Bab 11. Kamar Mandi

1590 Kata
Bab 11 Kamar mandi “Kalian kenapa pada nolak tawaran Pak Kuncoro? 100 juta itu jumlah yang banyak tau!” protes Dave begitu sampai di kelas. “See? What exactly were you thinking of turning down that kind of money?” tanya Deva sedikit kesal menyeimbangi Dave. “Coba lo pikir berdua. Di dunia ini gak ada yang gratisan, Dave, Deva. Lo pikir Pak Kuncoro dengan mudahnya memberikan kepada kita 100 juta percuma gitu? Lo pada gak inget hari di mana Farah dibawa ke penjara? Apa yang Pak Kuncoro bilang waktu itu?” Farah sedikit menaikkan suaranya. Ia mencoba mengingatkan dua sahabatnya agar tidak tergoda dengan uang. Pak Kuncoro bukan orang yang melakukan segalanya dengan percuma. Pasti ia akan menagih imbalan, cepat atau lambat. Naira tahu itu. Deva dan Dave ingat apa yang dikatakan Pak Kuncoro waktu itu. Dia melarang mereka untuk ikut campur dalam tragedi yang terjadi di sekolah. Lalu kenapa sekarang ia datang, dengan embel-embel memberikan penghargaan? “Yang terpenting sekarang, kita harus selalu waspada. Gue yakin, kejadian yang menimpa Farah tempo hari lalu adalah awal dari kegilaan yang sebentar lagi akan terkuak satu persatu.” Raka menatap bergantian satu persatu wajah sahabatnya. “Dan buat lo, Dave, Deva, jangan mudah untuk tergiur dengan uang.” “Selamat pagi, anak-anak!” sapa Pak Rahmad—guru sejarah yang berusia 55 tahun. “Pagi, Pak!” Semua murid krasak-krusuk kembali ke tempat mereka masing-masing. Pak Rahmad tersenyum memperhatikan seluruh wajah murid-muridnya dari depan hingga ke belakang. “Bagaimana kabar kalian?” “Baik, Pak.” Pak Rahmad melihat ke arah Farah. “Kamu murid baru itu, ya?” Farah mengangguk kaku. “Iya, Pak.” “Semoga kamu selamat ya sekolah di sini.” “Selamat?” beo Farah pelan. Kenapa selamat? Bukankah seharusnya kalimat yang diucapkan Pak Rahmad “Semoga kamu betah”? “Baiklah. Buka buku hal. 165—Tirani Matahari Terbit.” Menunggu murid-murid membuka buku, Pak Rahmad berkeliling, ia berhenti tepat di belakang, di samping meja Farah. “Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, Bapak ingin bertanya, apa yang dimaksud dengan Tirani Matahari Terbit.” Naira mengangkat tangannya. “Saya, Pak.” “Silahkan Naira.” Pak Rahmad mempersilakan. “Yang dimaksud dengan Tirani Matahari Terbit adalah negara Jepang. Julukan atau Istilah untuk Jepang yang telah dilakukan pada masa lampau di Indonesia. Pada masa itu Jepang melakukan berbagai kekejaman di masa pendudukannya di Indonesia. Jepang dianggap sebagai matahari terbit.” “Bagus Naira. Ada yang ingin menambahkan?” Raka mengangkat tangannya. “Jepang dianggap sebagai negara paling timur seperti matahari terbit, yang menjadikan alasan jepang dianggap sebagai negara matahari terbit. Kekejaman Jepang dalam menjajah dan mengeksloitasi sumber daya alam di Indonesia membuat Jepang menjadi tirani atau dalam bahasa bahasa lainnya adalah pemerintahan yang sewenang-wenang. Jepang akhirnya dijuluki sebagai matahari terbit karena adanya julukan kekejaman jepang yang ditambah dengan julukan dari negara Jepang itu sendiri, yakni matahari terbit.” “Bagus Raka.” Pak Rahmad berjalan menuju depan. “Pada tanggal berapa Batavia jatuh ke tangan Jepang?” Dave mengangkat tangannya. “Pada tanggal 5 Maret 1942. Tentara Jepang terus bergerak ke arah selatan dan menguasai kota Buitenzorg (Bogor). Dengan mudah kota-kota di Jawa yang lain jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1942, jendral Ter Poorten atas nama komandan pasukan Belanda atau sekutu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada Jepang yang diwakili Jendral Imamura.” Pak Rahmad manggut-manggut, puas dengan jawaban Raka. “Pada masa kolonial Belanda, ada satu organisasi yang sempat dibekukan. Lalu pada tanggal 4 September 1942, dizinkan untuk diaktifkan kembali. Ada yang tahu?” Pak Rahmad mengedarkan pandangannya. Semua murid tampak memasang wajah bingung dan saling bertanya-tanya satu sama lain. “Farah?” Farah yang semula menundukkan kepala, sama sekali enggan untuk menjawab, terpaksa mengangkat kepala. “Ya…, Pak?” balasnya dengan suara bergetar. “Silakan jawab.” Farah meneguk ludahnya, menarik napas. “MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)” Farah menjawab sedikit ragu-ragu. Pasalnya, puluhan pasang mata sedang mengarah ke arahnya. Tatapan mata mereka menyiratkan rasa penasaran dengan kebenaran skor iq yang Farah miliki. “Coba kamu jelaskan apa yang terjadi pada masa itu.” “Saya…, Pak?” “Iya. Kamu.” Farah melihat sekeliling. Setelah menarik napas panjang, ia siap untuk menjawab. “Jepang sangat membutuhkan kekuatan umat Islam untuk membantu melawan sekutu. Oleh karena itu, MIAI yang dulu sempat dibekukan Belanda mulai dihidupkan kembali oleh pemerintah Jepang. Tepat pada tanggal 4 September 1942 MIAI resmi diizinkan aktif kembali.” Sesi tanya jawab terus berlanjut. Begitulah adanya. Kelas 11 IPA 1 memang bukan kelas main-main. Kelas ini menjadi favorit para guru untuk mengajar. Tak jarang, para guru tidak perlu lagi menjelaskan materi yang mereka ajarkan. Murid-murid di sana sudah paham terlebih dahulu. Mereka hanya berbeda ketika Bu Ratna yang masuk. Bukan karena tidak paham, namun karena sudah takut duluan, sehingga lebih baik mencari jalan aman, menunggu Bu Ratna menjelaskan terlebih dahulu. “Maaf, Pak.” Farah mengangkat tangannya. “Ya, Farah?” “Izin ke kamar mandi, Pak.” “Oh, silakan-silakan.” Farah berjalan cepat menuju kamar mandi. Sepanjang jalan, tidak ada murid-murid lain. Tentu saja, karena mereka sedang belajar sekarang di kelas masing-masing. Tiga menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Lega sudah. Ia sudah menahan sejak sesi tanya jawab tadi sebenarnya, namun Farah sedikit takut untuk meminta izin, karena ini kali pertamanya bertemu dengan Pak Rahmad. Karena sudah tidak tahan, tidak ada jalan lain selain memberanikan diri meminta izin untuk ke kamar mandi. Saat melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, seseorang menarik tangannya. “Lo yang namanya Farah?” Seorang perempuan yang lebih tinggi darinya 15 CM. Memegang rokok di sela jari tangan kanannya. Gelang khas yang biasa dipakai laki-laki, dan juga kalung dari bahan besi berwarna hitam membuat julukan preman sudah cocok melekat padanya. “Cantik.” Cewek itu mengangkat dagu Farah. “Tapi sok suci!” Tanpa aba-aba terlebih dahulu, cewek tersebut meludahi wajah Farah, kemudian melepas tangannya dari dagu Farah. Farah mengelap wajahnya menggunakan ujung hijabnya. Tiba-tiba cewek yang tadi sudah meludahi wajahnya mencengkram kuat leher Farah hingga tubuhnya terangkat. Farah gelagapan. Napasnya tertahan. Ia berusaha melepaskan diri. Dua cewek lagi keluar dari bilik kamar mandi. Satu berambut pirang sebahu diikat kuncir kuda. Satu lagi berambur sedikit keungu-unguan, mengenakan hoodie hitam. Mereka tersenyum sungging mendekati Farah. Tatapan mereka berdua menyiratkan rasa puas melihat Farah diperlakukan seperti itu. “Kita apakan dia?” tanya perempuan berambut pirang. “Gas!” Wanita berambut keungu-unguan menarik paksa hijab Farah hingga terlepas. Rambut hitam panjang Farah yang melebihi pinggang terurai begitu saja. Karena tarikannya cukup kuat, sanggul Farah ikut terlepas. Panik, Farah menutupi sebisa mungkin bagian kepalanya. Wanita yang mirip preman itu melepaskan cengkraman di leher Farah. Saat tangannya hampir saja mendarat mulus di pipi Farah, tangannya dicegat Naira. Naira menggenggam kuat, hingga rahangnya bergetar menatap sosok wanita bringas yang ingin menampar Farah. Wanita berambut pirang mendekat, dengan sigap Naira menendang bagian perutnya hingga meringis kesakitan. Naira memutar tubuh wanita preman, sekarang wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena tangannya sudah dikunci Naira. __00__ Setelah berusaha membujuk Alva untuk membiarkannya melihat luka adiknya, kini Dinda tengah mengoleskan obat merah ke luka bekas cambukan tali pinggang. Warna merah mendominasi punggung Alva. Terdengar sedikit ringisan menahan sakit dari mulut Alva. Itu wajar, mengingat cukup lama papanya mencambuk tadi. “Sudah, Kak?” “Sabar, sedikit lagi.” Dinda memegang pinggang adiknya itu agar tidak bergerak ketika obat merah sampai tepat di bagian lukanya. Dinda cepat-cepat mendongakkan kepalanya, mencegah air mata agar tidak jatuh. Ia merasa gagal menjadi seorang Kakak. Alih-alih melindungi, Dinda malah membuat adiknya menderita. Tepat pada tanggal 7 september 2016, malaikat mereka tidak lagi ada di dunia ini. Sosok yang selalu menemani mereka, membacakan dongeng sebelum lidur, berpulang ke pangkuan pencipta. Saat itu Almh. Kinara sedang pergi bersama Alva untuk membelikannya hadiah karena Alva berhasil memenangkan olimpiade Fisika tingkat kabupaten, dan akan diutus untuk tingkat provinsi. Saking senangnya, Alva langsung berlari ketika melihat toko mainan di sebrang jalan. Ia melepaskan diri dari pegangan tangan Kinara, berlari menyebrangi jalan. Kinara spontan mengejar anaknya, namun nahas terjadi. Alva berhasil menyebrang tanpa luka sedikit pun, namun Kinara harus berakhir di rumah sakit beberapa hari dengan kondisi kritis. Selama dua minggu Kinara berada di rumah sakit, kondisinya tak kunjung membaik. Semakin lama kondisi Kinara justru semakin memburuk. Tepat di hari ulang tahun mamanya, 21 September, Kinara menghembuskan napas terakhirnya. Sejak saat itu, Nugraha membenci Alva. Karena Alva, ia harus kehilangan separuh nyawanya. Nugraha memutuskan hubungan dengan Alva hingga sekarang. Setiap kali kenangan indah dirinya dengan Kinara hadir di kepala, Nugraha akan mencari Alva, lalu melampiaskan kemarahannya kepada anak bungsunya itu. Tanpa sadar Dinda meneteskan air matanya, mengenai pinggang Alva. Sontak Alva berbalik untuk memeriksa. Benar, kakaknya menangis. Alva mengusap air mata dari wajah kakaknya. “Maafin Kakak, ya, Kakak gak bisa jagain kamu.” Dinda menundukkan kepalanya, merasa bersalah, tidak berani menatap wajah Alva. Alva memeluk kakaknya. Tangis Dinda pecah. Ia membenamkan wajahnya di bahu Alva, mengeluarkan seluruh rasa sakit di hatinya. Kematian itu bukan disebabkan oleh satu orang, dua orang, ataupun selebihnya. Kematian seseorang sudah ditakdirkan di lauhul mahfuz sana bukan? Tapi kenapa Papa mereka tidak bisa membuka pikirannya akan hal itu? Kenapa harus Alva yang menjadi bulan-bulanannya kerap kali kenangan indah mama mereka muncul? Alva mengelus rambut kakaknya, menatap kosong ke depan. Kalau saja ia tidak berlari waktu itu, mungkin mamanya masih ada sampai sekarang. Alva tahu bahwa dirinya pantas menerima ini atas kebodohannya dulu. Mau bagaimana pun juga, Nugraha tetaplah orang tuanya. Alva akan menunggu waktu di mana papanya, akan menerima kembali dirinya sebagai anak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN