Would You Marry Me?

1031 Kata
10 "Aku ganteng, kan?" Aruna memutar bola mata. "Itu buktinya, kamu mandangin mulu." "Pede amat sih kamu!" Aruna menjepit hidung Keven dengan gemas, tak peduli pria itu mengaduh kesakitan. "Kalau hidungku sampai pesek, tanggung jawab, Na!" "Tanggung jawab apa? Operasi? Pake ember atau kantong kresek?" Aruna memekik kala Keven menggelitiki pinggangnya tanpa ampun. Perempuan itu tidak bisa mengelak karena Keven menekan tubuhnya ke belakang. "Aduh, Kev. Udah dong. Udah!" jerit Aruna di sela-sela tawa. "Bilang Keven ganteng dulu, baru ku-stop." "Iya, iya. Stop dulu!" "Ngomong dulu!" "Aduh ... iya, Keven ganteng!" Pria itu menghentikan gerakan tangan dan memandangi wajah Aruna yang memerah karena banyak tertawa. Perempuan tersebut menyeka sudut mata, di mana ada air yang keluar akibat perbuatan Keven. "Pemaksaan!" desis Aruna. "Kamu itu jarang muji, kudu dipaksa mulu," sahut Keven. Aruna menjulurkan lidah, tak menyadari bila gerakannya itu membuat Keven gemas. Pria itu seketika bangkit dan memajukan wajah. Menyesap madu Aruna yang tampak terkejut, tetapi kemudian dia membiarkan Keven melakukan hal itu dan membalas dengan kelembutan yang sama. Cecapan penuh hasrat menjadi satu-satunya yang terdengar di gendang telinga Aruna. Perempuan itu merasa jiwanya melayang kala Keven memperdalam ciuman dan mengulum lidahnya dengan hasrat yang menggebu. Suara-suara kecil lolos dari bibir Aruna yang sangat menikmati keintiman mereka. Semuanya terasa berbeda dengan apa yang pernah dilaluinya bersama Sammy. Keven memperlakukannya dengan lembut. Sangat lembut. Tiba-tiba Keven memutus kedekatan dan menempelkan kening mereka. Mengatur napas yang memburu serta memberikan Aruna kesempatan untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Keven memundurkan tubuh sedikit dan merangkum wajah mungil Aruna dengan kedua tangan. Menatap dalam-dalam sepasang mata beriris cokelat milik perempuan tersebut, sebelum memajukan wajah dan mengecup dahi Aruna. "Aku mencintaimu. Teramat sangat," bisik Keven. "Lupakan dia, dan sambut uluran tanganku. Kita mulai kehidupan yang baru, saling menguatkan dan memahami satu sama lain," lanjutnya sebelum memundurkan tubuh kembali. "Aruna Ghania, would you marry me?" Aruna mengedipkan mata beberapa kali sambil menatap Keven dengan bingung. Benar-benar terkejut dan tidak menyangka bila Keven akan langsung melamarnya. "Na, jawab dong," pinta Keven. "A-aku ... ehm ... aku masih belum tau mau jawab apa, Kev. Karena saat ini aku masih perlu waktu untuk menata hati," ungkap Aruna dengan suara pelan. Keven mendengkus dan seketika menunduk. Tangannya terlepas dari wajah Aruna dan kini telah berpindah ke wajahnya sendiri. Keven memijat pangkal hidung berulang kali sambil memejamkan mata. Merutuki diri yang terlalu cepat bertindak impulsif hanya karena terbawa rasa cinta yang teramat dalam. Aruna menunduk dan memilin jemari. Dia masih belum yakin bila dirinya pantas untuk Keven. Ditambah lagi rasa takutnya akan ditolak oleh ibu pria tersebut, yang sejak dulu memang tidak dekat dengannya. Aruna hanya bisa pasrah ketika Keven jalan menjauh dan keluar dari kamarnya. Perempuan itu menutupi wajah dengan tangan, bahunya bergetar seiring dengan tangisan yang meledak. *** Pagi yang cerah dan indah di luar sana, ternyata berbanding terbalik dengan suasana hati Aruna. Perempuan itu masih termenung di depan pintu kamar Keven, bingung hendak mengetuk atau kembali masuk ke kamarnya. Perempuan berambut panjang itu menengadah tatkala mendengar suara pintu dibuka dari dalam dan sosok Keven berdiri di sana dengan penampilan rapi dan wangi. "Ehm, kamu udah sarapan?" tanya Aruna basa basi. Menelan ludah saat menyadari bila Keven memilih untuk keluar dari kamar dan menutup serta mengunci pintu, tanpa menjawab pertanyaannya. "Kev!" Aruna menggapai tangan Keven yang seketika berhenti melangkah. "Kita makan sama-sama, yuk!" ajaknya, menekan rasa malu demi bisa berbaikan dengan pria tersebut. Keven mendengkus, niatnya untuk mendiamkan Aruna sepertinya akan gagal karena dirinya memang tidak bisa berlama-lama seperti itu. "Mau makan di mana?" tanya Keven sambil menoleh dan sontak terpesona kala menyaksikan senyuman lebar Aruna yang merasa senang karena telah berhasil menggugahnya. "Terserah kamu mau di mana, aku yang traktir." Keven mengangkat bahu kemudian meneruskan langkah menyusuri koridor hotel yang sepi. Aruna mengekori sambil tersenyum-senyum, merasa bahagia telah berbaikan dengan pria tersebut. Sementara itu di Bandara Soekarno-Hatta, Sammy menggerutu dalam hati karena pesawat yang akan ditumpanginya mengalami keterlambatan. Pria itu benar-benar ingin segera sampai di Pulau Dewata dan meminta penjelasan pada Aruna. Semenjak tadi dia sudah mencoba menghubungi Aruna maupun Keven, tetapi kedua orang tersebut tidak ada yang mengaktifkan ponselnya. Bingung hendak mengorek informasi dari mana, akhirnya Sammy menelepon Raka. Detik demi detik menunggu sahabatnya itu mengangkat telepon kembali membuat Sammy senewen. Tepat di saat dia hendak menekan tombol merah di layar, panggilan teleponnya tersambung dan suara Raka yang khas pun terdengar. "Hai, lagi ngapain?" tanya Sammy. "Baru beres mandiin juniorku. What's up, Bro?" Raka balas bertanya, dengan suara anak kecil menjadi latar belakangnya. "Wow, super dad." "Yoih, gue gituh." Sammy terkekeh, kemudian melanjutkan bertanya. "Aku boleh ngomong ama Yanti?" "Jangan bilang mau ngerayu bini gue!" "Kagaklah, cemburu amat." "Lah, situ tiba-tiba mau ngomong ama dia. Atau jangan-jangan lu lagi berantem ama bini, terus minta pendapat gitu?" "Kamu kebanyakan gaul ama emak-emak penyuka sinetron. Jadi halu!" Raka tergelak. Sammy bisa membayangkan saat ini sahabatnya yang bertubuh montok itu pasti tengah memegangi perut, puas mentertawakan dirinya. Raka memang yang paling periang di antara mereka bertiga. Sementara Keven lebih banyak jadi pendengar, tetapi kalau lagi kumat maka jahilnya bisa sama dengan Raka. Sedangkan Sammy dari dulu memang jadi sosok paling cool, bahkan terkesan cuek. Tak lama berselang, suara lembut Yanti terdengar dari seberang telepon. Sammy terpaksa menekan rasa malu dalam-dalam, karena selain Keven, hanya Yanti satu-satunya orang yang cukup dekat dengan Aruna. Meskipun jarang bertemu, tetapi Sammy tahu bila kedua perempuan itu sering terlibat obrolan panjang melalui sambungan telepon ataupun video call. "Sorry ganggu, Yan. Cuma pengen nanya, apa Aruna ada ngubungin kamu?" tanya Sammy langsung, dia tidak mau membuang waktu berbincang ngalor ngidul. "Ehm, terakhir itu kemaren pagi, waktu lagi di mobil menuju Tanjung Benoa," jelas Yanti. "Kenapa?" "Oh, nggak. Nggak apa-apa. Cuma dari tadi malam sampai sekarang aku nggak bisa ngubungin dia." Yanti menghela napas dan hal itu terdengar oleh Sammy. Pria itu meningkatkan kewaspadaan saat mendengar hal tersebut. Dia merasa yakin bila Yanti tahu mengenai hal yang saat ini membuatnya gundah. "Jauhi dia, Sam!" titah Yanti. "Nggak bisa. Aku mencintainya!" "Cinta kamu bilang? Itu bukan cinta, tapi egoisme kamu sebagai seorang pria yang tamak. Ingin mendapatkan Jenita sekaligus merengkuh Aruna. Sangat nggak adil. Sadar nggak sih?" Suara Yanti terdengar meninggi, sesaat sebelum perempuan berambut sebahu itu memutus sambungan telepon secara sepihak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN