Bab 10. 100 juta

1235 Kata
"Farah," Naira mendatanginya, mengambil posisi tepat di bangku sebelah Farah. "Lo biasanya setelah pulang sekolah ada kesibukan apa?" "Kesibukan? Gak ada yang signifikan sih, Nai. Cuman biasanya aku lebih suka menghabiskan waktu dengan buku." "Waw. Kamu biasa baca buku apa?" "Aku lebih tertarik dengan buku-buku sejarah. Selain bisa menambah wawasan, aku juga bisa berkeliling dunia hanya dengan membaca buku." "Good morning, ladys!" sapa Deva, meletakkan tas di mejanya. "Pagi-pagi gak boleh ngegosip," ucap Dave asal sedikit tertawa. "Yeee, siapa juga yang ngegosip." Farah masih melihat ke arah pintu menunggu sosok Alva muncul. Hanya Dave, Deva, dan Raka saja yang masuk barusan. Kemana Alva? Raka melihat Farah yang sedang melihat ke arah pintu. Ia tersenyum kecil, mengerti. "Alva gak masuk hari ini, Farah." Farah mengerjap malu karena katahuan sedang menunggu Alva. Naira tersenyum, tidak mengira bahwa Farah sedang menunggu Alva. "Apa ini?" "Ciee yang lagi Fall in love," ejek Dave ikut-ikutan. Satu persatu murid mulai berdatangan. Sekarang seluruh murid sudah berdatangan kecuali Alva. Entah di mana sekarang ia berada. Alva juga tidak mengabari lima sahabatnya, perihal mengapa ia tidak masuk sekolah hari ini. Naira tengah berusaha menyingkirkan pikiran anehnya. Semoga Alva baik-baik saja. Tiba-tiba Naira teringat sesuatu mengenai kegiatannya mencoba kembali meretas CCTV sekolah. "Guys, kalian ada waktu gak setelah pulang sekolah?" "Ada." jawab Dave langsung. "Gue bisa," seru Raka. "Lo Deva? Lo gak ada janji sama nyokap lo, kan?" "Ada. We wanna go to supermarket to night." Deva nyengir. "Emang kenapa, Nai?" Deva yang semula duduk di mejanya berdiri, mendatangi Naira karena penasaran. "Lo inget gak apa kata Alva kemarin? Semua yang terjadi dari awal mula Farah masuk, semua terasa janggal, bahkan terkesan direncanakan." "Iya. Gue inget," jawab Dave. "Tadi malam, gue sengaja-" "Permisi," seorang anak laki-laki, murid kelas 10 mengetuk pintu. Frendi mendatanginya. "Ada apa?" "Maaf, Kak. Saya ingin memanggil," ia melirik kertas di tangannya. "Kak Farah, Kak Naira, Kak Deva, Kak Raka, Kak Dave, dan Kak Alva. Mereka semua sudah ditunggu di ruangan kepala sekolah." Frendi mengucapkan terima kasih kepadanya, lalu menyuruhnya pergi. Mereka akan segera datang. Mendengar itu menimbulkan rasa penasaran. Ada apa lagi? Ini kali kedua mereka semua dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Apa ada hubungannya lagi dengan Pak Kuncoro? Naira berharap semoga dirinya tidak lagi bertemu dengan anggota DPR itu lagi. Selain wajahnya yang menyebalkan, cara bicaranya juga Naira tidak suka. Dave dan Raka saling bertukar pandang. Deva memijat pelipisnya. Ini bisa jadi kabar buruk, dan sesuatu yang buruk pasti sedang menunggu mereka di sana. "Kalian kenapa? Ayo, kita ke ruangan kepala sekolah sekarang." Farah yang tidak paham apa-apa, mengajak mereka segera memenuhi panggilan yang mereka anggap akan menjadi malapetaka nanti. Naira mengangkat kepalanya, menatap Farah. "Lo yakin mau ke sana, Farah?" "Emang ada apa?" Raka berdiri, menarik tangan Deva. "Ayo berangkat." Tidak ada yang bisa dilakukan lagi kalau Raka sudah bertindak. Jika Alva tidak ada, maka panduan mereka adalah Raka. Dave dan Deva berdiri malas. Mereka berdua mengikuti Raka dari belakang. Naira menghela napas panjang sebelum berdiri. "Ayo, Farah." Mereka berdua ikut berjalan di belakang Dave dan Deva. __00__ Cetas!! Benda panjang terbuat dari kulit itu mengenai punggung Alva. Nugraha melibas Alva tanpa ampun. Yang dilibas hanya meringkih, tanpa bisa memberikan perlawanan sedikitpun. Hari ini tidak ada Dinda yang melindunginya. Kakak tercintanya sedang pergi kuliah. "Rasakan!" Dengan posisi berjongkok, Alva menahan libasan yang datang bertubi-tubi dari Nugraha. Menangis? Tidak bisa. Alva tidak bisa mengeluarkan air matanya saat ini. Jangan tanya sakit atau tidak. Tentu saja sakit. Tapi melawan, justru akan membuatnya makin tersiksa. Terdengar napas ngos-ngosan dari Nugraha. Usianya yang tak lagi muda membuat pekerjaan ringan terasa berat baginya. Meskipun masih berusia setengah abad, masih dalam kategori kuat, Nugraha adalah peminum, itulah yang merusak kualitas organ dalam tubuhnya. Ia menarik baju belakang Alva, membalik badannya. Alva dalam posisi berdiri sekarang. Nugraha menarik ancang-ancang ke belakang, melayangkan pukulan ke wajah anaknya. Tiga kali Alva menerima mentah-mentah pukulan itu, dan masih tanpa perlawanan. Ponsel Nugraha berdering ketika ia baru saja ingin melayangkan pukulan yang keempat. Ia mencampakkan tubuh Alva hingga terjatuh lemas di lantai dengan hidung berdarah dan wajah lebam tidak karuan. "Saya ke sana sekarang," ucap Nugraha. Ia melemparkan tali pinggang yang masih ia pegang sejak tadi ke arah Alva, pergi meninggalkan putranya tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Alva meludah. Ia tersungging, namun matanya penuh kesedihan. Lebih baik mati bukan ketimbang harus menerima siksaan semacam ini terus-menerus? Dalam benak Alva sekarang begitulah adanya. Selama hampir lima tahun menerima perlakuan itu dari papanya membuat dinding pertahanan yang semula kokoh, perlahan mulai runtuh. Alva berusaha bangkit, sedikit kesusahan. Punggungnya sakit sekali. Perih yang teramat sangat membuatnya meringis kesakitan. Kali ini giliran ponselnya yang berdering, sebuah pesan masuk. Alva merogoh sakunya susah payah. Nomor yang tidak dikenal. Ia membuka pesan itu. "Kamu baik-baik saja, kan? Kenapa gak masuk sekolah? Kamu sakit?" Alva mengerjap untuk detik pertama. Siapa gerangan yang menanyainya seperti ini? Jelas ini bukan dari lima sahabatnya. Kata "Kamu" di pesan itu menunjukkan bahwa itu adalah orang lain. Tapi siapa? __00__ "Saya harap kalian semua menerima pemberian saya ini. Saya tidak bermaksud lain, sama sekali tidak punya maksud yang aneh-aneh. Saya murni memberikan penghargaan ini kepada kalian karena telah membantu pihak sekolah dalam memecahkan kasus pembunuhan yang terjadi tempo hari lalu di sekolah tercinta kita ini." terang Pak Kuncoro meyakinkan lima siswa yang berada di depannya sekarang. Dave dan Deva merasa tersanjung dengan apa yang Pak Kuncoro lakukan sekarang. Mendapatkan apresiasi dari bapak DPR dan juga pihak sekolah merupakan sesuatu yang harus dibanggakan bukan? Mereka berdua sangat senang sekarang. Jika Dave dan Deva senang, maka berbeda dengan Raka dan Naira. Mereka bertukar pandang. Seolah bisa membaca pikiran satu dengan yang lainnya, mereka mengangguk paham. "Maaf, Pak. Tapi saya rasa apa yang kami lakukan, belum pantas untuk menerima pemberian bapak," ujar Naira mantap. "Benar, Pak. Sebagai murid SMA Kencana Indonesia, sudah sepantasnya kami membantu sekolah memecahkan kejadian janggal yang terjadi di sekolah ini. Lagi pula hal ini terjadi kepada Farah, siswa yang baru saja ingin memulai hari pertamanya di sekolah ini. Menurut kami hal ini terlalu berlebihan. Kami tidak bisa menerimanya," sambung Raka tanpa ragu sedikitpun. Dave dan Deva mengeluh. Kenapa Raka dan Naira tidak sepemikiran dengan mereka berdua. Atau mungkin mereka sudah terlalu kaya sehingga uang 100 jt sudah tidak lagi bernilai di mata mereka? Pak Kuncoro menatap wajah Farah. Yang ditatap tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya diam, menundukkan wajah ke bawah. Pak Gunawan selaku kepala sekolah kehabisan kata-kata. Entah setuju dengan perkataan Naira dan Raka, atau memang sudah kehabisan taktik membujuk mereka untuk menerima apa yang ingin Pak Kuncoro berikan. "Sudah selesai, Pak? Kami ada kelas, izinkan kami kembali ke kelas," Tanpa basa-basi, Raka berdiri tepat setelah menuntaskan kata-katanya. Naira ikut berdiri, kemudian disusul Dave, Deva, dan Farah. "Saya permisi," pamit Raka. __00__ Membelakangi kaca besar, sambil kepalanya menatap kaca, Alva berusaha membersihkan luka bekas lebasan tadi dengan alkohol. Sambil menahan perih, Alva terus berusaha mencapaikan tangannya ke seluruh sayat-sayatan dari tali pinggang papanya tadi. Luka di wajahnya sudah terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol dan juga telah diberi obat merah. Hidung Alva disumbat dengan tissue karena sempat mimisan tadi. Menyerah. Tidak semua dapat dijangkau tangan Alva. Ia membalik badannya, menatap kaca besar. Alva memperhatikan setiap inchi dari tubuhnya. Beberapa bekas biru belum hilang dari sana. Ia memegang bekas lebam di bagian dadanya, masih terasa sakit. Pintu kamar terbuka. Cepat-cepat Alva mengambil baju di atas tempat tidur, memakainya. Dinda menutup mulutnya. Ia melihat dengan jelas bagaiman kondisi Alva sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN