Bab 39. H-2 Bagian 1

1053 Kata
Hari minggu, Alva bangun sedikit terlambat pagi ini. Sengaja. Semalaman dia tidak bisa tidur tadi malam karena tidak bisa tidur. Harus Alva akui, Farah adalah satu-satunya perempuan selama tujuh belas tahun dia hidup, baru Farah-lah yang berhasil membuat Alva bertingkah demikian. Kesempatan untuk berbicara dengan Farah yang hilang akibat ulah dua utusan bodoh Pak Handoko membuat Alva merasa gemas. Andai saja kemarin malam dia langsung memukul kepala mereka berdua, pasti rasa kesalnya tidak sampai sebesar ini hingga membuatnya tidak bisa tidur. Alva naik ke atap, membuka baju kaosnya, memukuli samsak yang tergantung di sana. Selain berolahraga di pagi hari, samsak itu juga menemani Alva di malam hari kala tidak bisa tidur. Setengah jam, Dinda ikut naik ke atas, membawa segelas kopi di tangan. Alva menebak, kakaknya itu pasti tidak bisa tidur sama seperti dirinya. “Alva?” Dinda terkejut melihat Alva juga berada di atas. “Kamu gak bisa tidur juga?” Alva mengelap keringatnya di dahi, mengangguk. “Ada masalah?” Dinda hafal betul tabiat adiknya. Samsak itu kalau bisa bicara pasti dia akn mengeluh kesakitan karena selalu menjadi pelampiasan emosi dan juga dipukuli saat Alva tidak bisa tidur. “Kakak sendiri, kenapa belum tidur jam segini?” Dinda menatap langit, menarik napas, tersenyum. “Kakak kepikiran Papa, Al.” Kata ‘papa’ barusan membuat darah Alva seketika mendidih. Dipukulnya samsak kuat sekali. “Sudah tiga hari gak pulang, Kakak takut ada apa-apa sama Papa.” “Kak …” “Iya, kakak paham. Kakak gak bakal bahas Papa lagi.” Syukurlah kakaknya itu paham. Sejak kecil disiksa habis-habisan, membuat Alva kehilangan respek pada papanya. Nugraha, sosok laki-laki yang menyalahkan Alva atas meninggalnya mamanya, itu sangat-sangat tidak adil. Ah, sudahlah, Alva benar-benar tidak mau membahas itu. “Bagaimana sekolahmu? Ujian udah deket, kan?” “Iya, Kak. Hari rabu dimulai.” “Kenapa hari rabu? Bukannya biasanya hari senin?” “Para guru rapat, Kak. Jadi ujian dimundurkan dua hari dari jadwal seharusnya.” Dinda ber-oh pendek, kemudian menyesap kopinya. Alva menyudahi sesi tinju samsaknya. Dia mengambil handuk kecil yang dia gantung di palang besi, mengelap keringat di wajah dan lehernya. “Kamu sibuk hari ini, Al?” Alva menggeleng. Tidak ada kegiatan sibuk kecuali berkutat dengan buku untuk mempersiapkan diri menghadapai ujian. “Temenin kakak ke rumah sakit, ya?” Alva mengangguk. Seharusnya jadwal pemeriksaan kakaknya yang terakhir adalah di hari jumat, karena dokternya tidak bisa, ada kesibukan lain, diundur jadi hari Minggu. Dokter itu sangat bertanggung jawab, dia rela menukarkan jadwal liburnya demi menebus jadwal kakaknya yang tergantikan. “Jam berapa, Kak?” “Jam sepuluh.” Alva berdiri, turun menuju kamarnya. Dia hendak mandi, membersihkan diri. *** Usai mandi, Alva akhirnya bisa tidur malam. Itu pun pukul tiga pagi. Dia baru bangun pukul delapan pagi. Itu pun karena Dinda mengetuk pintu kamar, menyuruh Alva turun untuk sarapan. Alva berjalan ke kamar mandi terlebih dahulu, mencuci wajah dan menyikat gigi, kemudian baru turun ke bawah. Dinda sudah mandi, terlihat segar dan berpakaian rapi. Usai sarapan, Alva langsung mandi karena sebentar lagi dia akan menemani kakanya pergi ka rumah sakit. Tiba di sana, Alva menunggu kakaknya konsultasi di kursi tunggu. Dia menyalakan ponselnya, membaca materi yang sudah disiapkannya sebelum berangkat ke rumah sakit. Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan kakaknya dalam konsultasi terakhir itu. Ketimbang tidak melakukan apa-apa, Alva berinisiatif menyiapkan materi di ponselnya agar bisa dipelajari di rumah sakit. Tiba-tiba, wanita yang tempo hari hendak bunuh diri, lewat di depan Alva. Melihat laki-laki itu membuat perempuan tersebut menyapa Alva. “Hei,” sapanya. Dia mengambil tempat di samping Alva. “Hai,” balas Alva. Matanya masih terfokus dengan layar ponsel. “Lo baca apa?” tanya perempuan itu. “Materi ujian,” Alva menjawab singkat. “Oh.” “Makasih, ya.” “Buat?” “Karena lo udah selamatin hidup gue.” “Lo harusnya berterima kasih sama diri lo sendiri. Lo harus apresiasi karena lo udah bisa bertahan sampai sejauh ini.” Perempuan itu tertawa. “Buat itu juga makasih.” Mereka berdua terkekeh bersamaan. “Oh iya, tunggu di sini sebentar, ya. Gue mau kasih sesuatu buat lo.” Perempuan itu berjalan cepat, pergi meninggalkan Alva di kursi tunggu, menuju ruangannya. Alva kembali fokus dengan ponselnya. Setiap kali memperlajari rumus-rumus fisika selalu membuat Alva seperti berada di dunianya sendiri. Bahkan saking fokusnya, keramaian di rumah sakit, orang yang berlalu Lalang nyaris tidak bisa mengacaukan konsentrasinya. Satu jam, hingga tak terasa dua jam setengah sudah berlalu. Perempuan yang tadi katanya mau memberi sesuatu padanya juga tidak muncul-muncul. Kemana dia? Apa masih membungkus hadiah atau membeli sesuatu yang hendak diberikan di luar negeri? Lima menit, Dinda datang, tersenyum. “Sembuh!” soraknya bahagia, merentangkan tangan, meminta dipeluk. Alva yang paham langsung berdiri, memeluk kakaknya. “Syukurlah, Kak.” “Ayo pulang.” “Sebentar, Kak. Kakak tunggu di sini, ya.” “Kamu mau ke ma—” Suara Dinda tergantung karena Alva sudah berlari lebih dulu, meninggalkan Dinda di tempat. Alva berniat pergi langsung ke ruangan wanita itu karena takut nanti jika dia mau memberikan hadiah, Alva sudah pulang. Alva masuk ke dalam lift, menekan angka lantai yang hendak dituju. Dia masih ingat di lantai berapa dan nomor berapa perempuan itu dirawat. Sampai di depan ruangan, Alva mengetuk pintunya terlebih dahulu, membiarkan beberapa saat sebelum membuka pintu. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Alva langsung keluar, memanggil sembarang suster yang kebetulan lewat. “Sus, wanita yang di ruangan ini ke mana, ya?” tanya Alva. Suster yang ditanya menggeleng tidak tahu. “Atas nama siapa, ya, Mas?” Alva menyebutkan namanya. Suster itu menyuruh Alva untuk mengikuti suster itu. Tidak ada satu pun yang tahu ke mana perginya wanita itu. Alva mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Dia langsung meninggalkan suster. Alva berlari, masuk lift, menuju atap rumah sakit. Meski terasa tidak mungkin, bisa saja perempuan itu hendak bunuh diri lagi. Sampai di sana, Alva tidak menemukan apa-apa. Kosong melompong. Alva berlari lagi, menelusuri semua lantai dan lorong-lorong rumah sakit, berusaha mencari perempuan itu. Tanpa terasa, setengah jam lebih berlalu. Napas Alva tidak teratur, ngos-ngosan karena terus berlari. Ponsel Alva berdering. Dinda menelepon. “Kamu di mana?” tanya Dinda. Dia sudah cukup lama menunggu. “Dia hilang, Kak.” “Apa? Siapa yang hilang?” Dinda tidak mengerti dengan apa yang Alva katakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN