Sudah lebih dari lima belas menit kami menunggu Alex dan Siska meninggalkan ruangannya. Namun mereka tak kunjung pergi, padahal ini sudah jam makan siang. Aline menarik kembali tubuhnya, kami bersandar di tembok untuk menenangkan jantung yang berdendang. Kami sudah seperti ‘maling’ yang siap beraksi. Walau ini bukan aksi kejahatan tapi jika ketahuan karir kami akan menjadi taruhannya. “Ana lo siap, ‘kan?” “Enggak… sampai kapan pun aku gak akan siap.” “Kok gitu sih?” “Kalau ketahuan gimana? Dia itu pria aneh tau,”sahutku dengan suara rendah. “Bagaimana pun caranya lo harus bisa ambil surat itu. Gue janji bakalan traktir lo makan selama sebulan,” ucapnya membuat penawaran. Aku tidak peduli dengan tawaran itu, yang aku takuti adalah Alex berpikir yang macam-macam tentangku dan yang leb