Bab 7. Foto aneh

1166 Kata
    “Alhamdulillah…” ucap Farah. “Masakan Mama emang udah gak diragukan lagi.”     Sebelum membuka toko kue, Kaila sempat ditawari untuk menjadi koki di salah satu restoran ternama milik sahabat Alm. Papanya. Namun karena ingin punya toko sendiri, Kaila menolak tawaran itu. “Siapa dulu coba? Mama gitu lho.”     Mereka bertiga tertawa bersamaan. Kaila yang sempat hampir frustasi mengetahui anaknya masuk penjara sudah bisa melupakan kejadian itu. Ia tidak tahu bagaimana jadinya nanti kalau Farah sampai tidak keluar dari sana. Allah memang maha baik.     Farah membantu mamanya mengangkat piring ke dapur. Sarah memilih duduk di sofa, melanjutkan membaca komik favoritnya—conan.      Setelah semua piring terangkat, Farah ikut duduk di sofa, di samping Sarah. “Kamu baca apa sih? Kok Kakak sering banget liat kamu baca itu?”      “Ini komik Conan, Kak. Seru tau!”     “Kakak pinjem dong.”     Sarah berdiri, menjulurkan lidahnya, mengejek Farah. “Gak boleh.” Kemudian berlari menuju kamarnya.     Farah baru saja ingin menyalakan televisi ketika matanya melihat keranjang pakaian yang sudah terisi penuh. Karena sudah bekerja, Kaila tidak mempunyai waktu untuk melipat baju-baju mereka. Saat tangan Farah hampir menyentuh keranjang, Kaila menahan tangannya. “Kamu istirahat saja, ya. Ini biar Mama yang ngerjain.”     Farah memasang wajah tidak setuju. “Tapi, Ma-“     “Nggak apa-apa. Kamu istirahat saja sana.”     Hening.     Kaila menuntun anak gadisnya ke kamar. “Istirahat. Nanti azan Ashar Mama bangunkan.”     Farah mengangguk, menutup pintu, berjalan menuju kasur. Sebenarnya ia tidak ingin mematuhi perintah mamanya barusan. Tapi mamanya bersikeras melarang untuk mengerjakan tugas sepele itu. Farah juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang diperintahkan mamanya.      Lima belas menit merebahkan tubuh di atas kasur, matanya tak kunjung terpejam. Farah bangkit, duduk di kursi belajarnya. Ponselnya bergetar, satu pesan masuk.      Farah terkejut setelah membuka pesan itu. Ia mencampakkan ponselnya karena saking kagetnya. Satpam yang tempo hari ia lihat dengan mata kepala sendiri bersimbah darah, terlihat sehat wal afiat dengan wajah penuh senyum kemenangan di dalam foto yang dikirim kepadanya. __00__     Malam yang paling disukai Alva datang. Malam yang tenang, disertai suara hujan deras yang menenangkan. Sambil duduk di kursi belajar yang langsung menghadap ke jendela, Alva sengaja membuka jendela agar merasakan langsung dinginnya malam dan tetesan air hujan yang terbawa angin.      Tak terasa, sudah dua jam lebih Alva berkutat dengan rumus-rumus Fisika. Pukul 00.00, dan dirinya belum merasakan kantuk sama sekali. Ia menutup buku, melihat keluar jendela. Menikmati hujan seperti ini menjadi kesenangan tersendiri bagi Alva untuk melupakan ketidakadilan yang terjadi padanya saat ini. Dulu ia sempat berpikir, semakin bertambah usia dan juga bertambah besarnya ukuran tubuhnya akan membuat beban yang selama ini ia tanggung akan bertambah ringan, nyatanya tidak. Justru semuanya terasa kebih berat, bahkan menyesakkan. Semakin bertambah dewasa, semakin banyak yang harus dipertimbangkan. Jujur, jika bisa memilih, Alva tidak ingin dilahirkan jika harus hidup menjadi pusat permalasahan selama hidupnya.     Pintu kamar terbuka. Dinda masuk membawa teh madu seperti biasa, Rutinitas Dinda setiap malam.      “Kamu lagi mikirin apa?” tanya Dinda, meletakkan teh di atas meja.     “Enggak ada, Kak.” jawab Alva. “Jam segini kenapa belum tidur, Kak?”     “Kakak tahu kamu pasti belum tidur, makanya Kakak kemari bawain kamu teh.” ucapnya sambil membelai rambut adiknya. “Cepat habiskan, langsung tidur. Besok kamu sekolah.”     Alva membalas senyuman kakaknya.     “Kakak pergi, ya.” pamit Alva.     Alva meneguk teh buatan kakaknya. Terasa menghangatkan. Apa yang dikatakan kakaknya benar, ia harus cepat tidur. Bukan untuk persiapan sekolah besok, tapi untuk melupakan sejenak masalah dalam hidupnya. __00__     “Farah kenapa belum masuk juga ya? Padahal gue udah gak sabar banget pengen temenan sama dia,” ujar Naira sembari mengaduk es jeruk dengan sedotan merah.     “Sama, gue juga nungguin,” timpal Dave.     Farah sudah dua hari tidak masuk sekolah dan tidak ada kabar. Naira sendiri memang sudah tertarik dengan Farah sejak pertama kali bertemu di angkot. Melihat gadis cantik nan anggun menggunakan hijab merah maroon dipadukan dengan gamis hitam membuat Naira ingin menjadi temannya.     “What? Are you crazy? How about your girlfriend?” seru Deva heboh. Seruan itu bukan tanpa alasan. Dave yang terkenal playboy itu punya banyak pacar di mana-mana. Lalu apa lagi ini? Apa iya dia ingin menjadikan Farah sebagai next targetnya?     “Apaan sih? Heboh banget lo!” ketus Dave.     “Mungkin dia lagi menenangkan diri di rumah. Gue yakin, Farah pasti sedikit terguncang harus masuk penjara menjadi kambing hitam pelaku kejahatan,” Raka mengeluarkan dompet, memberikan pecahan uang seratus ribu kepada Dave. “Ini. Hari ini gue yang traktir.”     “Tau tadi gue nambah,” ucap Naira menyesal.      Alva tersenyum kecil. Naira yang bertubuh kecil itu mempunyai porsi makan yang di luar nalar.     Dave kembali ke meja setelah membayar.     “Menurut lo kira-kira kapan Farah masuk sekolah, Ka?”     “Mungkin besok.”     Bel berbunyi. Waktu istirahat berakhir. Mereka berlima berdiri menuju kelas. Jam pelajaran Bu Ratna, guru yang paling menyeramkan akan segera dimulai.     Sampai di kelas mereka disambut dengan suara riuh yang berasal dari murid-murid yang berada di dalam kelas. Pernah mendengar istilah kebakaran jenggot? Seperti itulah mereka sekarang.      Dave memanggil ketua kelas--Frendi. “Ada apa, Fren?”     “Farah, gadis pembunuh itu memiliki skor iq melebihi Alva?” ujarnya tidak percaya.     “Maksud-“     Bugh!     Sebelum Dave menyelesaikan omongannya, Alva lebih dahulu melayangkan pukulan ke rahang Frendi. Mendengarnya menyebut Farah gadis pembunuh membuat Alva merasa kesal. Naira, Dave, dan Deva keheranan melihat apa yang dilakukan Alva. Raka yang paling tidak menyangka kenapa Alva bisa bertindak seperti itu.     “Alva? Lo kenapa?” tanya Naira tidak mengerti.      Alva diam, berjalan menuju mejanya.     Dave membantu Frendi berdiri. “Lo gak kenapa-napa, kan?”      Frendi menyeka bibirnya, menggelengkan kepala.     “Tadi lo bilang apa? Farah memiliki skor iq melebihi Alva?” tanya Raka memperjelas.     “Lo tau dari mana?” Naira ikut bertanya. Ini berita yang sangat mengagetkan. Bahkan bisa dibilang menggemparkan. Iq Alva saja sudah mencapai 145, lalu berapa skor iq Farah?     Frendi baru saja ingin memberitahu ketika Bu Ratna masuk. Ternyata Bu Ratna tidak sendiri, Farah mengekor di belakangnya. Semua murid yang awalnya tidak beraturan, sontak terdiam, menganga melihat siapa yang berjalan di belakang Bu Ratna.     “Selamat siang anak-anak.”     “Siang, Bu.”     Untuk lima detik pertama, semua murid nge-lag, mereka diam mematung, masih menatap sosok Farah. Lima detik berikutnya mereka baru sadar bahwa yang memasuki kelas mereka saat ini adalah Bu Ratna. Mereka semua sibuk kembali ke tempat duduk masing-masing.     “Ibu yakin kalian sudah mendengar siapa dia,” kata Bu Ratna menunjuk gadis di sebelahnya. “Silahkan perkenalkan diri kamu.”     Farah memandangi 36 wajah murid yang memandanginya dengan tatapan heran. Ia merasa tidak nyaman ditatap seperti itu. Hanya ada satu murid yang tidak menatapnya—Alva. Laki-laki itu melihat ke lantai, memegangi punggung tangannya sebelah kanan.     “Hei!” bentak Bu Ratna mengagetkan Farah. “Perkenalkan diri kamu.”     “Ba… baik, Bu.” Farah berdehem lagi. “Nama saya Farah Elzira Pranadipa. Asal saya dari Medan. Saya harap kita bisa berteman baik ke depannya.”        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN