Bab 12. Keluarga Naira

1108 Kata
“Lo gak kenapa-napa, kan?” Naira memberikan jilbab Farah yang dilepas tadi oleh perempuan bringas dan dua sahabatnya yang telah melarikan diri dari sana. Farah menerima jilbab itu, cepat-cepat mengenakannya. Naira bisa melihat bahwa Farah ketakukan diperlakukan seperti tadi. Meira dan dua anak buahnya itu tidak akan berhenti di sini saja. Mereka akan terus mengincar Farah sampai apa yang mereka mau, mereka dapatkan. Naira sama sekali tidak takut. Meskipun mereka adalah kakak kelas, salah tetap salah. Naira akan berdiri di garda terdepan untuk melindungi Farah apa pun ceritanya. Naira bisa menebak, alasan Meira mengincar Farah adalah Alva. Sudah menjadi kebiasaan Meira melakukan hal itu pada siapa saja yang ia lihat dekat dengan Alva. “Ayo kita ke kelas.” Naira menggandeng tangan Farah. Sampai di kelas, Pak Rahmad sudah tidak ada. Murid-murid yang lain sudah fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Sekarang jam ke-6. Satu jam pelajaran lagi, mereka akan istirahat kedua. Setelah mengantarkan Farah kembali ke mejanya, Deva dan Dave menghampirinya, bertanya kepada Naira. “Farah kenapa, Nai?” tanya Dave. “Meira dan anak buahnya berulah,” ujar Naira lesu. “Itu bocah emang gak ada kapok-kapoknya, ya. s**t!” Dave mengelus pundak Deva, menenangkannya. Meira dan dua anak buahnya memang benar-benar kelewatan. Mereka selalu saja menindas adik kelas. Kali ini Farah yang menjadi incaran mereka. “Tapi lo gak kenapa-napa kan, Rah?” tanya Dave kepada Farah memastikan. Farah masih merasakan sakit di bagian leher. Ia perlu menelan ludah, membasahi kerongkongannya sebelum menjawab. “Gue baik-baik aja, kok.” Jawabnya berusaha tersenyum. “Ka,” panggil Deva. “What should we do?” Raka mengangkat buku materi matematika ke udara. Itu menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan Deva adalah belajar. Ia tahu bahwa Meira sudah keterlaluan. Membahas itu sekarang juga tidak ada faedahnya. Lebih baik sekarang, mereka belajar. Urusan Meira akan dibahas nanti. Deva langsung mengerti. Ia kembali ke mejanya, disusul Dave. Naira menepuk bahu Farah seolah mengatakan agar jangan khawatir. Mereka semua aka nada untuknya. Setelah itu ia kembali ke mejanya. __00__ “Lo pulang naik apa, Farah?” tanya Raka. Farah mengancing tasnya, menoleh ke sumber suara. “Angkot. Biasa.” “Gak mau bareng kita aja, Farah?” tawar Naira, mendatangi mejanya. “Ah gak usah. Ntar ngerepotin lagi.” Farah menolak halus. “Nggak kok. Malah kami senang kalau lo mau pulang bareng kita-kita.” Deva berdiri, menjitak kepala Dave. “Lo kalau urusan cewek aja gercep” “Apaan sih lo, resek amat!” protes Dave sambil memegangi bekas jitakan Deva. Farah berdiri, menyampirkan tas di punggungnya. “Kalian duluan, ya. Aku naik angkot aja. Sekali lagi terima kasih atas tawarannya.” Farah melempar senyum sebelum pergi meninggalkan mereka. Dave hanya bisa menghela napas sabar melihat Farah yang berjalan keluar dari kelas. Gagal sudah pulang bareng Farah untuk yang kedua kali. Raka berjalan menuju pintu. “Ayo pulang.” Naira, Dave, dan Deva mengikuti dari belakang. Sampai di parkiran, sesuatu yang tidak ingin Naira lihat ataupun temui melambaikan tangan ke arahnya. Sosok wanita tua yang kulit wajahnya sudah mulai mengendur dan seorang wanita berusia 30-an berada di sampingnya. Dua wanita itu melambaikan tangan ke arah Naira. Deva juga melihat itu. Ia menoleh, melihat wajah Naira. Wajah sahabatnya itu tidak mengekspresikan kebahagian sama sekali. Malah ia terlihat kesal. Deva menyenggol