“Kenapa kamu tidak mau menikah dengan saya?” tanya Alex tiba-tiba.
Apa baru saja aku mendengar Alex kesal? Tentu saja ia pasti tidak menerima ada seorang perempuan yang menolaknya. Selama ini bukankah dia sering menolak perempuan. Aku rasa Alex tengah terpuruk dengan penolakanku. Entah kenapa aku merasa senang mendengarnya.
“Saya tidak ingin buru-buru menikah, apalagi dengan pria yang tidak saya cintai.”
Alex meminum tehnya sebelum menatapku lagi. Ia tersenyum kecil membuat wajah datar itu terlihat manis. Aku belum pernah melihat Alex tertawa mau pun tersenyum sebelumnya. Ini adalah fenomena langka.
“Bukankah kita bisa mencintai setelah menikah?”
“Itu hanya ada dalam kisah n****+. Hubungan pernikahan lebih muda dihancurkan dari pada pacaran. Saya tidak mau jadi janda muda.”
“Kenapa kau berpikir kita akan berpisah?” Alex menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia sepertinya senang memberikan pertanyaan padaku.
“Karena kita tidak saling mencintai.”
Aku segera pergi meninggalkan Alex sendiri. Keputusan membawa Alex ke rumah adalah keputusan yang sangat salah. Aku menyesal, benar-benar menyesal. Papa terlihat menyukai pria itu apalagi Papa meminta Alex menemaninya main catur. Aku hanya bisa meremas dan menggigit bantal sofa melihat keakraban mereka.
“Kamu kenapa An?”
“Ma, kenapa papa tidak mengusir Alex?”
Mama duduk setelah meletakkan makanan ringan di atas meja. Ia menyalakan televisi untuk mencari tayangan kesukaannya.
“Dia, ‘kan teman kamu, masak diusir. Kamu juga yang bawa dia ke rumah gimana sih? Lagi pula mama curiga dengan Alex apa benar dia seorang sopir? Dari cara bicara dan makan Alex terlihat seperti pria berpendidikan tinggi. Dia juga sangat ramah dan mengerti tentang bisnis. Jadi jangan salahkan papamu kalau langsung menyukainya,” ujar mama panjang lebar.
“Dia memang sopir. Jangan menilai orang dengan mudah, dia tidak sebaik itu.”
“Benarkah? Kalau dia jahat kamu tidak mungkin membawanya ke rumah. Atau cintamu ditolak?”
“Hah? Justru Ana yang menolaknya.” Aku segera menutup mulutku. Mama menatapku dengan mata membulat sempurna. Mama kemudian tersenyum dan mulai menggodaku. Bahkan saat papa dan Alex bergabung mama masih menggodaku.
***
Pagi ini cuaca sangat cerah. Namun tidak secerah pikiranku. Semenjak Alex mengenal papa dan mama, mereka selalu bertanya, “Kapan Alex berkunjung lagi?” Dan aku tidak suka mendengarnya. Alex sudah menjadi topik baru dalam pembicaraan kami hampir setiap hari. Mama bahkan terang-terangan menyukai pria itu, selain tampan Alex juga sopan dan pintar, itulah pujian yang terlontar dari bibir mama, dan pagi tadi mama dan papa memintaku untuk membawa Alex ke rumah. Tidak. Itu tidak akan terjadi lagi.
“Muka lo kenapa An?” Aline menghampiriku. Gadis itu terlihat berbeda. Rok hitamnya terlihat lebih pendek dari biasanya, belum lagi pakaian atas yang dikenakan Aline lebih ketat dari sebelumnya. Temanku sudah berubah, Aline terlihat lebih dewasa dan err… seksi.
“Gak apa-apa, cuma Mama dan Papa kayak ngidam.”
“Lo mau punya adik? Astaga, kenapa bisa. Lo sudah dewasa baru punya adik?” Aline terlihat kaget. Siapa juga yang mau punya adik.
“Bukan seperti itu. Sudah jangan dibahas lagi. Ada apa?” tanyaku ketika Aline tak kunjung pergi.
“Bagaimana penampilan gue?” Aline berputar layaknya model majalah profesional. Seksi, cantik dan pintar aku rasa Aline pantas dikatakan wanita idaman pria, tetapi sayang ia menyukai pria aneh seperti Alex.
“Cantik, tapi berlebihan. Aku lebih suka penampilanmu yang biasa,” ujarku. Laptop sudah kunyalakan beberapa folder penting mulai kubuka satu per satu. Aline masih berdiri di depan mejaku. Ia memilin rambut panjang yang sedikit ikal di bagian ujungnya.
“Kenapa masih di sini?” tanyaku.
“An, gue ada jadwal survei keluar kota sama Pak Rangga minggu depan.”
“Terus?”
“Lo wakilkan gue ya, please.” Aline mencangkupkan tangan di depan wajahnya.
“Emang kamu sibuk?”
“Enggak sih, cuma di sana lima hari gue gak kuat pisah sama Pak Alex selama itu jadi…”
Aku berpikir sejenak, lima hari bukan waktu yang singkat. Lagi pula aku sudah lama tidak liburan dan terlebih aku bisa menghindar dari Alex sementara waktu.
“Boleh, dengan senang hati.”
Aline memelukku erat, terlihat raut wajahnya yang begitu bahagia. Anggap saja itu caraku membahagiakan teman.
***
Makan siang adalah saat yang dinanti-nanti para karyawan kantor, melepas lelah sekaligus mengisi perut yang mulai kehabisan amunisi. Bukan hanya itu saja, istirahat makan siang juga merupakan ajang pertukaran gossip kaum hawa. Seperti saat ini Aline, Micel, dan Desi tengah asik membicarakan pria tertampan di kantor. Alex.
“Jadi Pak Alex gak punya pacar atau tunangan?”
Aline mengangguk pelan sambil meminum jus alpukatnya. “Selama ini kita salah mengira bahwa wanita itu tunangan Pak Alex,” sambung Aline.
“Jadi wanita itu siapa?” Desi menimpali.
Aline menatap padaku, ia tersenyum seakan meminta keterangan. Micel dan Desi pun ikut menatapku penuh tanda tanya.
“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?”
“Lo pasti tahu jawabannya, 'kan, Ana?” tanya Aline.
Aku menggeleng. “Tidak, aku tidak tahu siapa wanita itu, tapi yang jelas ia bukan pacarnya Pak Alex.”
“Dari mana lo tahu?”
Aku memberi isyarat agar mereka bertiga mendekat. “Rahasia,” ujarku membuat mereka mendesah kecewa. Suasana kafé tiba-tiba sunyi. Sedikit janggal dengan keadaan di sekitar yang awalnya rame. Namun dalam sekejap sepi. Aline pun hanya diam saat menoleh ke belakang. Aku penasaran dengan apa yang mereka lihat, sampai akhirnya kutemukan jawabannya.
Alex datang bersama tiga orang temannya yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Wajah mereka sangat tampan walau Alex terlihat lebih menonjol. Aku merasa melihat F4 sedang reuni di kafé. Ini yang tidak aku suka dengan pria popular seperti mereka. Selalu menjadi pusat perhatian.
“Aku duluan ya,” ujarku namun mereka tetap tak bergeming. Kesal merasa diabaikan kudorong kursi ke belakang menimbulkan suara yang cukup keras. Aline, Micel dan Desi hanya tersenyum bodoh ketika aku berdiri dari duduk.
“Pergilah,” ujar Aline.
Dengan hati kesal aku pergi meninggalkan kafe, walau harus berpapasan dengan empat pria tampan itu namun setidaknya aku tidak terjebak di kafe bersama mereka dalam waktu yang lama. Namun sial, seorang pria tiba-tiba menyenggol bahuku yang membuat aku terhuyung ke depan. Beruntung ada seseorang yang segera menangkapku sebelum jatuh ke lantai.
“Kamu baik-baik saja?” ujarnya lembut.
Kulit putih bersih dengan mata indah yang tengah menatapku. Ia tersenyum manis membuat gadis-gadis di sekitar menjerit takjub. Namun aku harus berhenti mengagumi ketampanannya saat seseorang menarik kuat tanganku hingga kembali berdiri. Alex. Pria itu menatap tidak suka padaku, rahangnya mengeras dengan mata tajam yang siap menghujani.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Alex. Bukan padaku, tapi pada temannya. Sungguh miris, harusnya ia menanyakan hal itu padaku karena aku adalah korban, tapi siapa diriku yang harus Alex khawatirkan. Aku orang yang membencinya tidak pantas untuk diperhatikan.
“Tidak masalah, Nona kamu baik-baik saja?” tanya pria itu padaku. Aku menatap Alex tajam kemudian beralih menatap pria tampan di depanku. Dengan sedikit senyuman aku meminta maaf pada pria itu. Terlihat pria itu tidak mempermasalahkannya tapi tidak dengan Alex.
“Ikut saya.”
Alex menyeret tanganku untuk mengikutinya. Aku yakin saat ini kami sedang menjadi tontonan seluruh pengunjung kafé. Alex mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Aku coba untuk keluar namun sialnya pintu sudah dikunci. Alex duduk di tempat kemudi, tanpa banyak bicara ia menjalankan mobilnya meninggalkan kafé.
Aku tidak berani angkat bicara saat melihat raut wajahnya tidak bersahabat. Aku hanya diam menunggu Alex menghentikan mobilnya entah di mana. Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai parkiran kantor. Basement terlihat sepi dan sedikit gelap. Alex menghentikan mobilnya tepat di belakang pilar yang membuat suasana di dalam mobil sangat gelap. Sejenak kami terdiam, aku tidak bisa melihat wajah Alex dengan jelas.
“Jangan berurusan dengan pria mana pun,” ujarnya.
“Kenapa?”
“Saya tidak suka.”
“Apa? Hey, bapak pikir bapak siapa? Walau sudah mengenal kedua orang tua saya bukan berarti bapak seenaknya saja mengatur hidup saya. Hubungan kita hanya sekadar bos dan bawahan tidak lebih.”
Alex memukul stir mobilnya membuat rasa takut dalam diriku muncul. Apa aku salah bicara? Bagaimana jika Alex memecatku sekarang juga? Tidak, aku tidak boleh dipecat.
“Maaf, jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi saya permisi.” Kutatap sejenak wajah Alex yang menatap lurus ke depan. Pria itu bahkan tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Aku memutuskan untuk keluar dari mobil namun Alex kembali menutup pintu di sampingku. Dalam hitungan detik aku hanya bisa diam mematung ketika Alex mencium bibirku.
Ini terasa nyata walau aku tidak bisa melihat wajah Alex secara jelas. Aku cukup syok dengan apa yang dilakukan Alex. Aku coba menghindar namun kedua tangan Alek memegang kedua sisi wajahku. Walau bibir kami hanya menempel namun membuat perasaanku jadi kacau.
Aku coba mendorong tubuh Alex namun di saat yang bersamaan Alex menyesap bibir bawahku. Aku bukan gadis polos yang tidak bisa berciuman sama sekali. Aku bisa tahu perasaan seseorang hanya dari sebuah ciuman. Alex tengah ragu-ragu dengan apa yang ia lakukan. Aku hanya diam membiarkan Alex menciumku sepuasnya, aku ingin tahu sejauh mana ia bisa bertahan ketika aku tidak membalas ciumannya.
Namun aku harus mengakui kekalahanku. Ciuman Alex berbeda, ia melakukannya dengan lembut yang membuatku terbuai karenanya. Tanpa sadar aku mulai menikmati ciumannya, memejamkan mata dan sesekali membalas kuluman bibir bawahnya. Alex melesakkan lidahnya membelit lidahku dengan lembut. Kedua tanganku mengalung di lehernya, sementara tangan Alex kini beralih mengusap punggungku.
Ciuman terlama yang pernah kulakukan selama ini. Alex bisa membuatku nyaman dengan usapannya yang lembut di kepala dan punggungku. Sejenak kami melepaskan pagutan untuk mengambil oksigen. Beruntung keadaan mobil yang gelap membuat rasa Maluku berkurang. Alex sepertinya belum puas menciumku hingga kami melakukannya lagi, namun kali ini ciuman yang lebih menuntut.