Farah menatap pantulan wajahnya di cermin. Terlihat sekali aura kelelahan di sana. Jujur saja, Farah bukan tipe pekerja keras seperti mamanya. Itu makanya Farah sangat-sangat menyanyi mamanya.
Tinggal tersisa 4 hari lagi menuju ujian kenaikan kelas, dan kasus belum terpecahkan secara keseluruhan. Namun setidaknya sudah menunjukkan titik terang dengan hadirnya papanya Raka di tengah-tengah mereka. Terus terang, Farah sangat senang dan bersyukur dengan ide Raka itu. Akhirnya mereka bisa memecahkan kasus dibantu dengan seseorang yang memang bekerja di bidang itu. Kesulitan-kesulitan yang mereka temui nantinya akan terasa lebih mudah jika dibantu oleh papanya Raka.
Selesai menancapkan jarum pentul terakhir, Farah berdiri, mengambil tasnya di atas tempat tidur. Farah keluar dengan posisi tas sudah digendong di punggung. Sampai di ruang tengah, Sarah sudah menunggunya di depan pintu.
"Kamu udah sarapan, kan?" tanya mamanya.
Farah mengangguk. "Sudah, Ma."
"Buruan pakai sepatu kamu, Sarah udah nungguin, tuh."
Cepat-cepat Farah mengambil sepatu di rak, membawa ke depan, lalu dipakai.
"Kami berangkat, ya, Ma." Farah menyalami punggung tangan Kaila, begitu juga dengan Sarah.
"Hati-hati, ya."
Mereka berdua langsung menuju jalan raya untuk menemukan angkot. Tak butuh waktu lama, angkot pun datang.
Di dalam, masih mereka berdua saja, belum ada penumpang lain.
"Kak, Kakak belakangan ini ke mana aja, sih? Kok jarang banget di rumah?" tanya Sarah tiba-tiba membuat Farah yang saat itu sedang fokus menikmati suasana jalan raya di pagi hari menoleh, menatap wajah adiknya.
"Kakak kerja kelompok, Sarah," jawabnya sembari mengelus kepada Sarah.
"Sarah bosen di rumah sendirian terus."
"Kamu sabar, ya. Ntar kalau tugas Kakak udah selesai kita main bareng lagi."
"Kapan, Kak?"
Tiba-tiba mulut Farah terasa membeku. Mengingat masih banyak lagi teka-teki yang belum terpecahkan, membuat kata-kata terasa habis untuk menjawab pertanyaan Sarah. Farah memasang senyum kikuk. "Secepatnya. Doain, ya."
Angkot berhenti. "Udah, neng."
Saran menyalami tangan kakaknya. "Sarah berangkat, ya, Kak."
"Belajar yang bener, ya."
Farah melambaikan tangan dari dalam angkot ke adiknya yang sudah turun duluan.
Tak lama, ia pun sampai di sekolahnya. Setelah memberikan ongkos untuk dua orang, Farah melenggangkan kakinya memasuki pelataran sekolah. Satu persatu anak tangga ia naiki. Tak lupa pula sapaan dari murid-murid yang lain, ikut meramaikan suasana pagi hari.
Tiba di lantai dua, Farah tak sengaja berpapasan dengan Bu Ratna. Seketika fakta yang ia ketahui langsung memenuhi kepalanya.
"Pagi, Bu," sapa Farah menundukkan kepalanya.
"Pagi." Jawaban singkat itu membuat Farah memandang ngeri ke arah Bu Ratna.
"Kenapa kamu liatin saya begitu?"
Farah menggeleng. "Ah, nggak ada apa-apa, Bu." Farah menelan ludah. "Saya permisi, Bu."
Cepat-cepat dia naik ke atas menuju kelasnya. Setelah mengetahui apa yang telah dilakukan Bu Ratna, membuat Farah sekarang merasa takut melihat wajahnya.
"Pagi, Farah!" sapa Naira ketika melihat Farah masuk ke dalam kelas.
Farah membalas sapaan Naira dengan lambaian tangan dan senyuman. "Pagi, Nai!"
Naira berdiri dari tempat duduknya, mendatangi Farah. "Lo udah sarapan?"
"Udah, Nai."
"Temenin gue ke kedai Bi Hanum, yuk. Gue belum sarapan."
"Sekarang?"
"Iya. Mau?"
Farah melihat jam yang melingkar di tangannya. Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi sebelum bel pertanda jam pertama dimulai.
"Ya, udah. Ayo."
__00__
"Kok tutup? Tumben," ucap Naira setengah kecewa. Padahal perutnya sudah lapar sekali.
Pagi ini ia terlambat bangun. Sama seperti Farah yang kecapaian, dirinya juga mengalami hal yang sama. Begitu sampai di apartemen setelah diantarkan Alva tadi malam, Naira langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur, tanpa mengganti baju terlebih dahulu.
Beberapa menit kemudian nyawanya melayang entah ke mana. Rasa capek membuat Naira tidur nyenyak sekali tadi malam, hingga ia bangun kesiangan.
Naira terbangun pukul 6 pagi. Tidak ada lagi waktu untuk membuat sarapan. Untung saja ia sempat menyetel alarm sewaktu di mobil saat Alva mengantarkannya. Kalau bukan karena bisingnya alarm itu, dipastikan hari ini Naira absen tidak masuk sekolah.
Begitu terbangun, Naira langsung gelagapan. Ia langsung berlari ke kamar mandi, membersihkan diri lalu berpakaian. Ia juga belum membereskan roste pelajaran. Tepat pukul 06.35 semua beres. Naira masuk ke lift, turun, memesan ojol untuk mengantarnya ke sekolah.
Saat terburu-buru rasa lapar sama sekali tidak dirasakannya. Namun begitu sampai ke kelas, barulah rasa lapar itu datang. Naira tidak ingin pergi sendirian, maka dari itu ia menunggu sahabatnya sampai. Karena Farah yang pertama sampai, makanya Naira mengajaknya.
"Jadi gimana? Atau kamu mau beli roti aja gimana?"
Naira terlihat berpikir sejenak. Itu lebih bagus ketimbang ia harus menahan lapar sampai bel istirahat pertama nanti.
"Oke, deh. Daripada gue kelaparan ntar pas belajar."
Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kantin yang ada di belakang sekolah.
Tiba di sana Deva melambaikan tangan memanggil mereka berdua. "Naira, Farah!"
"Itu Deva," ujar Farah. Dia yang pertama kali melihat Dave, Deva, dan Raka.
Farah dan Naira menghampiri mereka berdua.
"Udah di sini aja lo pada." Naira mengambil tempat.
"Udah buruan sana beli, tadi katanya laper." Farah mengingatkan.
Naira segera bergegas pergi ke stan penjual roti. Ia membeli sari roti dua bungkus dan dua buah s**u kotak pula, rasa coklat dan pisang. Kemudian segera kembali bergabung dengan yang lainnya.
"Lo belum sarapan, Nai?" tanya Dave saat Naira sudah kembali bergabung.
"Belum. Gue kesiangan tadi." Naira membuka bungkus rotinya. "Lo gak mau, Farah?"
Farah menolak. "Nggak usah, aku masih kenyang."
Deva tersenyum. "Kalo gitu buat gue aja." Diambilnya satu bungkus roti yang ditawarkan Naira untuk Farah.
Dengan gesit, tangan Naira merebut kembali roti yang sudah diambil Deva. "Enak aja. Lo beli sendiri sini!"
"Pelit!"
"Biarin!" Naira menjulurkan lidahnya.
"Kalian berdua nginep di rumah Raka, ya?" tanya Farah pada Deva dan Dave.
"Iya, Farah." Deva menelan roti di dalam mulutnya. "Habisnya tadi malam itu cape banget badan gue."
"Jadi kita lebih milih nginep aja di rumah Raka, biar cepet tidur," sambung Dave.
"That's the point." Deva membenarkan.
"Buruan habisin. Bentar lagi bel," Raka memperingati.
__00__
"Baiklah, anak-anak, pelajaran kita sampai di sini dulu." Bu Endah merapikan buku-buku materinya. "Ini pertemuan terakhir, kan, ya?"
"Iya, Bu," jawab beberapa murid.
"Kalian jangan lupa belajar lho ya. Ujian udah tinggal menghitung jari aja. Kalian harus bisa tuh memaksimalkan uang yang udah dikeluarkan orang tua kalian. Jangan ngecewain." Logat Jawa yang begitu melekat dalam diri Bu Endah ini terdengar nyaman sekali di telinga.
Farah mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Bu Endah. Setelah beberapa Minggu sekolah di SMA Kencana Indonesia, Bu Endah ini menjadi guru favoritnya. Seorang perempuan paruh baya yang mengajarkan materi kimia itu membuatnya sangat suka dengan cara mengajar Bu Endah yang menurut Farah sangat unik.
"Ya sudah, ibu pamit, ya. Assalamualaikum." Bu Endah melangkahkan kakinya pergi keluar kelas.
"Waalaikumsalam, Bu."
Naira dan Deva mendatangi meja Farah. "Kantin, yuk."
Farah mengangguk mengiyakan ajakan keduanya. Naira juga mengajak Dave dan Alva. "Lo Al, gak ke kantin?"
Alva berdiri. "Kantin. Gue laper, belom sarapan."
Akhirnya mereka berenam berjalan beriringan menuju kantin. Sembari diikuti obrolan ringan hingga sampai ke sana.
"Ada yang aneh gak sih?" Naira menarik kursi.
"Aneh apanya?" Raka melengketkan bokongnya ke kursi.
"Gak biasanya warung Bi Hanum tutup."
"Tutup?" beo Dave.
Farah mengangguk. Naira mengiyakan. "Iya. Atau jangan-jangan Bi Hanum sakit?"
"Palingan Bi Hanum pergi, ada acara mungkin," ujar Raka sebagai penutup pembahasan mereka itu. "Udah ayo, siapa yang mau bayarin sekarang?"
"Lo Al. Lo kan paling banyak duitnya."
"Ya udah iya. Udah buruan sana mau pesen apa?"
Deva bersorak gembira. Mas Tejo mendatangi meja mereka, menanyakan mereka ingin pesan apa.
Mereka menyebutkan masing-masing pesanan mereka termasuk Farah. Tak lama, pesanan mereka pun tiba. Semua menikmati makanan mereka yang dipesan sesuai selera dan mood mereka hari ini.
Namun di sela-sela menikmati makanan, Naira tidak bisa fokus. Entahlah. Pikirannya selalu dipenuhi hal-hal buruk terhadap Bi Hanum. Perkara tutup sehari bukan hal yang harus dipikirkan hingga segitunya. Namun Naira tidak tahu sebab apa yang mendasari rasa khawatirnya itu. Naira merasa hal itu aneh untuk Bi Hanum. Dan sekarang, beragam firasat buruk memenuhi pikirannya.
Baiklah. Untuk menuntaskan pikirannya anehnya itu, lebih baik dia mengunjungi Bi Hanum ke rumah untuk memeriksa. Benar. Sepulang sekolah nanti, Naira harus berkunjung agar firasat buruk di kepalanya segera tersingkirkan.
"Itu yang bunuh Pak Diko, bukan?"
"Iya. Itu dia."
"Kok masih sekolah di sini, sih? Mau dijadikan apa sekolah kita ini? Atau jangan-jangan dia lagi yang bunuh Maya."
Di tengah-tengah mereka menikmati makanan, bisikan, omongan tidak jelas itu membuat nafsu makan mereka hilang, tergantikan dengan emosi.
"Semoga aja dia cepet keluar, ya, dari sekolah ini."
Alva memandangi Farah yang kini sudah menunduk malu. Ini memang bukan pertama kali dirinya dijadikan bahan perbincangan seperti itu. Sejak tragedi Pak Diko mati itu, Farah sering kali dibicarakan. Andai mereka tahu bahwa itu hanya rekayasa semata, pasti mereka akan malu dan langsung meminta maaf kepadanya. Namun Farah tidak bisa memberitahukan hal itu kepada mereka. Karena itu masih menjadi rahasianya dan teman-temannya.
Naira menatap tajam ke arah orang-orang yang membicarakan sahabatnya itu. Mereka yang ditatap menundukkan wajah tidak berani membalas tatapan tajam Naira.
Raka langsung menahan tangan Deva saat laki-laki itu hendak bangkit menggerebek mereka yang memiliki lidah lemes itu. Raka menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan apa yang akan dilakukan Deva. Melakukan hal semacam itu di tempat ramai ini, akan merusak reputasi mereka. Masih ada cara lain yang lebih baik untuk menegur mereka.
"Lo gak kenapa-napa, kan, Farah?" Naira merangkul Farah.
"Nggak, kok. Aku baik-baik aja."
"Udah yuk, lanjut makan. Bentar lagi masuk."
Bersambung...