Demam

1307 Kata
Mereka hanya bisa mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku berjalan keluar dari klub. Saat berpapasan dengan Rey kutatap tajam pria itu hingga ia hanya bisa menundukkan kepala. Suara bising di dalam sana membuat hujan di luar tidak terdengar riaknya. Aku pikir langit di luar sangat cerah, tapi justru sebaliknya. Hujan deras membuat udara semakin dingin. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tidak mungkin aku kembali bergabung dengan yang lainnya, jika aku pulang pun rasanya tidak mungkin karena hujan sangat lebat. Mau tidak mau aku akan menunggu di mobil. Seorang satpam mengantarku ke dalam mobil dengan payungnya. Di dalam mobil terasa lebih hangat, kuusap telapak tangan berkali-kali dan menempelkannya di pipi. Hujan lebat membuat jarak pandangku berkurang, entah hanya ilusi atau kenyataan jika seorang pria berlari menerobos hujan dengan jas sebagai pelindung kepalanya. Pria bodoh, bisa-bisa dia sakit. Tiba-tiba pintu mobilku terbuka, pria itu masuk tanpa izin. Hampir seluruh tubuhnya basah dan dengan santainya ia membuang jas basah itu ke kursi belakang. “Apa yang bapak lakukan. Mobil saya basah!” Alex hanya diam mencoba mengeringkan tubuhnya. Kemeja putih yang digunakan Alex mencetak sempurna tubuh atletisnya. Sial, dia terlihat gagah dan seksi. Aku harus mengalihkan perhatian ke arah lain. “Kamu punya handuk?” “Ini mobil bukan hotel,” ujarku ketus. Alex menatapku, kemudian ia membuka satu per satu kancing kemejanya. Aku harus waspada, apa pun bisa terjadi saat ini terlebih hujan yang begitu deras bisa saja meredam suara kami. “Saya tidak mengizinkan Anda membuka baju. Tolong sopanlah pada wanita.” Alex kembali menatapku setelah membuka kemejanya. Pria itu bertelanjnag d**a di dalam mobilku. “Saya cepat sakit jika terkena air hujan, jadi saya harus mengeringkan tubuh sesegera mungkin.” “Jika tahu seperti itu kenapa harus main hujan-hujanan. Bapak bisa menunggu hujannya hingga reda.” “Tapi kamu akan pergi,” ujarnya. “Maksudnya?” “Saya tidak bawa mobil, tolong antarkan saya pulang.” Pria ini mungkin sudah tidak waras, untuk apa dia punya teman pria. Terlebih Aline akan dengan senang hati mengantarkannya pulang. Memberikan tumpangan secara cuma-cuma. “ Bukankah bapak punya teman yang bisa dimintai bantuan?” “Mereka sibuk dengan para wanitanya sementara Rey akan dijemput oleh sopirnya. Dia cidera,” ujar Alex menekankan pada kalimat terakhir. Kugigit bibir bawahku kuat-kuat. Ada rasa takut jika Rey terluka parah, tapi aku menendangnya tidak terlalu kuat. Aku asik memikirkan Rey, sementara Alex tengah menggigil kedinginan. “Katakan di mana rumah bapak,” ujarku. “Antarkan saya ke apartemen.” “Merepotkan.” *** Aku segera membawa Alex ke sebuah kamar lebih tepatnya satu-satunya kamar yang ada di apartemen itu. Kubuka sepatunya yang basah sebelum menaikkan kakinya ke atas tempat tidur. Tubuhnya menggigil, Alex meringkuk di tempat tidur dengan mata terpejam. “Ganti pakaian dulu. Bapak bisa sendiri, ‘kan?" Alex hanya bergumam, tanpa membuka matanya. Merasa tidak tega melihat Alex kedinginan aku memutuskan untuk membantunya mengganti pakaian yang basah. Alex menurut saat aku menanggalkan pakaiannya. Beruntung aku bukan salah satu dari penggemar beratnya. Walau aku tidak menyangkal bahwa aku  mulai mengagumi dirinya sebagai pria sempurna. Aku menggeleng, mengenyahkan pikiran tentang Alex. Bagaimana pun juga aku harus bergerak cepat untuk menghangatkan Alex. Ya, menghangatkan dalam artian sebenarnya. “Yak! Bisakah bapak mengganti celana sendiri? Aku tidak mungkin melakukannya,” ujarku. Namun Alex sepertinya tidak akan menjawab. Wajahnya pucat, terlebih kedua alisnya mengernyit. “Baiklah jika itu mau bapak. Aku akan menggantinya.” Kututup tubuh Alex sebatas d**a dengan selimut, meski ragu aku tetap harus mengganti celana panjangnya. Tidur dengan calana basah tidak akan membuat nyaman walau orang pingsan sekali pun. Entah apa yang terjadi tiba-tiba saja lampu padam. Ini sangat tiba-tiba dan aku membenci gelap. Hujan deras kembali mengguyur disertai kilat dan gemuruh. Pikiranku kacau, bayangan adegan film horor berkelebat di pikiranku. Bagaiman jika tiba-tiba ada sosok yang tak kasat mata datang menghampiri. Brak!... “Akhh!” Suara benda jatuh sukses membuatku menjerit. Jantungku berdetak lebih cepat, kilat menyambar hingga membuat bayang-bayang menakutkan. “Pak Alex, bangun…. Saya takut,” ujarku sembari mengguncangkan tubuhnya. “Hmmm.” Alex hanya bergumam, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Pulang pun rasanya takut karena jalan akan semakin gelap, sangat beresiko terlebih hujan lebat yang mengganggu jarak pandang. Petir kembali menggelegar, kakiku semakin lemas karena rasa takut. Tidak ada pilihan lagi selain bergabung di bawah selimut yang sama dengan Alex. Ini adalah mimpi buruk. Entah sudah beberapa kali suara petir menggelegar di luar sana. Aku hanya bisa diam memeluk pria yang berbaring di sampingku. Harusnya aku tidak terjebak di apartemen ini. Alex memiringkan tubuhnya sehingga ia leluasa memelukku. Rasanya hangat dan aku merasa dilindungi. Aku tidak bisa menolak pelukannya karena itu membuatku nyaman.  Dalam hitungan menit aku mulai mengantuk hingga akhirnya aku benar-benar terlelap dalam pelukan Alex. Untuk yang kedua kalinya. *** Suara jam weker terdengar nyaring. Rasanya benda itu berbunyi di samping telinga. Sebuah tangan yang melingkar erat di pinggang membuat aku sadar bahwa Alex masih memelukku sejak semalam. Wajah pria itu masih terlihat pucat, refleks saja tanganku terangkat menyentuh keningnya. Astaga, suhu tubuhnya meningkat, tanganku seperti dibakar. “Dia demam.” Aku segera beranjak dari tempat tidur. Melepaskan tangan Alex di pinggangku. Hal pertama yang kulakukan adalah mematikan jam weker yang mengganggu. Aku merasa bersalah pada Alex karena semalam belum sempat memakaikan pakaian untuknya. Mungkin itu salah satu yang membuat suhu tubuhnya meningkat terlebih kemarin malam hujan yang menyebabkan udara lebih dingin.  Aku segera mengompres keningnya dengan air hangat. Ibu biasa melakukan hal ini jika aku sakit. Sejenak aku berpikir bagaimana jika Alex sakit tapi tidak satu pun orang yang merawatnya, terlebih ia tinggal sendiri di apartemen. Bagaimana aku bisa meninggalkannya dalam keadaan sakit? Ponselku berdering, tertera nama Aline pada layar. Ia pasti sedang mencariku terlebih kami akan meeting pagi ini. Hey, siapa yang akan memimpin rapat jika bos mereka sendiri terkapar tak berdaya di atas ranjang. “Ya, halo,” ujarku mengangkat panggilan dari Bagaimana aku bisa meninggalkan dia sendiri dalam keadaan sakit Aline. “Lo di mana sekarang?” “Aku sakit, tidak bisa ke kantor,” ujarku. “Beneran? Kok gue gak tahu? Kalau begitu istirahat saja, sepertinya Pak Alex juga tidak datang. Kemungkinan rapat di tunda lagi,” ujarnya. Andai mereka tahu jika Alex tengah sakit mungkin mereka akan berbondong-bondong menjenguk pujaan hati mereka, tapi mereka akan curiga jika kuberitahu keadaan Alex yang sebenarnya. “Syukurlah, jadi aku punya kesempatan untuk presentasi,” sahutku berusaha bicara senormal mungkin. “Hmm… istirahatlah, lekas sembuh Ana, bye.” Sambungan terputus dan itu membuatku lega. Sekarang tinggal satu masalah lagi. Ponsel Alex berdering, sebuah panggilan dari Siska. Gadis itu pasti menanyakan keberadaan Alex. Ponsel itu berbunyi beberapa kali sampai akhirnya berhenti. Sebuah pesan masuk. Aku langsung membuka ponsel Alex yang tidak terkunci. Apa pria memang jarang mengunci ponsel mereka? Tidak ada kode apa pun yang harus kugunakan untuk melihat semua isi ponsel ini. Siska Pak Alex apakah Anda baik-baik saja? Saya ingin mengingatkan jadwal hari ini jika Anda ada meeting 30 menit lagi. Aku menatap Alex sejenak, bagaimana pun juga aku harus memberitahu Siska bahwa Alex sedang sakit. “Maaf Pak jika saya lancang membalas pesan sekertaris bapak,” ujarku pada Alex. Alex Saya tidak enak badan, maaf hari ini saya tidak bisa ke kantor. Jujur saja tanganku gemetar membalas pesan singkat itu. Bagaimana kalau Siska tahu bukan Alex yang membalas pesannya. Terlebih mereka sering berkomunikasi. Siska Apa Anda baik-baik saja Pak? Apa Anda sudah ke dokter? Saya merasa sedih tau jika Anda sakit. Aku tidak tahu ternyata Siska sama saja seperti Aline. Mereka berlebihan, cukup katakan lekas sembuh mungkin akan terasa lebih baik tapi pesan ini terlalu panjang. Alex Saya baik-baik saja. Saya mau istirahat. Kututup pesan obrolan dari Siska. Sepertinya sudah cukup memberitahu keadaan Alex pada gadis itu. Kutatap Alex yang masih memejamkan matanya. Jika melihat ia tertidur pulas seperti itu membuat ia terlihat mempesona. Aku merutuk, masih sempat-sempatnya memikirkan hal seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN