Rayhan menepikan mobilnya di tepi jalanan sambil memegangi perutnya. Rasanaya sudah tidak tahan lagi menahannya. Bahkan keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Dengan sisa-sisa kesadarannya dia mengeluarkan ponsel dan mendial nomor sembarang disana.
“Hallo, tolong gue please, perut gue sakit banget.” Ucap Rayhan terbata. Kemudian terdengar suara seorang laki-laki di seberang sanga rupanya itu suara Dimas.
“Posisi lo dimana?” Tanyanya. Rayhan menyebutkan posisinya sebelum kemudian mengerang kesakitan dan sudah tidak lagi mendengarkan suara Dimas. Tadinya Rayhan pikir ini hanya sakit perut biasa yang akan sembuh ketika dia makan, tapi rupanya sakitnya luar biasa sampai membuatnya ingin pingsan. Pandangan matanya mulai buyar, sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya sambil berteriak. Kemudian membuka paksa mobilnya dan setelah itu Rayhan tidak ingat apapun lagi. Hingga kemudian dia terbangun di Rumah Sakit dengan jarum inpus terpasang sempurna di lengannya. Bukan Dimas yang berada di sampingnya tapi Bima.
“Lo berapa lama gak makan Han? Cinta sama diri sendiri aja lo belum sanggup sok-sokan mau deketin adik gue?” Ucap laki-laki itu kejam seperti biasanya. Rayhan meringis menahan sakit. “Gue panggilin Dokter sebentar.” Bima beranjak dari tempatnya dan tak berapa lama seorang Dokter datang menghampiri untuk melakukan pemeriksaan lagi pada Rayhan. Kemudian Dimas datang bersamaan dengan orang tua Rayhan yang tampak begitu khawatir.
“Kamu kenapa sih Han bisa sampai kaya gini?” Ucap ibunya dengan nada khawatir yang terdengar jelas. Rayhan tidak menjawab, diwakilkan oleh dokter yang menjelaskan kondisi laki-laki itu dengan lebih jelas. Dimas diam saja tapi menatap Rayhan dengan sedikit kesal.
“Papa sudah bilang kan kamu itu butuh istri biar kamu gak telat makan dan sakit kaya gini. Pokoknya untuk perjodohan kali ini kamu ikutin mau papa.” Ujar ayahnya tidak ingin dibantah. Rayhan mendesah karena harus membahas ini di depan Bima.
“Rayhan kan udah bilang iya Rayhan ikutin maunya papa, tolong jangan bahas hal yang berat dulu, Ray lagi gak pengen mikir berat.” Ucap laki-laki itu sambil memegangi perutnya.
“Lo gak makan? Game lagi?” Tanya Dimas. Rayhan menggeleng.
“Gue gak sempet makan, banyak kerjaan.” Jawab laki-laki itu sedikit berbohong. Tidak mau mengatakan bahwa dia melakukan itu demi bisa menjemput Sena sebab Bima ada disana.
“Lo istirahat dulu deh, Meeting besok biar dihandle Marchel. Lo gak usah mikirin kerjaan dulu.” Ujar Dimas sambil mendesah. Bima diam saja tidak mengatakan apapun dari wajahnya berekspresi seolah banyak hal yang hinggap di kepalanya.
“Iya thanks banget yah. Thanks udah dateng padahal si biang kerok juga lagi sakit.”
“Si kembar udah agak mendingan sih Cuma besok suruh ke Rumah Sakit lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Lo terimakasih juga sama Bima karena waktu lo telpon gue tadi, gue minta tolong dia buat segera ke lokasi lo karena posisi dia lebih dekat.” Dimas menjelaskan. Rayhan menoleh ke arah Bima kemudian tersenyum. Wajahnya tampak pucat dan Bima tahu itu bukan pura-pura.
“Makasih bang.” Bima hanya mengangguk saja, kemudian berpamitan untuk pergi begitupula dengan Dimas. Rayhan berada di dalam ruangan seorang diri, hingga ibunya masuk.
“Kamu pucet banget tuh, mama takut banget tadi.” Ucap ibu Rayhan sambil mendesah khawatir.
“Ray gak pa-pa mah. Cuma beberapa hari ini memang suka telat makan karena sibuk banget.”
“Kamu kan tahu kalau lambung kamu lemah, harusnya kamu lebih bisa menjaga diri kamu sendiri bukan malah sengaja bikin sakit gini.” Protes ibunya.
“Ray nggak sengaja buat sakit mah, mana ada orang sengaja sakit. Udah deh yah jangan dibahas lagi. Ray ngantuk abis minum obat.” Rayhan tersenyum pada ibunya setelah mengatakan kalimatnya untuk mengurangi kekhawatiran wanita itu.
“Yaudah kamu tidur deh, biar cepet baikan.”
***
Sena sedang menonton Tv ketika Bima pulang. Wanita itu sepertinya masih marah pada Bima sehingga tidak menyapa sedikitpun. Tapi tentu saja Bima tidak mempermasalahkan itu. Laki-laki itu juga lewat saja di depan adiknya itu seolah tidak ada yang mengganggunya membuat Sena kesal. Karena sejujurnya Sena sedang ingin diperhatikan.
“Abang darimana tadi buru-buru pergi?” Akhirnya Sena bertanya duluan.
“Ada urusan.” Jawab Bima singkat. Padahal Sena tahu bahwa kakanya memang secuek itu tapi tetap saja Sena masih merasa kesal mendapatkan jawaban seperti itu.
“Malam ini Sena mau pergi sama Satria bang. Mau cari buku.”
“Memangnya kamu gak bisa cari buku sendiri? Kenapa harus sama Satria?”
“Satria juga mau cari buku makanya barengan.” Bima mendengus mendengar jawaban Sena.
“Peraturannya adalah kamu boleh pergi sama cowok kalau siang, kalau malam tetap di rumah.” Ucap Bima yang membuat Sena kembali kesal.
“Sena udah dewasa bang, mau sampai kapan sih Sena diperlakukan seperti anak kecil terus?” Protesnya.
“Benarkah kamu merasa sudah Dewasa? Bahkan memilih mana laki-laki yang baik dan buruk saja kamu belum bisa sudah mengaku dewasa?”
“Sena lagi malas berdebat bang, Satria juga udah dateng tuh.” Sena beranjak dari duduknya dan keluar menyambut kedatangan Satria. Mengabaikan Bima yang mulai naik darah lagi. Laki-laki itu kemdian ikut keluar menemui Satria.
“Selamat malam bang, saya mau ijin ajak Sena keluar.” Ujar Satria sopan. Bima masih diam saja sambil menatap laki-laki itu tajam. Membuat Sena mendengus kesal.
“Pokoknya Sena tetep akan pergi sekalipun abang tidak mengijinkan.” Ujar wanita itu keras kepala.
“Kenapa tidak sekalian saja keluar dari rumah, bawa bajumu dan coba tanyakan pada laki-laki di samping kamu itu apakah dia mau menanggung kehidupanmu kedepannya.” Ucap Bima di luar dugaan. Sena sampai tidak bisa berkata-kata karena tidak menyangka bahwa kalimat itu akan keluar dari mulut kakaknya.
“Satria Cuma mau ajak Sena ke toko buku doang Bang, tapi jika abang tidak mengijinkan tidak pa-pa kami tidak usah pergi.” Jawaban Satria membuat Bima tersenyum sinis.
“Kamu adalah wanita bodoh Sena, karena lebih memilih laki-laki yang tidak bisa menjemputmu untuk kepentingan dirinya sendiri dibanding laki-laki yang sampai masuk Rumah Sakit demi memastikanmu tetap aman pulang ke rumah. Silahkan bertahan dengan kebodohanmu itu tapi jangan pernah meminta bantuan abang jika suatu saat kamu mendapatkan penyesalan paling dalam di hidupmu.” Ucap Bima masih tanpa perasaan. Mata Sena sudah memerah tapi bukan karena ucapan Bima melainkan karena rasa kesal dan marah.
“Dan kamu, silahkan bawa dia keluar dari rumah ini jika kamu sudah sanggup untuk bertanggungjawab tentang hidupnya, tentang pengobatannya dan tentang segala kebutuhannya. Aku tidak melarang laki-laki manapun yang mau bertanggungjawab pada adikku. Tapi jangan harap bisa membawanya pergi tanpa tujuan yang jelas.” Satria terlihat tidak enak.
“Yasudah kalau begitu saya pulang bang, maaf sudah membuat keributan ini.” Sudah Bima duga bahwa jawaban pengecut seperti ini yang akan Satria ucapkan. Dan Sena masih belum juga sadar bahwa laki-laki yang dia bela itu tidak ada tanggungjawabnya sama sekali.
“Abang jahat.” Ucap Sena sambil terisak dan berlari masuk ke dalam. Kemudian Satria berpamitan dan pergi. Bima menyugar rambutnya frustasi.
***