bahu Naira, mengkode ke depan sana. Naira mengangguk, berjalan mendatangi. Ekor mata Raka mengikuti ke mana Naira berjalan. Dave yang tidak tahu apa yang sedang terjadi memasang raut wajah ada apa? bertanya kepada Deva. Wanita tua tersebut langsung memeluk Naira erat. “Sudah lama nenek tidak memeluk cucu kesayangan nenek.” Gita—adik mamanya itu tersenyum, mengelus pucuk kepala Naira. “Kamu makin cantik aja, ya.” Naira jengah berada di pelukan neneknya, melepaskan diri. “Nenek dan Bibi ada perlu apa?” Sari memamerkan gigi tuanya. “Nenek kangen sama kamu.” Naira sudah tahu. Pasti kalimat membosankan itu yang akan didengarnya. “Ayo, Nai,” Gita membukakan pintu. “Kita pulang.” Naira menghela napas. Ia masuk ke dalam mobil. Setelah tiga bulan tidak senam jantung, sepertinya sebentar lagi ia akan senam jantung kembali Mereka sampai di rumah Gita setelah berjalan 30 menit lamanya. Rumah itu adalah rumah persinggahan kalau mereka datang ke Jakarta. Tidak terlalu jauh dari sekolah dan juga apartemen tempat Naira tinggal. Sengaja Gita membeli rumah itu, agar saat berkunjung bisa bertemu dengan kakaknya dan juga Naira. “Bibi ke dapur sebentar, ya,” pamitnya setengah berlari menuju dapur. “Ayo Nai, kita duduk di sana.” Merangkul cucunya, Sari menuntun Naira ke sofa ruang tengah. “Gimana kabar kamu? Sehat, kan?” Naira mengangguk malas. “Sehat, Nek.” “Mama kamu?” “Sehat juga.” Sari masih memasang wajah senangnya, setelah tiga bulan tidak melihat Naira. Tapi entah mengapa, Naira merasa tidak senang bertemu dengan nenek dan juga bibinya. “Minuman datang!” seru Gita bahagia, membawakan jus jeruk dan juga camilan. Gita memindahkan gelas pertama dari nampan, diletakkan di depan Sari, gelas kedua untuk Naira dan yang terakhir bagiannya. Gita menyembunyikan nampan tadi di belakang sofa. “Ayo, Naira, dimakan.” “Gimana kabar Mama kamu? Mama kamu gak berhubungan lag ikan dengan Papa kamu yang sok itu!” Naira berdiri, grahamnya bergetar. Apa yang ia khawatirkan terjadi. Nenek dan bibinya belum berubah. Papa yang mereka pandang rendah, masih berlangsung hingga sekarang. “Nek, cukup!” Naira menarik napas panjang. “Naira gak mau lagi dengar Nenek dan Bibi terus-terusan ngerendahin Papa.” Naira keluar, membanting pintu. Sepertinya Naira melakukan kesalahan berharap bahwa mereka akan berubah. Ternyata salah. Tujuh tahun sudah berlalu, namun tanda secuil pun mereka telah berubah, sama sekali tidak terlihat. __00__ “Tadi siapa?” tanya Dave turun dari mobil Raka. “Siapa?” Deva balas bertanya. “Yang jemput Naira.” “Itu Nenek dan bibinya,” ucap Raka tiba-tiba. Setelah Deva keluar, Raka memutar mobilnya. “Nenek?” Dave mencoba mengingat. “Kok gue gak pernah liat.” Deva menjitak kepala Dave. “Ribet lo! Does Naira’s grandmother have to introduce herself to you?” ucapnya sambil berlari karena sudah dipastikan Dave akan marah karena jitakannya kali ini lumayan kuat. “Jangan lari lo!” Dave mengejar sampai pagar rumah Deva. Ia kalah cepat. Deva lebih dahulu masuk. Lihat saja besok, Deva akan menerima ganjaran perbuatannya. Sampai di kamar, Deva langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia mengatur napasnya yang sedikit tersengal karena harus lari menghindari Dave tadi. Lima menit kemudian, ia mengganti seragam sekolahnya dengan kaos putih polos dan celana selutut berwarna hitam. Deva keluar kamar, menuju dapur. Ia lapar, dan mamanya kebetulan tidak ada di rumah hari ini. Mamanya sedang pergi arisan bersama teman-temannya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN