Bab 32. H-5 Bagian 8
Ratih melirik jam yang melingkar di tangannya. Terhitung sejak laki-laki bertopeng tadi pergi hingga sekarang, sudah 4 jam dia duduk melirik kanan dan kiri sembari menangis di dalam hatinya. Ratih menangisi nasib buruknya yang sebentar lagi akan kehilangan nyawanya di tempat semacam itu. Yang ada di pikirannya sekarang hanya wajah ibunya seorang. Ratih berharap agar ibunya bisa secepatnya menemukannya.
Dia sudah tidak lagi berusaha melepaskan diri. Tenaga Ratih kini benar-benar habis, tak tersisa sedikitpun. Tenggorokannya sekarang pun kering sekali. Perut Ratih juga keroncongan. Sejak tadi malam ia belum makan dan minum hingga saat ini. Tangannya terasa perih, begitu juga dengan kakinya. Ikatan di kedua bagian tubuhnya itu sangat kuat, sehingga gerakan yang tadi sempat ia lakukan guna membebaskan diri menghasilkan luka.
Tiba-tiba Ratih mendengar suara pintu terbuka. Seketika kakinya bergerak sendiri beringsut menjauh. Aura menyeramkan kembali menguasai ruangan. Ratih yang semula sudah bisa menenangkan diri harus kembali menegang. Darah di dalam tubuhnya kembali berdesir hebat. Saking takutnya, mulutnya terasa bergetar kuat. Ingin menjerit minta tolong rasanya, namun tidak bisa. Rahang Ratih sudah pegal karena sumpalan kain di dalam mulutnya.
"Tolong." Samar-samar Ratih bisa mendengar lirihan seseorang meminta tolong. Bersamaan itu juga, Ratih mendengar suara langkah kaki dan seretan sesuatu di tanah.
"Lepaskan saya." Lirihan itu semakin terdengar nyata masuk ke telinga Ratih.
Ratih menelan ludah. Masih sakit, namun tak sesakit saat sosok bertopeng pertama kali melepaskan cekikan di lehernya.
Tubuh Ratih menggelinjang kaget begitu tubuh seorang wanita dicampakkan ke arahnya. Rupa wanita itu tak lagi seperti wajah. Darah, luka lebam memenuhi wajahnya. Sama sepertinya, wanita itu juga diikat di bagian tangan dan kaki. Mulut wanita tersebut juga disumpal dengan kain hingga mulutnya menganga lebar sekali, tidak seperti Ratih.
Ratih bisa melihat baju yang dikenakan wanita itu juga tidak terkancing rapi. Justru sangat-sangat terlihat asal-asalan. Kancing atas lompat ke bawah. Ratih beringsut mendekati wanita itu, mengguncang tubuhnya. "Mbak, bangun, Mbak," ujar Ratih mencoba menyadarkannya.
Didekatkannya ujung jari telunjuknya ke hidung wanita itu. Ratih masih bisa merasakan dengusan dari hidung wanita tersebut. Karena saking sakit dan lemahnya dia saat ini, perempuan itu tak lagi bisa menjawab atau pun bergerak.
"Mbak, bangun, Mbak." Ratih mencoba sekali lagi.
Tubuh Ratih spontan terpental ke belakang saat kaki sosok bertopeng tiba-tiba muncul dari kegelapan menendang kuat bagian wajah perempuan yang tengah sekarat itu. Tubuh Ratih menggigil karena saking kaget dan takutnya melihat apa yang barusan saja terjadi. Tangan Ratih yang bergetar paling hebat. Bagaimana bisa wanita yang sudah sekarat seperti itu masih diperlakukan dengan kejam.
"Aaa.." Ratih menjerit ketika sosok bertopeng itu menjambak rambut wanita tersebut, kemudian membanting wajahnya ke lantai kuat-kuat.
Secepat kilat wajah laki-laki bertopeng itu melihat ke arah Ratih. Kakinya mulai mendekatinya. Ratih berusaha beringsut menjauh, namun tidak bisa. Dia sudah mendorong dinding sekarang. Tubuhnya sudah terhalang dinding, tak bisa lagi bergerak.
Sejurus kemudian, tangan laki-laki itu memegang rahang Ratih kuat-kuat hingga bibir Ratih tak berbentuk.
"Sekarang giliran kamu."
__00__
"Farah, bangun." Kaila mengguncang tubuh anaknya. Ini kali pertamanya Farah sedikit sulit dibangunkan. Mungkin anak sulungnya itu sedang kecapaian.
Tadi malam saat Kaila selesai mencuci, atau tepatnya pukul 12 malam, ada yang mengetuk pintu. Awalnya Kaila berpikir mungkin orang yang ingin bertamu, namun saat dibuka, ternyata Farah diantarkan Alva dan juga Naira.
Malam itu terlihat sekali wajah lelah anaknya. Bahkan saking lelahnya, Farah lupa untuk menawari temannya mau masuk dulu atau tidak. Kaila yang menggantikan Farah melakukan itu.
Alva dan Naira kompak menolak. Mereka juga buru-buru. Alva mau mengantar Naira ke apartemennya.
Setelah berpamitan, mereka kembali masuk ke dalam mobil. Kaila menunggu sampai mereka benar-benar pergi. Saat menilik Farah, ternyata anaknya itu sudah tergeletak tak sadarkan diri. Bahkan Farah juga belum mengganti pakaiannya.
"Bangun, Farah. Shubuh."
Perlahan Farah membuka matanya. "Jam berapa, Ma?" tanyanya dengan suara parau khas orang baru bangun tidur.
"Jam setengah lima. Ayo bangun, subuh."
Dengan malas disertai geliatnya, Farah bangkit dari tempat tidur, berjalan oyong menuju kamar mandi. Begitu air mengenai kulitnya, mata Farah membesar seketika.
Farah memberanikan diri untuk membasuh tangan, kemudian wajah, hingga terbasuh dan tercuci semua bagian tubuhnya. Selesai wudhu, Farah kembali ke kamarnya untuk menunaikan kewajibannya sebagai muslimah. Tak lupa, selesai sholat, rutinitas Farah masih ia kerjakan. Al-Qur'an dibacanya. Rasa kantuknya hilang setelah membaca Al-Qur'an.
Farah melihat jam dindingnya. Pukul 05.05. Ia mengambil handuk, lalu mandi untuk bersiap pergi ke sekolah.
__00__
"Bangun woi, bangun." Raka masih dengan mata kantuknya memukul-mukulkan bantal ke badan Dave dan Deva bergantian. "Bangun woi, sekolah."
"Apaan, sih?" Dave menggerutu dengan mata tertutup. Tangannya menarik guling, kemudian memeluknya.
"Bangun. Deva bangun, Deva."
Deva merubah posisinya dari tengkurap menjadi duduk sekarang. Tapi matanya masih tertutup.
"Ayo buruan bangun, mandi. Udah jam setengah enam, ntar kita telat." Raka melemparkan bantal yang dipegangnya tadi ke wajah Dave yang masih tertidur. "Lo pada belum ada baju sekolah juga."
Raka berjalan keluar meninggalkan mereka berdua.
Kemarin malam saat Alva memutuskan untuk mengantarkan Naira dan juga Farah, Alva sempat menanyai mereka berdua apakah mau ikut pulang atau tidur di rumah Raka saja. Mereka berdua sepakat ingin menginap di rumah Raka.
Raka menyuruh mereka tidur di kamar khusus tamu.
__00__
Raka sudah selesai mandi dan sudah juga berpakaian sekolah dengan rapi. Sekarang ia tengah duduk di meja makan bersama Agung dan juga Marsita.
"Temen-temen kamu pada ke mana?" tanya Marsita. Tangannya sibuk mengoleskan selai stroberi ke roti.
"Palingan bentar lagi nongol, Ma."
"Pagi, Om. Pagi, Tante." Deva memasang tampang ceria mengucapkan salam kepada kedua orang tua Raka.
"Ayo sarapan," Agung berujar ramah.
Masing-masing mengoleskan selai di roti mereka. Raka meminta Dave dan Deva agar sarapan dengan cepat agar bisa singgah ke rumah mereka untuk mengganti pakaian.
__00__
"Buruan." Raka memencet klakson sebagai pemberian tanda agar Dave dan Deva cepat-cepat berpakaian. Sebentar lagi bel akan segera dibunyikan, dan kalau Deva dan Dave tak kunjung selesai, maka mereka dipastikan akan terlambat hari ini.
Dari sebelah kanan, Deva muncul dengan seragam sekolah yang belum sempat dikancing. Dari sebelah kiri muncul Dave sudah berpakaian rapi dan bagus seperti biasa.
Mereka naik ke dalam mobil berbarengan dari kanan dan kiri. Siap untuk berangkat ke sekolah. Raka mengemudikan mobilnya cepat, agar tidak terlambat sampai ke sekolah.
Bersambung...