Bab 38. H-3

1046 Kata
Begitu bel sekolah tanda pulang berdering, Raka cepat-cepat pergi ke parkiran, mengambil mobilnya. Delapan jam di kelas sudah seperti satu abad. Hari ini terasa panjang dan lama sekali waktu berlalu. Ini kali pertamanya, dia benar-benar ingin segera tahu apa yang sedang terjadi pada lima sahabatnya. Urusan izin mereka di sekolah sudah aman tadi pagi. Raka mendatangi Bu Indah, mencari alasan yang paling masuk akal untuk meminta izin atas mereka berlima. Raka mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebelum keluar dari parkiran sekolah tadi, Raka mengabari Naira terlebih dahulu bahwa dia sebentar lagi akan tiba di apartemen Naira. Raka memarkirkan mobilnya di halaman apartemen. Dia buru-buru masuk ke dalam, naik lift. Lantai lima belas. Raka memencet bel. Naira membuka pintu. “Selamat datang, Raka!” Naira menyapa. Entah apa yang membuatnya bisa bertingkah seperti itu. Raka ingin muntah rasanya mendengar sapaan yang sengaja dicentilkan Naira. “Jijik gue dengernya, Nai.” Naira memegang perutnya, terkekeh. Raka dan Naira berjalan ke ruang tengah, bergabung dengan yang lainnya. Di lantai keramik kilat apartemen Naira, dua laki-laki berbadan tegap, memakai pakaian serba hitam, sudah tanpa topeng, duduk di atas lutut. Wajahnya sedikit babak belur dengan bekas luka dan sedikit darah kering di sudut bibirnya. “Kenapa mereka berdua?” tanya Raka. Dave, Deva, Farah, dan Alva, mereka berempat duduk di sofa sambil menyantap keripik kentang. “Masalah kecil,” jawab Naira setelah kembali dari dapur, membawa sebotol minuman soda bening, memberikannya pada Alva. “Masalah kecil?” beo Raka tidak mengerti. Di mana letak masalah kecil itu? Dua laki-laki itu bisa jadi ancaman kalau tidak ada Alva dan Dave yang jago beladiri, maka masalah kecil itu bisa berujung nyawa. “Mereka utusan Pak Handoko, Ka. Pak Handoko tau kalau kita punya plat nomor mobilnya,” terang Alva. Dia berdiri, berjalan mendekati dua laki-laki itu. “Katakan, di mana Pak Handoko,” ujar Alva tenang, berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Salah satunya meludah. “Kalian hanya anak ingusan yang beruntung, bodoh!” Deva ikut berdiri, berdecih. “Tapi kami bocah ingusan yang berhasil mengalahkan kalian berdua.” Tadi malam, Alva nyaris tertawa kalau saja situasinya lebih baik. Tapi Deva sudah terkekeh. Lebel bodoh cocok untuk diberikan pada Pak Handoko. Dua anak buah yang dikirimkan hanya menang body saja, tapi tidak ada apa-apanya. Dipukul sekali langsung tumbang. Untuk orang yang mendapatkan olimpiade emas dalam ajang bela diri pencak silat, sungguh dua utusan Pak Handoko untuk pemanasan saja tidak cukup. Dalam hitungan menit, keduanya berhasil Dave dan Alva taklukkan. Ah iya, mereka berlima tiba bersamaan ke rumah Bi Hanum. Strategi dua utusan Pak Hondoko juga bisa dibilang sangat miris. Ah, menceritakannya membuat Naira merasa mual. Naira dan Farah langsung melepaskan ikatan di tangan dan kaki Bi Hanum. Juga lakban yang lengket di mulut. Naira menelepon mamanya, meminta untuk mendatangkan ambulance, membawa Bi Hanum ke rumah sakit. Urusan mayat Ratih, Alva menelepon Agung. “Jadi Papa tahu?” Raka nyaris ingin mengumpat kalau itu papanya. Bisa-bisanya papanya yang tinggal satu atap itu tidak mengabarkan hal sepenting ini padanya. Farah dan Naira saling tatap, ragu, kemudian mengangguk bersamaan. Deva menghampiri Raka, mengelus pundaknya. “Lo jangan marah sama Om Agung, niatnya baik kok. Dia gak mau pelajaran lo keganggu.” “Deva benar, Ka. Kita cukup fokus menghadapi ujian. Itu aja. Nanti setelah ujian, papa lo pasti ngebolehin kita buat ikutan pecahin kasus ini.” Menilik apa yang Naira katakan, itu mungkin ada benarnya. Kasus ini mulai dipecahkan oleh mereka semua dan itu artinya harus juga mereka ikut andil menyelesaikannya. Baiklah, keinginan papanya akan Raka dan sahabat-sahabatnya kabulkan. Hanya dua minggu, ujian mereka akan segera selesai nanti. “Lalu bagaimana dengan mereka berdua? Kita apa kan?” tanya Raka lagi. “Papa lo bilang tahan dulu mereka, jangan sampai kabur. Setelah urusan mayat Ratih selesai, mereka berdua akan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi.” “Kenapa gak kita aja sekalian yang interogasi?” ujar Farah, bertanya. “Gak bisa, Farah. Mereka tidak akan buka mulut. Sudahlah, lagi pula mereka berdua hanya orang bodoh.” Deva melambaikan tangan, duduk kembali di sofa, melanjutkan kegiatan memakan keripik kentang. *** Pukul lima sore, Agung datang ke apartemen Naira bersama dua rekan polisinya. Mereka datang untuk membawa dua utusan Pak Handoko ke kantor polisi guna dimintai keterangan soal kenapa dan untuk apa mereka sebenarnya datang dengan membawa tubuh Ratih. Raka sempat bertanya pada papanya, benar atau tidak kalau mayat yang kepalanya nyaris hancur dan tubuh dipenuhi luka itu adalah Ratih. Ternyata benar. Sungguh mereka-mereka yang sekarang membuat teka-teki kian merumit, membunuh orang-orang yang sama sekali tidak terduga, entah apa isi kepala mereka. Kenapa mereka semua tega melakukan hal itu. Untuk apa coba? Naira baru saja selesai menerima telepon dari mamanya. Mamanya bilang kalau kondisi Bi Hanum baik-baik saja. Hanya luka memar saja. Bi Hanum akan dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu sekaligus bekerja sama dengan psikolog untuk membantu menghilangkan stress Bi Hanum. “Hasil autopsi akan keluar esok atau lusa. Kita akan segera tahu apa penyebab kematian Ratih. Ingat,” Agung mewanti. “Kalian semua fokus untuk menghadapi ujian. Ini saya lihat kalian terakhir bersama kecuali kalau belajar kelompok. Paham?” Mereka semua mengangguk. “Farah, segera pulang ke rumah. Mama kamu sudah khawatir.” “Baik, Om.” “Aku pulang sendiri aja, Al. Kalau kamu memang butuh teman bicara, jangan sekarang, ya. Aku minta maaf.” Alva hanya bisa diam, mulutnya bungkam. Ingin rasanya sekarang kedua tangan Alva meninju dua laki-laki yang membuat dia gagal bicara dengan Farah tadi malam. Tapi apa boleh buat. Semua sudah terlanjur terjadi. Dia harus menunggu waktu yang tepat untuk mengajak Farah bicara. Semua sudah pulang. Alva naik mobil sendiri menuju rumahnya. Raka, Deva, dan Dave naik mobil Raka. Mobil Dave sengaja ditinggal di parkiran apartemen. Naira masuk ke dalam, dia hendak membersihkan ruang tengah. Baiklah, setidaknya dia punya waktu kurang lebih tiga hari untuk mempersipkan diri sebelum ujian. Semoga saja semua berjalan lancar. Nilai-nilai mereka semua tidak turun. Bisa heboh SMA Bina Indonesia kalau sampai peringkat lima besar terguncang. Kehadiran Farah, itu pasti mengguncang, lihat saja nanti. Setelah semuanya beres, Naira pun pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri sebelum berkutat dengan buku-buku berjam-jam ke depan. Bisa dibilang itu adalah ritual wajib Naira. Setiap kali mau belajar, pasti harus mandi dulu supaya segar dan gairah belajarnya awet.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN