Aku berjalan lemas menuju ruangan kerja. Sialnya, kejadian di dalam mobil itu membuatku terlambat kembali ke kantor. Aku yakin Aline pasti cemas mencariku terlebih aku terlambat selama satu jam. Rasa bersalah pada Aline kini muncul, Aku merasa seperti teman yang sedang menikah temannya dari belakang. Harusnya aku mendekatkan Aline dengan Alex, tapi justru hubunganku dengan Alex yang semakin dekat.
“An, lo gak apa-apa? Pak Alex ngomong apa ke lo. Kok lama?” ujar Aline khawatir. Beberapa teman mulai mengerumuniku, mereka siap mendengar jawabanku tentu sebagai bahan gossip. Haruskah aku menjawab kami berciuman hebat dan hampir melakukannya di mobil. Untung otak warasku masih bekerja di saat yang genting.
“Pak Alex cuma ngasi tahu biar aku tidak mengulangi kesalahan seperti tadi,” ujarku.
“Selama satu jam?” tanya Micel.
“Bukan hanya itu, tapi masalah pekerjaan dan beberapa hal lainnya.”
“Gue belum pernah dengar Pak Alex marah, serem gak An?” tanya Desi.
Aku mengangguk. “Biasanya orang pendiam kalau marah itu lebih seram.”
“Tapi lo gak nangis, 'kan?” tanya Aline
“Enggaklah, anggap angin lalu,” ujarku.
Mereka kembali ke meja masing-masing setelah mendapat jawaban yang memuaskan. Aku tidak tahu harus berkata apa jika mereka tidak percaya dengan kebohongan yang kubuat. Aku kembali berkutat dengan pekerjaan. Gara-gara pria itu pekerjaanku belum juga selesai-selesai, terlebih sore nanti akan ada meeting.
Lagi-lagi Aline mendatangi mejaku seakan meja ini adalah gudang solusi dari segala masalah. Ia meletakkan beberapa map yang berisi lembaran dokumen penting. Wajahnya terlihat lesu tak bersemangat.
“Pak Alex batalkan meeting. Diundur jadi besok pagi.”
“Oh, sudah biasa, ‘kan?” Tanganku kembali mengetik di atas keyboard, jika benar diundur berarti aku punya banyak waktu untuk mempersiapkan beberapa dokumen untuk besok.
“Tapi masalahnya gue gak bisa liat Pak Alex lagi.”
“Ya ampun Al, minta fotonya saja biar gak kangen terus. Heran deh suka banget lihat dia. Pak Alex itu bukan pria baik-baik, dia aneh dan nyebelin,” ujarku kesal.
Aline menggeleng, ia tetap membela Alex yang dianggap sempurna. Memang susah bicara dengan orang yang tengah kasmaran, apa pun yang kukatakan tidak akan pernah ia percaya. Alex sudah dicap sebagai pria good boy yang sempurna dan pantas dijadikan pria idaman, tapi dibalik itu semua sisi liar seorang Alex Vergel sangat jarang diketahui. Mungkin hanya aku satu-satunya wanita yang tahu akan keburukan pria itu.
“An, lo bisa bantuin gue?” tanya Aline. Perasaanku mulai tidak enak, biasanya Aline akan memberi tugas yang berat.
“Jangan yang macam-macam.”
“Gimana kalau kita buat acara makan malam sama Pak Alex?”
“Dalam rangka?”
“Ya makan-makan biasa saja sih, setidaknya gue bisa lebih dekat dengan Pak Alex.”
Aku menggeleng mendengar perkataan Aline. Hanya demi bersama Alex dia rela mengocek kantong dalam-dalam.
“Terserah.”
“Lo yang undang Pak Alex ya.” Aline mengerjapkan matanya berulang kali. Sial, kenapa harus aku yang mengundang Pak Alex, bertemu saja aku sudah malu setengah mati.
Ana kamu harus bisa, lupakan kejadian tadi siang, itu hanya kecelakaan, batinku.
Aku mengangguk membuat Aline terlonjak senang, ia pun mengundang teman-teman untuk makan malam bersama.
***
Cukup lama aku menunggu kedatangan Alex. Dari tempatku berdiri saat ini memudahkan diriku untuk melihat ruang kerjanya. Kututup kembali gorden biru yang menjadi penghalang pandangan. Aku kembali ke meja kerja dan menunggu dengan gelisah. Aline sudah mengundang teman-teman untuk makan malam bersama, bagaimana pun juga aku tidak boleh mengecewakan temanku.
Suara segerombol pria yang diikuti derap langkah kaki terdengar mendekat. Aku beranjak untuk melihat siapa yang datang. Alex bersama teman-temannya masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ini kesempatan yang baik untuk memberitahu Alex tentang undangan makan malam itu.
Aku segera pergi menemuinya. Di depan ruangan Alex seorang sekertaris cantik tengah duduk manis di depan laptop. Ia menatapku dan tersenyum hingga gigi gingsulnya terlihat sempurna. Siapa pun pria yang melihatnya akan jatuh cinta, tapi kenapa Alex tidak pernah melirik sekertarisnya.
Baik, mungkin tidak semua pimpinan perusahaan memiliki hubungan gelap dengan sekertarisnya seperti n****+-n****+ yang sering k****a, tapi siapa yang bisa menolak pesona seorang Siska yang masuk dalam kategori wanita idaman. Ah, aku lupa jika Alex pria aneh. Mana mungkin ia tertarik dengan wanita seperti Siska.
“Mau ketemu Pak Alex?” tanya Siska membuyarkan pikiranku tentang Alex.
“Iya, tapi bukan masalah pekerjaan. Apa dia sibuk?” tanyaku balik.
“Pak Alex sedang menerima tamu, sebentar aku hubungi.”
Siska menekan angka satu pada telepon kabelnya. Tak butuh waktu lama suara seksi seorang pria terdengar dari benda itu. Wajah Siska bersemu, aku sudah tahu itu adalah ekspresi normal saat wanita tengah berbunga-bunga. Aku pikir Siska berbeda, kebersamaannya dengan Alex ternyata tidak membuat gadis itu bosan dengan bosnya. Jika aku yang berada di posisi Siska mungkin aku sudah muak melihat wajah Alex setiap hari.
“Kamu boleh masuk,” ujar Siska.
Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam ruang kerja Alex. Suara riuh di dalam terdengar sepi saat aku masuk dan berdiri di ambang pintu. Keempat pria itu menatapku dari atas sampai bawah. Ingin rasanya aku mencongkel mata mereka yang jelalatan. Tidak ada yang aneh dari pakaianku, semua terlihat normal terlebih aku menggunakan celana panjang hitam. Penampilanku cukup sopan.
“Hei cantik, kita bertemu lagi,” ujar pria yang kutabrak tadi siang. Dia begitu tampan dengan lesung pipinya. Ralat, mereka tidak tampan tapi cantik. Bagaimana bisa pria-pria ini di anugrahi wajah yang begitu manis.
Aku tersenyum tipis padanya. Dua pria lainnya juga mendekatiku. Aku sedikit takut ketika mereka mulai mengelilingi. Pikiranku kacau.Rasanya ingin pergi saat itu juga.
“Siapa namamu? Aku Bian.” Pria berjas putih mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangan halus itu.
“Ana,” ujarku singkat.
“Aku Rafa, senang bertemu denganmu Ana.” Pria yang berada di samping Bian menarik tanganku paksa hingga kami saling berjabat tangan.
“Aku Rey.” Pria yang kutabrak tadi ternyata bernama Rey. Dia menjulurkan tangannya dan aku menyambutnya dengan ragu. Seketika aku dibuat kaget olehnya, Rey menarik tanganku dengan cukup kencang hingga aku jatuh dalam pelukannya.
“Senang mengenal dirimu, cantik,” bisiknya.
Selang beberapa detik setelah Rey mengatakan itu, tubuhku kembali tertarik ke belakang. Alex menggenggam tanganku erat meremasnya hingga menimbulkan rasa sakit. Aku meringis. Namun Alex tidak peduli. Ia menyembunyikan aku di balik punggung tegapnya.
“Jangan macam-macam. Ini kantor saya. Jika ingin bermesraan lebih baik di jam luar kantor,” ujar Alex tenang. Ketenangan Alex sangat berbeda terlebih ia meremas tanganku hingga memerah. Apa yang dipikirkan pria itu sebenarnya.
Alex berbalik menatapku tajam. Rahangnya mengeras dengan wajah memerah. Walau ini bukan yang pertama Alex marah padaku tapi entah kenapa hatiku terasa sesak saat ia menatapku seolah aku adalah w************n. Alex menghembuskan napas panjang. Ia menunduk kemudian menatapku lagi. Kali ini tatapannya melembut tidak seperti tadi.
“Ada apa?” tanya Alex pelan.
“Bagaian marketing ingin mengundang bapak makan malam bersama. Itu pun jika bapak tidak sibuk,” ujarku tanpa menatap matanya. Aku sudah tidak peduli apakah Alex akan datang atau tidak.
“Baiklah, saya akan datang. Kirimkan alamatnya,” ujar Alex membuatku mendongkak. Aku pikir dia akan menolak karena ia marah. Aku mengangguk dan berpamitan untuk keluar dari ruangannya. Aku hanya menunduk saat ketiga temannya memberi godaan untukku.
***
Dentuman musik menyentak keras, lampu-lampu berkedip warna-warni setiap detiknya. Bau alkohol tidak bisa dihilangkan lagi, bahkan asap rokok ikut mengambil bagian mencemari udara. Gelas berdenting teriakan “cheeres” pun menggema. Rasa hambar air mineral kini melegakan tenggorokanku. Siapa yang peduli jika sejak awal aku menjadi bahan olok-olokan teman-temanku. Lebih baik aku dikatakan payah dari pada mabuk dan berakhir di hotel seperti dulu. Oh, jangan sampai itu terjadi lagi, terlebih Alex sejak tadi menatapku.
“Ana kamu harus mencoba wine ini sedikit saja. Kamu pasti akan suka,” ujar Rey yang duduk di sisi kiriku.
“Ana tidak suka minum, terakhir kali dia minum bir dan berakhir mabuk,” kata Desi yang duduk di sisi kananku. Mereka bagaikan malaikat dan setan, yang menggoda sekaligus menguatkan diriku.
Aku melirik sejenak pada Alex dan dua temannya yang lain. Alex tengah bicara pada Aline sementara dua temannya yang lain sibuk menggoda wanita-wanita cantik yang lewat. Alex terlihat santai ketika bicara pada Aline. Bahkan Aline lebih sering tertawa saat bicara dengannya. Tapi… Alex hanya menampakkan wajah datarnya. Pria itu sangat kaku, ingin rasanya aku menghampirinya dan menarik dua sudut bibir itu agar tersenyum.
“Ana, mau berdansa denganku,” ujar Rey, mengulurkan tangannya di depanku. Aku menatap tangan dan wajahnya bergantian sebelum melihat lantai dansa yang masih sepi. Jelas, kami datang lebih awal dari waktu malam, saat di mana manusia kelelawar menghabiskan malamnya di tempat ini. Ya, dulu sahabatku memberikan julukan manusia kelelawar pada teman sekelas kami yang suka main di klub malam.
“Boleh,” ujarku menerima tawarannya.
Aku bukan gadis polos yang tidak bisa menikmati dunia malam, tapi aku bukan gadis malam yang suka dengan sentuhan liar. Aku suka datang ke tempat ini hanya untuk memperluas pergaulan. Ayolah, tempat seperti ini tidaklah seburuk yang orang pikirkan. Asal kuat menjaga hati dan pikiran tempat seperti ini justru akan membuatmu menemukan dunia yang sesungguhnya.
Kami mulai meloncat-loncat menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik yang menghentak. Sejauh ini, pria bernama Rey cukup mengasikan. Berbagai ekspresi wajahnya sangat kusuka berbeda sekali dengan Alex yang punya satu macam ekspresi. Selain itu Rey juga sangat tampan tidak kalah dari Alex.
“Aku tidak tahu gadis seperti dirimu menyukai tempat seperti ini,” ujar Rey dengan suara cukup keras.
“Memangnya saya gadis seperti apa?” tanyaku.
“Kau gadis yang terlihat polos di luar tapi kau sangat liar,” ujarnya sembari tersenyum. Ya, semua orang juga tidak menyangka dengan sisi lain dariku, tapi apa aku benar terlihat polos di mata mereka?
“Aku yakin gadis sepertimu sangat agresif di atas ranjang. Kamu membuatku penasaran,” kata Rey.
Aku berhenti menari dan kini terfokus pada Rey. Pria itu juga menghentikan gerakan tariannya dan mendekat padaku. Pandangan kami terkunci, Rey bahkan mengulurkan tangannya untuk membelai rambutku.
“Kau tahu wanita polos sepertimu lebih disukai sebagai bahan fantasi para pria. Terlebih kau terlihat sangat menggairahkan. Bagaimana jika kita mencoba sesuatu yang berbeda malam ini. Kamu tidak akan kecewa padaku,” ujar Rey.
Aku tersenyum kecut. Otak pria tidak jauh dari hal berbau dewasa dan itu sudah menjadi rahasia umum, tapi jika sifatnya buruk maka dia sama saja seperti penjahat. Rey melakukan kesalahan yang fatal.
“Aakhh…” Rey menjerit saat aku menendang tulang keringnya.
“Saya memang bukan gadis yang polos. Saya juga tau tentang dunia malam seperti ini tapi mengatakan hal yang membuat pasangan dansa Anda tidak nyaman itu adalah kesalahan fatal.” Aku pergi meninggalkan Rey yang masih kesakitan. Kuambil tas dan blazer yang tersampir di kursi. Semua orang menatapku penuh tanya, tentu mereka sedang kebingungan apa yang terjadi padaku dan Rey terutama Alex dan dua temannya.
“Maaf, saya harus pulang lebih cepat.”