Bab 9. Kejanggalan

1552 Kata
Bab 9 KEJANGGALAN “Terima kasih ya sudah mampir.” “Sama-sama, Bu.” Balas Naira tersenyum lebar. “Terima kasih juga lho, Bu, sudah memberikan ini.” Naira mengangkat plastik kresek putih yang berisi pancake durian buatan Farah. “Lain kali kalau mau mampir bilang ya, biar Ibu siapkan yang lain.” “Beneran, Bu?” Deva memukul bahu Dave. “Be shy please!” bisiknya setengah emosi. Entah sampai kapan Dave akan selalu terang-terangan seperti itu. “Kalau begitu kami pamit ya, Bu.” Raka yang pertama mengambil tangan Kaila, menyalaminya. Naira mengikuti Raka. “Naira pulang dulu ya, Bu.” Naira menyalami Kaila. Tiga laki-laki sisanya ikut melakukan seperti yang dilakukan Raka dan Kaila. Setelah selesai, semua masuk kembali ke dalam mobil. Semua melambaikan kepada Kaila dan Farah sebelum pergi. “Ibunya Farah baik banget ya,” ujar Dave sambil memakan pancake pemberian Kaila tadi. Sejurus kemudian wajah Dave berubah. “Gila! Ini mah bukan enak lagi.” Dave memasukkan pancake ke dalam mulutnya lagi. “Serius. Coba lo pada Cobain. Asli, ini pancake durian terenak yang pernah gue makan.” “Masak sih?” tanya Naira setengah ragu. Raka penasaran, ia membuka plastik miliknya, melahap satu pancake. “Wah! Ini beneran enak. Lo gak mau coba, Al?” Kali ini Alva yang menyetir. Raka meminta Alva karena ia ingin mengistirahatkan tangannya sejenak karena ia akan bermain tenis meja dengan ayahnya nanti setelah sampai rumah. “Ntar aja, gue coba di rumah,” kata Alva. “So delicious!” Deva melahap habis potongan kecil pancake yang tersisa di tangannya. Mereka berempat terlihat sangat menikmati pancake buatan Kaila. Memang benar adanya, pancake buatan Kaila memang terkenal paling enak sewaktu di kampung halamannya dulu. Saat musim durian tiba, pancake menjadi sumber rezeki yang melimpah bagi keluarga mereka. Dalam sehari, Kaila bisa menerima hingga seribu box pesanan. Itu karena dibatasi, kalau tidak, pasti bisa lebih banyak dari itu. “Al,” panggil Naira. “Hmm?” “Gue minta punya lo…, boleh?” “Gue juga,” timpal Dave cepat tidak mau ketinggalan. “Ambillah,” ucapnya. “Ka, bagiin aja tu jatah gue.” “Serius lo?” “Udah bagiin aja. Lagian gue juga gak terlalu suka durian.” __00__ Pukul 17.00, Raka duduk di depan rumahnya sambil membaca novel karangan penulis favoritnya—Tere liye. Selepas pulang dari rumah Farah, Raka langsung membuka semua pintu mobil, membiarkan aroma durian di dalam sana keluar. Usai berganti pakaian, ia langsung membawa novel bersamanya ke depan rumah, menunggu papanya pulang kerja sebentar lagi. Sesuai yang dijadwalkan, sore ini mereka akan mengadu kesekian kalinya kebolehan mereka bermain tenis meja. Sampai saat ini, bisa dibilang kemampuan mereka seri. Tapi bukan itu yang mereka mau. Ayah dan anak ingin mengalahkan satu sama lain. Raka ingin mmebuktikan kepada papanya, bahwa kemampuannya bermain tenis meja melebihi kemampuan ayahnya. Sedangkan Agung, ingin membuktikan bahwa julukan sang legenda masih menempel erat di dalam dirinya. Menurut cerita, papanya adalah pemain tenis meja nomor satu di kampung halamannya dulu. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Raka percaya itu, dan memang terlihat saat di arena. Namun karena merasa teremehkan setiap kali bermain, ia ingin mengalahkan papanya telak. Suara klakson mobil terdengar. Satpam membuka pintu. Pajero hitam memasuki pekarangan rumah. Sudut bibir Raka naik dua centimeter, tersenyum sungging. Ia membunyikan buku-buku jari, ruas leher, dan pinggang. Ia siap untuk mengalahkan papanya hari ini. Agung keluar dari mobil, masih berseragam lengkap, menyunggingkan bibir. “Ck!” decihnya. Raka tidak mau kalah. Melakukan hal yang sama, ia mengacungkan jempol, memutarnya menjadi di bawah, membuat simbol K.O. Tiba di arena. Mereka memiliki lapangan tenis meja sendiri. Lokasinya masih satu tempat dengan garasi. Lima belas menit melakukan pemanasan, sekarang mereka siap untuk unjuk diri. “Kalah jangan nangis ya.” “Apa? Kalah? Sepertinya Papa lupa siapa yang kalah minggu lalu,” seru Raka dengan nada mengejek. Minggu lalu, Agung kalah telak dibuat Raka. Ini patut masuk sejarah. Skor Agung tertinggal jauh dari Raka. Entah apa yang ia pikirkan hingga bisa kalah sejauh itu. “Kamu jangan terlalu senang dulu.” Tangan Agung sudah siap untuk memukulkan bola. “Tidak ada yang abadi di dunia ini, apalagi kemenanganmu yang tidak seberapa itu.” Raka tersenyum licik. “Kita lihat saja nanti.” Lima belas menit kemudian. Raka tertawa keras penuh kemenangan. Di ujung sana ada yang diam, termenung menatap dinding. Baru lima belas menit, Agung kalah 9 poin dengan anaknya. “Sembilan?” Raka menyambung tawanya. Di luar dugaannya, ia sama sekali tidak mengira akan terjadi seperti ini. Yang katanya sang legenda, kalah 9 poin hanya dalam waktu sepuluh menit? Apa itu barusan? Agung yang kalah malu berdiri, keluar garasi. Raka terus mentertawai kekalahan papanya. __00__ Setelah selesai mengemasi baju-baju yang akan di-laundry besok pagi, Naira merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Ia memejamkan mata sejenak menikmati aksi rebahannya. Tiba-tiba ia teringat akan cctv sekolah yang gagal diretasnya beberapa hari lalu saat hendak memeriksa apa yang sedang Bu Ratna rencanakan. Naira mencari laptopnya. Ia kembali memasukkan kode-kode yang hanya dirinya sendiri yang paham akan itu. Dengan lihainya jarinya menari di atas kibor. Jika bukan Farah yang membunuh satpam itu, lalu siapa? Dan apa motifnya? Masalah ini belum tuntas sepenuhnya. Meskipun polisi sedang berusaha memecahkan itu, Naira tetap tidak akan tinggal diam. Berhasil. Naira berhasil masuk ke server. Sekarang seluruh ruangan sekolah bisa ia lihat di layar laptopnya. Layar terbagi menjadi enam sekarang. Koridor utama, parkiran, lab, ruang guru, parkiran guru, dan yang terakhir, gerbang sekolah. Naira memperhatikan secara keseluruhan. Tidak ada ditemukan keganjalan. Lalu kenapa tempo hari ia gagal membobol CCTV-nya? Jelas bukan ini sudah direncakan. “Gue harus membahas ini besok.” __00__ “Kamu yakin mau berangkat sendiri?” Farah meneguk habis teh yang ada di dalam mulutnya. “Yakin, Ma.” “Ya sudah kalau begitu. Maafin Mama ya, gak sempat buat anterin kamu,” ucap Kaila menyesal. Marsita meminta Kaila datang lebih awal untuk membantunya mengerjakan sesuatu. Itu sebabnya Kaila tidak bisa mengantarkan anaknya pagi ini. Awalnya ia ingin menolak, namun karena baru beberapa hari bekerja, sudah minta cuti kemari, lalu sekarang menolak? Kaila bingung harus apa saat itu. Alhasil ia menerima, berkata ingin membantu, namun tidak bisa mengantarkan anaknya ke sekolah. Farah paham. Lagi pula ia juga sudah bisa berpergian ke sana kemari seorang diri. Dulu sewaktu tinggal di Medan, setelah meninggal alm ayahnya, Farah naik angkot untuk pergi dan pulang sekolah. Setahun, cukup untuk membiasakan diri. Farah selesai sarapan. Ia membawa piring bekas makannya ke dapur, mencucinya. “Kak, liat klip rambut Sarah gak?” tanya Sarah. Matanya merah, setengah menangis. “Klip rambut? Kakak gak ada liat, Dik.” Sarah semakin lesu. Farah ingat, klip rambut itu adalah benda kesayangannya. Hadiah dari alm papanya. Sarah sangat menyayangi benda itu. Farah mengejar adiknya. “Ayo Kakak bantu cari.” Sambil menggandeng tangan Sarah, mereka berjalan menuju kamar Sarah. Lima menit mencari ke sana ke mari, Farah yang lebih dulu menemukan klip rambut Sarah yang hilang. Ternyata ada di bawah sapu yang ada di belakang pintu kamar Sarah. “Ketemu!” “Mana Kak, mana?” teriak Sarah antusias. “Ini. Simpan baik-baik ya, jangan hilang lagi.” Sarah memasang posisi hormat. “Siap, Kak!” Farah mengelus rambut adiknya. “Ya sudah sana cepat siap-siap. Sebentar lagi kita berangkat.” Farah kembali ke kamarnya, mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah. Ia sudah menerima seragam kemarin. Seharusnya ia sudah menerima seragam itu di hari pertamanya. Namun karena ada insiden yang sama sekali tidak diduga, ia tidak jadi menerima seragam itu. Kemarin, ia datang ke ruangan Bu Ratna sesuai perintahnya. Sampai di sana, Bu Ratna memberikan seragam khas SMA Kencana Indonesia kepadanya. Setelah memasangkan pentul yang terakhir, Farah melihat pantulan wajahnya di cermin, memastikan apakah dirinya sudah rapi atau belum. Tidak lupa, Farah selalu melapisi bibirnya dengan lip balm. “Kak, Sarah sudah selesai,” jerit adiknya dari luar pintu kamar Farah. “Iya, tunggu di depan. Sebentar lagi Kakak keluar.” Farah berdiri, menggendong tas, keluar kamar. Ia berjalan menuju ruang tamu. “Sudah?” Sarah manggut. “Sudah, Kak.” Sarah dan Farah keluar rumah. Sebelum pergi, Farah mengunci pintu dan jendela terlebih dahulu. Mereka berjalan beriringan menuju jalan raya. Tepat waktu. Baru saja menghentikan langkah terakhir mereka, angkot berwarna merah menampakkan diri. Sarah naik lebih dulu. Belum ramai di dalam sana. Hanya ada seorang ibu dua anak yang mengenakan seragam sama persis seperti Sarah, dan satu orang remaja laki-laki yang mengenakan seragam putih biru. Farah mengambil tempat di samping ibu tersebut. Sepuluh menit berjalan, Sarah sampai di sekolahnya. Setelah menyalami kakaknya, ia bersama ibu dan dua anaknya tadi turun. Farah menyempatkan diri melambaikan tangan ke arah adiknya sebelum angkot kembali melaju. Lima menit kemudian, Farah sampai. Ia memberikan uang pecahan lima ribu rupiah untuk ongkos mereka berdua. Sang sopir mengatakan tidak ada kembalian seribu rupiah. Farah memberikan kembalian itu kepada sopir. Sebelum masuk, ia berhenti sejenak di depan pos satpam. Pos itu masih kosong, belum ada satpam yang mengantikan. Farah teringat dengan foto yang dikirim entah siapa. Kenapa di foto itu satpam tersebut tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Farah dengan jelas melihat ada dua pisau yang menanap di leher dan dadanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Naira menepuk bahu Farah. “Liatin apa?” Farah tersentak kaget. “Nggak liatin apa-apa.” Naira tersenyum, kemudian menggandeng tangan Farah. “Ayo masuk.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN