Bukan kali pertama, tapi tetap saja hati siapa yang kebal akan omongan semacam tadi. Sampai di kelas, Farah termenung di tempat duduknya. Hatinya masih terasa nyeri dibicarakan seperti itu. Kalau bukan karena kesabarannya saja, pasti ia sudah memberitahu mereka apa yang sebenarnya terjadi. Namun karena Farah tidak ingin kerja kerasnya dan kerja keras teman-temannya sia-sia, maka dirinya harus bisa mengendalikan diri.
Sejak kembali dari kantin tadi menuju kelas, wajah Farah murung, tidak ceria seperti biasanya. Naira berusaha mencairkan suasana, begitu juga dengan Deva. Mereka bertanya hal-hal random kepada Farah. Namun Farah menjawab tidak bersemangat.
Hingga sampai di kelas pun, Naira dan Deva sudah berusaha menaikkan kembali mood Farah, namun belum berhasil. Semoga saja mood-nya segera kembali.
Alva keluar dari kelas.
"Lo mau ke mana, Al?" tanya Raka spontan melihat temannya itu hendak pergi. "Ke kamar mandi bentar." Alva langsung pergi dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Akan tetapi ia tidak pergi ke kamar mandi sesuai dengan apa yang dikatakannya pada Raka tadi. Alva pergi menemui tiga gadis yang dengan seenak hati mereka membicarakan Farah. Mereka bertiga adalah anak kelas 11 IPA 3. Alva langsung menuju ke kelas mereka.
Tiba di sana, Alva langsung mendatangi mereka yang duduk di satu meja, masih dengan hobi mereka membicarakan orang lain.
Mereka yang didatangi kikuk seketika. Wajah mereka memucat melihat ekspresi marah dengan tatapan tidak suka dari wajah Alva.
Semua yang berada di kelas waktu itu langsung menatap heran, kenapa Alva datang ke kelas mereka. Apa yang ia cari sebenarnya.
"Minta maaf," ujar Alva singkat.
"Mm-minta maaf? Buat siapa?" tanya Rita pura-pura b**o.
"Minta maaf ke Farah. Gue tunggu sampai pulang sekolah nanti." Usai mengakhiri kalimatnya itu, Alva pergi meninggalkan ketiga cewek yang sedang menelan ludah mereka masing-masing.
"Permisi, Pak." Alva mengetuk pintu. Sampai di kelasnya, Pak Rahmad sudah masuk, dan mulai menjelaskan materi.
"Dari mana, Al?"
"Dari kamar mandi, Pak."
"Oh. Ya sudah, silakan masuk."
"Baiklah anak-anak, kita lanjutkan."
Dave langsung menanyai Alva begitu sahabatnya itu duduk di sampingnya. "Lo dari mana?"
"Toilet." Alva membuka tas, mengeluarkan buku sejarah.
"Bohong lu, kan?"
"Hust." Alva mengkode ke depan menggunakan matanya. "Belajar. Dengerin."
__00__
"Aku pulang ke rumah dulu, ya. Ntar baru ke rumah Raka." Farah meminta izin untuk pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Dia ingin agar Sarah bisa melihatnya terlebih dahulu sebelum pergi ke rumah Raka. Karena biasanya Farah langsung pergi ke rumah Raka sebelum Sarah melihat dirinya.
"Oke. Jangan lama-lama tapi," himbau Naira.
"Seep." Farah mengacungkan jempolnya.
Begitu sampai di pintu, Naira kaget. Dita dan dua temannya sudah menunggu di depan pintu.
"Nyari Farah?"
Dita mengangguk pelan, tidak bersemangat.
"Farah, Lo dicariin, nih."
"Siapa?" Farah segera menggendong tasnya, mendatangi Naira. Dia lumayan kaget melihat Dita dan dua temannya itu datang ke kelasnya, untuk mencarinya.
"Ada apa?" tanya Farah langsung.
"Kita mau minta maaf, ya," lirih Dita.
"Minta maaf?" beo Farah.
"Iya. Kita mau minta maaf karena udah bicarain yang nggak-nggak tentang kamu."
"Eh gak usah minta maaf, aku juga udah maafin kalian kok." Begitulah Farah. Meskipun hatinya tadi sakit saat mereka seenak hati saja membicarakan mereka. Namun Farah tetap bisa memaafkan apa yang telah mereka lakukan. Farah sama sekali tidak menyimpan dendam kepada mereka. Makanya saat Dita dan dua temannya meminta maaf, Farah justru merasa tidak enak.
"Yang penting jangan diulangi. Jangan membicarakan orang lain, ya." Bukan cuman memaafkan saja. Farah juga memberikan nasehat kepada siapa yang sudah membicarakannya. Itulah jadi diri Farah yang jarang ditemukan dalam diri orang lain.
Setelah percakapan dilalui, Dita dan dua temannya pergi. Mereka sudah berjanji akan memperbaiki diri mereka.
Farah pun bersyukur karena temannya itu bisa berpikir jernih sekarang.
Farah segera keluar menuju jalan. Dia harus cepat-cepat sampai rumah agar bisa bertemu dengan Sarah. Setelah itu dia harus cepat ke rumah Raka agar menyelesaikan tugas mereka secepatnya.
__00__
"Sarah mana, Ma?" tanya Farah begitu sampai di rumah.
"Pergi sama temennya."
Farah menghela napas. Ternyata hari ini ia tidak bisa bertemu dengan adiknya. Padahal Farah sudah berniat bermain sebentar agar adiknya itu tidak merasa bosan. Ya setidaknya dalam waktu yang sedikit itu, Sarah bisa lebih happy.
"Mama tumben pulang cepet?"
"Mamanya Raka lagi pergi ke luar kota, jadi mama bisa pulang lebih awal."
"Terus makan Om Agung gimana?"
"Malam ini Pak Agung gak pulang, jadi mama bisa deh pulang lebih cepet. Udah sana buruan ganti baju kamu, makan."
"Oke, Ma."
Selesai mengganti seragamnya dengan baju rumah, Farah langsung ke dapur untuk mengambil makanan. Menu hari ini adalah tempe sambel dan sayur daun ubi tumbuk.
Farah mempercepat makannya. Karena Sarah tidak ada di rumah, maka ia harus bergegas pergi ke rumah Raka.
"Mau ke rumah Raka lagi?"
"Iya, Ma."
Kaila duduk di sofa, membuka toples berisi emping. "Emang kalian ngerjain tugas apa sih? Kok perasaan Mama lama banget ngerjainnya."
Seketika mulut Farah yang saat itu tengah mengunyah, berhenti. Mulutnya bergetar tidak bisa mengatakan apa-apa. Farah belum memberitahukan yang sebenarnya. Dan juga kalau harus berbohong lagi, Farah akan merasa semakin bersalah.
"Ngerjain apa?" tanya Kaila lagi karena pertanyaan sebelumnya belum dijawab.
"Buat penelitian, Ma," jawab Farah sekenanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Tentang?"
"Anatomi." Lagi-lagi Farah menjawab apa yang tertera di dalam kepalanya.
"Pantes lama, ternyata memang sulit." Kaila mengambil lagi emping di toples. "Senin depan ujian, kan?"
"Iya, Ma." Farah sudah selesai makan. Dia langsung pergi ke dapur untuk mencuci piring bekas makannya.
Di sana, Farah menghela napas lega. Untung saja jawaban asal yang ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan mamanya tadi tidak terdengar aneh dan berhasil membuat mamanya percaya. Farah belum bisa memberitahukan hal sebenarnya kepada mamanya karena ada beberapa faktor. Dan juga, ini sesuai perjanjian mereka.
Setelah selesai mencuci piring, Farah bergegas mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah Raka.
__00__
Setelah menerima telepon dari anaknya bahwa saat ini dua anaknya itu sedang merasa diawasi, membuat irama detak jantung Bu Ratna sekarang tidak karuan. Di dalam ruangannya itu, wanita berusia 45 tahun tersebut terus meremas kedua tangannya. Menjadi kebiasaan Bu Ratna saat sedang panik, ia akan meremasi tangannya.
Berharap dengan memindahkan kedua anak kembarnya itu ke Sydney akan memperbaik keadaan, namun nyatanya, situasi saat ini justru membuatnya was-was. Bu Ratna tidak habis-habisnya memikirkan bagaimana nasi banak kembarnya di sana. Bagaimana jika mereka berdua ditangkap. Bu Ratna tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi.
Tapi untuk terbang ke sana, dirinya juga bisa. Mereka akan mengetahui bahwa selama ini dirinya menyimpan rahasia besar. Bu Ratna memijat pelipisnya. Kepalanya terasa mau pecah sekarang. Di tengah-tengah meminjat pelipisnya, rutukan demi rutukan ia hadirkan untuk dirinya sendiri. Kebodohan di masa lalu yang ia lakukan, membuatnya berada di posisi ini sekarang. Bu Ratna mengasihani dirinya kenapa bisa dahulu melakukan hal bodoh semacam itu.
Andai saja dia memakai otaknya, bukan perasaannya, sekarang hidupnya pasti aman dan damai tanpa dihantui perasaan takut dan juga was-was. Semenjak hal itu terjadi, Bu Ratna tak pernah lagi damai hidupnya. Bahkan sebelum tidur pun, yang seharusnya bisa beristirahat, Bu Ratna harus dihantui perasaan cemas yang entah kapan menemukan ujungnya.
Dia tengah berpikir sekarang bagaimana cara agar bisa menyelamatkan kedua putra kembarnya itu tanpa harus terbang ke sana. Bu Ratna sama sekali tidak memiliki koneksi atau pun teman yang bisa jadikan opsi untuk meminta tolong. Dia tidak punya siapa-siapa di sana. Untuk kali ini, Bu Ratna merasa dirinya bodoh karena memilih Sydney sebagai tempat untuk menyembunyikan anaknya.
Hanya ada satu jalan, dan itu akan mengorbakan harga dirinya. Bu Ratna menggelengkan kepalanya mencoba untuk menyadarkan diri. Tidak. Jika ia memilih jalan tersebut, maka jalan menuju keluar dari kecemasan tidak akan pernah lagi ia temukan.
Ketika teringat kedua anaknya lagi, seakan pikiran jernihnya langsung menghilang. Tidak ada jalan lain lagi. Sekarang Bu Ratna harus memilih. Harga dirinya atau keselamatan dua putranya.
Bu Ratna mencari kunci mobilnya. Setelah menemukan kunci itu, segera ia keluar dari ruangannya menuju parkiran guru. Tak lupa tas samping berwarna hitam ia bawa. Sebelum menuju parkiran, ia menyempatkan diri untuk pergi ke ruang piket guru untuk meminta izin memberitahukan bahwa dirinya mempunyai urusan genting.
Guru piket itu bersedia menggantikan Bu Ratna untuk les selanjutnya. Sampai di mobil, ia bergegas pergi menuju tempat di mana sebentar lagi gerbang menuju neraka dunianya. Bu Ratna memejamkan mata sebelum menginjak gas. Dia meyakinkan diri. Inilah yang harus ia lakukan agar anaknya tidak kenapa-napa. Bu Ratna menginjak gas, tanda ia telah siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya nanti.
Bersambung...