Bab 8. IQ 148

1052 Kata
    “Hari ini kalian beruntung sekali. Berkat Farah, Ibu mengurungkan niat untuk memberikan kalian tugas,” ujar Bu Ratna memasukkan buku materinya ke dalam tas. “Jangan lupa untuk segera datang ke ruangan Ibu ya, Farah,” Bu Ratna mengingatkan.     Farah hanya menunduk kikuk mengiyakan peringatan Bu Ratna barusan.     “Baiklah. Pelajaran kita cukup sampai di sini. Sampai ketemu minggu depan. Assalamualaikum.”     “Waalaikumsalam,” balas murid-murid kompak.     Sejak Bu Ratna mulai menjelaskan materi di awal pelajaran tadi, beliau selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan random kepada Farah. Entah itu sengaja untuk membuktikan keabsahan skor iq-nya atau memang Bu Ratna hanhya sekedar iseng. Mulai dari dalam negeri, hingga luar negeri, semua pertanyaan yang berkaitan tentang dua hal yang barusan disebutkan dibabat habis oleh Farah.      Semua murid yang menyaksikan itu menganga. Bukan main. Terbuat dari apa sebenarnya otak gadis baru itu, begitulah kata mereka ketika melihat Farah dengan mudahnya menjawab pertanyaan dari Bu Ratna. Tanpa terkecuali Alva. Dari sekian pertanyaan, ada satu yang ia tidak ketahui.     “Kenapa Mesir disebut Bumi Kinanah?”     Semua terdiam, menatap Farah, menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya.     Saat Farah menarik napas, semua murid menggeleng takjub. Pertanyaan sesulit itu Farah mengetahui jawabannya?     Hampir semua pertanyaan yang Bu Ratna tanyakan berbau sejarah. Dan itu sempurna untuk Farah yang hobi membaca buku-buku sejarah.     “Disebut Bumi Kinanah karena banyaknya Nabi yang diutus di negeri tersebut, untuk menjaga dari kerusakan yang diperbuat oleh manusia yang hidup di dalamnya.”     Mendengar jawaban yang Farah lontarkan membuat sepercik rasa penasaran akan siapa Farah sebenarnya bertambah dalam benak Alva. Jujur saja, ia merasa gadis itu berbeda dari gadis genius yang pernah ia lihat sebelum-sebelumnya. Selain genius, Farah juga terlihat sangat berbeda dari segi pakaian dan juga akhlaknya.     Naira, semakin yakin bahwa keputusannya untuk berteman dengan Farah adalah hal yang benar, bahkan sangat tepat. Wawasannya dalam ilmu agama, mengenal agamanya lebih dalam lagi akan segera terwujud dengan hadirnya Farah. Naira mengangguk, ia tidak boleh lagi menunda, ia harus segera berteman dengan Farah.     Naira mendatangi meja Farah. Deva dan Deva ikut menyusul. Naira mengulurkan tangannya. “Naira. Masih ingatkan?” Naira tersenyum ramah.     Farah menerima uluran tangan Naira. “Masih.”     Hanya ada satu meja yang kosong, dan posisinya di barisan pertama dari kiri. Farah duduk di sana seorang diri.      “Lo ada kegiatan gak setelah pulang sekolah?” tanya Naira to the point.     “Nggak ada, Nai.”     Dave menjentikkan jarinya senang. “Bagus! Gimana kalau pulang sekolah nanti kita main ke rumah lo?”      Deva menjitak kepala Dave. Memang sahabatnya itu tidak bisa memilih timing yang tepat. Setidaknya biarkan Naira yang bertanya seperti itu agar jati dirinya sebagai playboy bisa tertutupi lebih lama.     “Main ke rumah?”     “Sekalian gue mau ketemu nyokap lo, ada yang mau gue tanya juga,” sela Raka tiba-tiba. Di sampingnya ada Alva yang berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.     “Kalau begitu silahkan, dengan senang hati.”     Pulang sekolah     Raka, Dave, Deva, dan Naira sepakat meminta Farah untuk ikut pulang bersama mereka sekaligus menunjukkan jalan ke arah rumahnya. Alva tidak ikut meminta terang-terangan seperti empat sahabatnya yang lain. Namun dengan hadirnya Farah bersama mereka justru akan lebih memudahkan mereka menuju rumahnya.     Tanpa banyak pertimbangan, Farah menyetujui permintaan mereka. Farah juga yakin mereka semua pasti benar-benar orang baik. Mereka juga yang membantu Farah keluar dari penjara tempo hari. Entah bagaimana nasibnya sekarang kalau mereka berlima tidak turun tangan.     Raka menyetir, Alva duduk di sampingnya. Deva dan Dave duduk di tengah. Naira dan Farah duduk di belakang.      “Terima kasih ya, karena sudah mau ngeluarin saya dari penjara,” ucap Farah tulus.     “Sama-sama. Lagian kita juga tahu kok lo gak mungkin membunuh satpam itu,” Naira merangkul bahu Farah.      “Awas!!!”     Raka mengerem mendadak. Di depan sana muncul dua mobil dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi kemudian saling bertabrakan. Mobil Toyota fortuner putih menabrak Toyota agya. Mobil berwarna merah kecil itu terpental beberapa meter kemudian terbalik setelah bertabrakan dengan mobil putih tersebut.      Alva membuka pintu, berlari mendekati mobil merah. Raka juga ikut memndekati mobil yang berwarna putih. Tak lama mereka berdua melambaikan tangan memberi kode kepada mereka untuk keluar. Sepertinya mereka membutuhkan bantuan.     Dave mendatangi Raka, Deva mendatangi Alva. Naira menelpon ambulans. Farah tidak tahu harus berbuat apa. Yang ada di dalam pikirannya sekarang, kenapa jalan ini sepi, padahal biasanya di jam seperti ini, jalan menuju rumahnya selalu ramai kendaraan. Terlebih lagi persimpangan ini merupakan penghubung menuju kecamatan yang lainnya.      “Farah,” teriak Alva melambaikan tangan ke arahnya.     Farah yang sadar, berlari mendatangi Alva     “Tubuh kamu kecil, coba kamu masuk ke dalam, tarik bayi itu.”     Farah melongo melihat ke dalam mobil. Sepasang suami istri dan sepasang bayi kembar sedang terjebak di dalam sana. Farah menelan ludah. Ia tahu tubuhnya memang kecil, tapi apakah bisa masuk ke dalam celah kaca itu?      Bismillah, ucapnya dalam hati.      Farah jongkok, mulai meraba masuk ke dalam. “Aw,” ringkihnya. Tangannya tertusuk serpihan kaca mobil.     “Are you okay?” tanya Deva khawatir. Semula ia tidak setuju dengan ide Alva menyuruh Farah masuk ke dalam sana. Tapi tidak ada pilihan lain selain melakukan ide ekstrem tersebut. Mobil merah itu sudah mulai mengeluarkan asap di bagian mesinnya. Menunggu ambulans dan mobil polisi datang justru akan memperburuk suasana.     “Selamatkan anak- saya,” ujar perempuan yang ada di dalam mobil tersebut lirih. “Saya mohon selamatkan anak saya.”     “Clam down. Kami pasti akan menyelamatkan anak ibu.” Ujar Deva menenangkan.     Saat tangan Farah menyentuh kedua bayi kembar itu, mereka menangis. Farah menghela napas lega. Syukurlah, mereka berdua masih hidup. Farah mempercepat gerakannya mengeluarkan bayi itu dari dalam mobil. Satu bayi berhasil dikeluarkan, kemudian satu bayi lagi menyusul. Alva mengoper bayi kepada Naira untuk dibawa ke mobil.      Setelah Farah keluar, giliran Alva dan Deva mengeluarkan sepesang suami istri di dalam mobil itu.      “Farah,” panggil Naira. Farah berlari, mendatangi orang yang memanggilnya.     Suara sirine ambulan, mobil polisi, dan mobil pemadam kebakaran mulai terdengar dari kejauhan. Farah membantu Naira mengobati luka kecil yang ada pada dua bayi kembar yang tadi diselamatkannya. Raka, Dave, Alva, dan Deva sudah berhasil mengeluarkan empat korban dari dua mobil tadi.      Begitu sampai, mobil pemadam kebakarang langsung menyiramkan air ke mobil yang bertabrakan itu sehingga mencegah terjadinya kebakaran. Polisi menanyai mereka perihal bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Para medis membawa para korban ke rumah sakit. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN