Bab 40. H-2 Bagian 2

1004 Kata
Alva mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya dia tidak tahu harus pergai ke mana. Dia mengikuti ke mana arah hati membawanya. Tidak ada gambaran sama sekali apalagi petunjuk. Gadis yang menyuruhnya menunggu, lama tidak muncul, lalu hilang secara tiba-tiba. Entah bagaimana itu bisa terjadi, tapi hati kecil Alva berusaha meyakinkan dirinya bahwa hilangnya perempuan itu ada kaitannya dengan hilangnya Maya dan Ratih. Alva tidak ingin itu terjadi lagi. Maya dan Ratih, keduanya ditemukan dalam keadaan tewas mengenaskan. Alva tidak mau kalau sampai hal tersebut juga terjadi pada perempuan yang tempo hari dia selamatkan berhasil membuat perempuan itu sadar bahwa bunuh diri adalah tindakan bodoh. Alva sudah menutup telepon dari kakaknya. Saat ditanya apakah kakaknya ingat atau tidak dengan wanita yang pernah dia ceritakan, Dinda ingat. Alva menjelaskan apa yang terjadi dan meminta kakaknya untuk pulang ke rumah saja duluan. Alva tidak tahu kapan pulang. Satu jam mengemudi tanpa arah, Alva akhirnya banting setir, pergi ke rumah Raka. Di jalan, Alva menyempatkan diri menghubungi Naira, menyuruhnya untuk datang ke rumah Raka. *** “Bagaimana persiapan ujianmu, Farah?” tanya Naira. Saat itu wanita yang usianya hampir genap empat puluh tahun tengah menyetrikan pakaian. Naira tengah mengajari Sarah mengerjakan PR matematika. Jangan tanya, Naira sudah menawarkan diri untuk menyetrika, tapi Kaila menolak. “Aman, Ma. InsyaAllah Farah sudah siap.” Soal itu Farah juga tidak tahu. Dia harus menjawab demikian agar mamanya tidak lanjut membahas hal lain. Soal siap atau tidak, Farah lebih yakin kalau dirinya belum siap. Jamnya membuka buku sangatlah terbatas diakibatkan berusaha memecahkan teka-teki yang dimulai sejak dirinya masuk dan resmi menjadi siswi SMA Kencana Indonesia. Kalau Farah bilang dirinya belum siap, maka mamanya akan bertanya hal yang paling dasar: kenapa tidak siap? Lalu akan terus merembet: bukannya kamu dan teman barumu itu selalu belajar bersama? Mau jawab apa Farah? Maka jalan teraman adalah bilang kalau dia sudah siap. “Baguslah. Mama akan pergi setelah selesai menyetrika, kamu jaga rumah, ya. Kamu ikut gak, Sarah?” “Ikut, Ma!” Sangat rugi bagi Sarah seandainya dia tidak ikut. Mamanya itu berniat pergi ke tempat kesukaan Sarah. “Lekas siapkan biar kita cepat pergi." "Oke, Ma." *** Bu Ratna terus mondar-mandir di kamarnya. Kepalanya dipenuhi pikiran-pikiran yang semakin hari semakin runyam saja terasa. Sudah dua hari sejak anaknya dikabarkan tertanggap oleh kepolisian Sydney, hingga saat ini dia belum juga mendapatkan kabar apakah anaknya sudah dibebaskan atau belum. Bu Ratna sudah mendatangi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan anaknya. Orang itu juga tidak menjamin kalau dia pasti bisa menyelamatkan anak kembarnya, tapi berkaca dari pengalaman, orang yang Bu Ratna percaya untuk membantunya itu belum pernah sekali pun gagal dalam misinya. Hanya itu harapan Bu Ratna satu-satunya. Kalau sampai anaknya tidak bebas, maka selesailah semua. Semua berakhir sia-sia. Upaya yang Bu Ratna lakukan akan berakhir tanpa harga. Seseorang mengetuk pintu rumah Bu Ratna. Bu Ratna keluar dari kamar. Pelan sekali dia menutup pintu kemudian berjalan jinjit agar tidak menimbulkan suara. Masa seperti sekarang ini dia harus ekstra hati-hati. Bukan hanya reputasi yang harus dikhawatirkan sekarang, nyawanya pun terpaksa ikut ambil tempat, menjadi bagian yang harus Bu Ratna jaga. Bu Ratna mengintip dari lubang kecil di pintu. Dia menghela napas lega begitu melihat siapa yang datang. Bu Ratna pun membukakan pintu. “Ada apa, Dave? Ada perlu apa?” Itu hanya sapaan biasa, tapi kalau kalimat itu keluar dari mulut Bu Ratna, terasa ketus sekali. “Boleh saya masuk, Bu?” Bu Ratna mengangguk, mengajak Dave masuk. Bu Ratna menyuruh Dave untuk duduk di sofa, menunggunya kembali dari dapur, mengambil minuman. Dave baru kali pertama datang ke rumah Bu Ratna. Tidak ada satu pun orang di sekolah baik murid atau murid sekali pun, tidak ada yang tahu. Lalu bagaimana Dave bisa tahu? Tadi malam dia meminta Naira untuk melacak di mana rumah Bu Ratna. Urusan seperti itu sangat mudah di tangan Naira. Tadi pagi Naira mengirimkan kode koordinat alamat rumah Bu Ratna. Dan sekarang Dave sudah sampai di lokasi. Di dapur, Bu Ratna mencoba berpikir keras. Merasa aman meski yang datang hanya Dave adalah sebuah tindakan yang salah. Bu Ratna tentu tahu siapa Dave—anggota klub ghost genius. SMA Kencana Indonesia, siapa yang tidak tahu mereka. Sosok murid genius yang tidak bisa dianggap remeh. Yang mengganjal, dari mana Dave bisa tahu alamat rumah Bu Ratna? Itu yang dari tadi Bu Ratna pikirkan. Bu Ratna selesai membuat minuman. Dia keluar dari dapur, membawa minuman itu ke ruang tamu. “Silakan diminum, Dave,” ujar Bu Ratna, meletakkan gelas berisi jus jeruk di meja. Tanpa basa-basi, Dave langsung saja mengeluarkan foto dari sakunya. Di dalam foto itu ada Bu Ratna dan dua murid kembar, Andi dan Andri. Meski Bu Ratna berusaha terlihat biasa saja begitu melihat foto tersebut, Dave akan berusaha membuat Bu Ratna minimal bertingkah aneh saja. Itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi— “Kenapa dengan foto ini, Dave?” Dave berdeham. “Ibu kenal mereka berdua?” “Tentu saja kenal. Mereka murid SMA Kencana Indonesia. Ibu hafal mati seluruh murid yang bersekolah di sana.” Baiklah, itu benar. Bu Ratna adalah satu-satunya guru yang menghafal semua murid SMA Kencana Indonesia yang berjumlah hampir seribu orang. Fantastis, bukan? Itu menjadi kelebihan Bu Ratna selain menyandang gelar guru terbaik di SMA tempatnya mengajar. “Ada hubungan apa Ibu dan mereka?” “Maksud kamu?” Sejauh ini Bu Ratna terlihat bisa mengendalikan diri. Dave mencoba bersabar sedikit lagi sebelum membuat benteng akting Bu Ratna hancur. “Tidak ada, Bu. Hanya saja Ibu dan mereka berdua terlihat begitu akrab.” “Benarkah? Apa kamu pernah mendengar saya dekat dengan murid? Yang ada murid-murid berusaha menghindari saya.” “Benarkah?” Dave meniru gaya bicara Bu Ratna. Baiklah, sekarang sudah tiba waktunya. Dave mengeluarkan ponselnya, mengetuk layar, menggeser, berhenti, mengarahkan ke Bu Ratna. Bola mata Bu Ratna spontan membesar. Dia berusaha susah payah menelan salivanya. Gawat! Dari mana Dave bisa mendapatkan foto ini? Bu Ratna sendiri bahkan lupa kapan terkahir kali dia melihat foto itu. Dave ingin bersorak rasanya, tapi dia tahan. “Bagaimana, Bu? Siapa mereka?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN