekitar tiga tahun lebih tua. Dari informasi yang kudengar, Rangga sudah bercerai dengan istrinya dan mereka sudah memiliki seorang anak yang berusia 7 tahun. Katanya dulu Rangga menikah muda karena istrinya hamil sebelum menikah. Selain itu aku tidak tahu lagi info tentang pria itu. Aku hanya pernah bertemu sekali dan itu pun hanya sekadar papasan. Dia pria yang menarik dan terlihat dewasa dengan kacamata yang dikenakannya. Tubuhnya tegap dan tinggi walau tidak terlalu tampan tapi Rangga tipe pria yang berkarisma. Siapa pun yang melihatnya bisa langsung jatuh hati. *** Senin adalah hari awal masuk kantor yang biasanya membuat aku malas menginjakkan kaki ke tempat kerja setelah liburan akhir minggu. Kali ini justru berbeda, aku sudah siap bekerja dan menunggu jemputan. Mama sejak tadi berdiri di sampingku, ia terlihat cemas karena ini perjalanan ke luar daerah pertamaku selama bekerja. “Sampai di sana hubungi mama, pokoknya kamu harus telepon mama sesering mungkin,” ujarnya khawatir. Aku tahu mama takut jika terjadi apa-apa denganku terlebih jarak Jakarta dan Jepara cukup jauh. “Iya, Ma. Ana bakalan telepon mama 2 kali 24 jam,” sahutku. “Mama lebih tenang kalau kamu pergi sama Alex, mama merasa kamu akan aman,” ucapnya. Mungkin mama merasa aman tapi aku dalam keadaan bahaya. Lima hari pergi dengan Alex bukan ide yang baik. Apa pun bisa terjadi pada kami terlebih aku tidak yakin kami akan akur. Akan banyak drama yang terjadi jika aku pergi dengannya. “Pak Rangga juga baik, Ma. Gak perlu khawatir.” “Tapi dia duda sayang, bagaimana jika-“ “Ma, stop… jangan berpikiran buruk. Kami gak akan ngelakuin apa-apa,” potongku mencoba menenangkan. “Apa pun yang terjadi kamu harus hubungi mama, bila perlu mama jemput kamu ke sana.” Aku hanya memutar bola mata saat mama bicara. Sifat berlebihan mama kambuh lagi. Jika papa yang mendengarnya mungkin papa akan menegur mama tapi sayang papa sudah berangkat ke kantor pagi-pagi. Sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di depan rumah. Aku merasa tidak asing dengan mobil itu. Namun aku segera mengenyahkan pikiran itu, mana mungkin Alex menjemputku pagi-pagi. Aku yakin dia sudah tahu aku akan pergi ke Jepara bukan ke kantor. Dugaanku ternyata benar. Alex turun dari mobil itu dan berjalan menghampiri kami. Dilihat dari penampilannya Alex sepertinya tidak akan pergi ke kantor. Apa jangan-jangan? Tidak. Mana mungkin Alex menggantikan Pak Rangga. “Alex, kamu ikut Ana ke Jepara?” tanya Mama antusias. Alex menatapku sejenak. “Saya yang akan pergi dengan Ana. Pak Rangga berhalangan karena anaknya sedang sakit,” sahut Alex. Apa-apaan ini? Lagi-lagi aku harus terjebak dengan pria aneh ini. Aku menerima tawaran Aline untuk menghindari Alex di kantor, tapi kenapa aku harus pergi berdua dengannya. Rasanya aku menyesal telah menerima tawaran itu. Seharusnya hari ini aku bisa merdeka bekerja di kantor tanpa kehadiran Alex. “Tunggu-tunggu, kamu gak bohongkan? Aku janjian sama Pak Rangga dan kemarin malam aku sempat menghubunginya dan dia bilang baik-baik saja,” ucapku. “Tadi pagi anaknya sakit jadi dia menghubungi saya pagi sekali. Tidak ada yang bisa menggantikannya, kecuali saya.” Aku menghembuskan napas panjang, kenapa Pak Rangga tidak memberitahuku? Apa ini cuma akal-akalan Alex saja? Tapi buat apa dia melakukannya? Seketika semangatku luntur. Bayangan akan bersenang-senang menjadi sirna. “Bagus kalau kamu perginya sama Alex, jadi mama bisa tenang,” kata mama sambil mendorongku pelan ke arah Alex. Setelah berpamitan dengan mama aku segera menarik koperku ke mobil. Alex ingin membantu namun aku menolaknya dan berjalan acuh mendahuluinya. Lenyap sudah liburan menyenangkan yang aku bayangkan. *** “Kamu marah?” tanya Alex yang tetap fokus pada jalanan. “Tidak,” sahutku singkat. “Saya minta maaf karena waktu itu sudah bentak kamu,” ujarnya. Aku menoleh pada Alex. Ingin rasanya bertanya kenapa dia terlihat marah saat aku mengambil kotak itu. Hanya saja aku tidak punya hak untuk bertanya masalah pribadinya. “Iya, gak apa-apa. Jangan diulangi lagi, siapa pun wanita di dunia ini tidak ingin diberlakukan dengan kasar. Aku belum pernah dibentak sebelumnya.” “Maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi.” Aku mengangguk dan mulai menikmati perjalanan yang panjang. Kubuka kaca mobil untuk menikmati angin segar. Pagi hari belum terlalu banyak kendaraan yang berlalu-lalang sehingga kualitas udara masih jauh lebih baik.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN