Bab 37. Ratih ditemukan

1553 Kata
Bu Ratna menepuk pelan jadatnya, frustasi. Kabar apa yang barusah dia dengar? Dua anaknya berhasil ditangkap? Tidak, itu tidak boleh terjadi. Bagaimana reputasinya nanti sebagai guru teladan di SMA Bina Indonesia? Andai saja posisi Bu Ratna tidak seperti sekarang ini, memikirkan reputasi adalah hal yang sangat terlalu untuk dipikirkan pertama kali. Tapi, hanya itu benteng pertahanan yang Bu Ratna miliki guna melindungi dua anak kembarnya. Lantas, jika mereka berdua berhasil ditangkap, bagaimana dengan semua yang sudah dia lakukan? Bukan hanya reputasi yang dibahas sekarang, nyawa pun akan ikun andil sebentar lagi. Cepat-cepat Bu Ratna menyalakan ponselnya, mencari nama yang hanya menjadi satu-satunya yang bisa menyelamatkan Bu Ratna dan terlebih reputasi serta kedua anaknya. “Halo, Pak?” Bu Ratna mengangguk. “Baik, Pak. Saya akan segera ke sana.” *** “Kalian tidak usah khawatir. Saya sarankan kalian harus istirahat mulai sekarang dan coba fokus pada ujian kenaikan kelas saja. Hanya tinggal hitungan hari saja, bukan? Biar urusan ini saya dan rekan-rekan yang menyelesaikan.” “Tapi, Pa—” Agung menggeleng, tersenyum. “Papa paham, Raka. Tapi untuk kegiatan seperti ini yang sampai harus melibatkan bantuan polisi luar negeri sudah bukan seharusnya menjadi urusan kalian lagi. Papa paham maksudmu dan teman-temanmu baik. Tapi, prioritas kalian bukan itu. Prioritas kalian adalah belajar dan sekarang sudah mendekati ujian kenaikan kelas.” Deva memegang bahu Raka. “What does your father said is right, Ka. Kita harus mempersiapkan diri untuk ujian.” Raka akhirnya memilih mengalah. Percuma saja mengutarakan maksudnya. Papanya pasti tidak akan membiarkan Pendidikan mereka semua terganggu. Dave, Deva, Naira memutuskan untuk pulang. Mereka berenam berjalan ke halaman depan. “Farah biar gue yang anter.” Farah yang hendak menolak langsung menutup mulutnya seketika saat Naira meletakkan jari telunjuknya di bibir, sebagai kode pada Farah agar jangan menolak. Dave masuk mobil duluan, kemudian disusul Deva dan Naira. “Hati-hati,” ujar Farah sembari melambaikan tangan. Deva yang mengemudi membunyikan klakson.” *** Atmosfer kecanggungan mengungkung mereka berdua di dalam mobil. Alva memfokuskan pandangannya ke depan, menatap jalan. Sedangkan Farah menoleh ke sebelah kanan, menatap pemandangan jalanan di malam hari. Terus terang, di pikirannya sekarang sedang mencari tahu kenapa Alva mengatakan bahwa dia yang akan mengantarkan Farah pulang. Padahal Farah ingin pulang bersama Naira. “Al.” Tidak tahan, Farah memberanikan diri untuk berkata terlebih dahulu. “Kamu kenapa ….” “Gue butuh teman bicara, Farah.” Bola mata Farah sedikit mengembang begitu melihat Alva yang seharusnya belok kanan di perempatan justru malah terus berjalan lurus. “Belok kanan, Al.” “Sebentar aja, Farah.” Farah terdiam. Entah apa tujuan Alva membawanya, Farah tidak tahu. Tapi yang pasti, Farah setidaknya tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu. Alva adalah orang baik, Farah yakin itu. Yang perlu Farah lakukan hanya diam, menunggu ke mana Alva akan membawanya. Tidak banyak yang Farah lakukan sepanjang jalan. Hanya menatap keluar jendela sambil sesekali mencuri pandang, melirik Alva yang mengemudikan mobil dengan satu tangan, satu tangan lagi memijat pelipisnya. Bisa dibilang kelihatannya Alva tengah banyak pikiran. Terhitung sudah satu jam mereka berkendara. Dan selama itu pula mereka tidak bercakap-cakap. Tiba-tiba ponsel Alva berdering. Panggilan masuk dari Naira. “Ratih ditemukan, Al. Lo ke rumah Bi Hanum sekarang juga!” Usai menutup telepon, Alva langsung banter setir. Beruntung tidak ada mobil lain di belakang. Farah yang kaget bertanya, ada apa? “Ratih udah ketemu, Farah. Kita harus ke sana sekarang.” *** Tidak ada yang terjadi, semua berjalan mulus ketika Naira, Deva, dan Dave sedang dalam perjalanan pulang. Dave yang termenung di kursi belakang, memikirkan Maya yang terus menghantui pikirannya. Terus terang saja, dengan belum ditemukannya siapa yang tega membunuh Maya membuat Dave nyaris kehilangan semangat hidup. Kalau bukan berkat bantuan sahabat-sahabatnya, entahlah bagaimana nasib Dave. Mungkin adalah hal klise mogok makan, tidak b*******h, dan sejenis tindakan lainnya di kala patah hati dan kesedihan melanda. Tapi, bagi Dave, Maya adalah salah satu prioritas hidupnya. Hidup sebagai yatim piatu, meski bergelimang harta sekali pun, tidak dijamin kebahagian akan terus menyertai. Seperti Dave contohnya. Orangtuanya kaya raya, bahkan tujuh keturunan pun tidak habis. Semua dikelola oleh orang-orang kepercayaan kedua orangtuanya sebelum nanti akhirnya akan diserahkan kepada Dave ketika dia dianggap sudah layak dan mumpuni untuk mengambil alih semua itu. Sekarang, Dave hanya tinggal bersama pembantunya. Orangtua Dave meninggal akibat kecelakaan pesawat. Saat itu pesawat yang membawa orangtuanya terjatuh di laut. Dave masih terlalu dini untuk melewati semua itu, usianya masih lima tahun. Tapi, tidak ada yang bisa melawan kehendak-Nya. Yang selalu ditanamkan pembantu Dave hanya: cara terbaik yang harus Dave lakukan, hanya berdamai dengan kenyataan. Ya, itu harus Dave akui worth it. Tapi kalau terjadi dua kali? Itu yang membuat Dave ingin menggila rasanya. Naira menatap ke luar jendela, menikmati udara malam melalui celah kaca yang sengaja diturunkannya sedikit. Pikirannya terpecah menjadi dua. Pertama, memikirkan bagaimana kelanjutan teka-teki yang saat ini sedang mereka upayakan untuk memecahkannya. Yang kedua, mengenai keluarganya. Sudah berlalu beberapa hari memang, tapi, omongan nenek dan bibinya belum juga sirna dari kepalanya. Apa sehina itukah papanya? Naira nyaris tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan keluarganya sendiri. Kasta dan status masih menjadi bahan perbandingan di era sekarang? Sekeras apa pun Naira mencoba untuk merasionalkan itu, tetap saja kepalanya tidak bisa menerima. Cinta adalah perkara yang sakral dan suci. Mama-papanya juga bukan sembarang orang. Mereka berdua orang yang berpendidikan, punya wawasan luas. Juga keduanya memiliki pribadi yang baik. Lantas, apalagi yang membuat nenek dan bibinya mencoba menghalangi mereka berdua untuk bersatu. Meski begitu, Naira tetap pada pendiriannya. Apa pun yang harus dilaluinya, Naira akan menyatukan kembali keluarganya. Itu adalah keinginan terbesarnya. Sedangkan Deva, dia terkekeh sendiri kala memikirkan apa reaksi mamanya saat tahu kalau anak semata wayangnya yang manja ini sedang berusaha memecahkan misteri yang besar. Teka-teki yang memusingkan hingga harus melibatkan bantuan polisi luar negeri. Semua yang mereka pikirkan langsung buyar seketika kala ponsel Naira berdering. Bi Hanum meneleponnya. Mata Naira membulat dan cepat-cepat menyuruh Deva untuk mengemudikan mobil, menambah kecepatan menuju rumah Bi Hanum. Bi Hanum menelepon, memberi kabar bahwa Ratih sudah ditemukan dalam kondisi sudah tidak lagi bernyawa. Di perjalanan, Naira menghubungi Alva untuk segera menuju ke lokasi serupa. Sampai di sana, mereka bertiga cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Warung dan rumah, keduanya terpisah. Warung berada sedikit menjorok ke samping. Naira mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Tanpa ba-bi-bu, Dave mendobrak pintu. Tidak ada cahaya sedikit pun. Ruangan itu gelap. Gesit, Deva mengeluarkan ponselnya, menyalakan flash, berjalan beberapa langkah mencari saklar. Ketemu! Saat dinyalakan, kompak mereka bertiga menelan ludah. Dua laki-laki bertopeng, berpakaian serba gelap, tengah menyandera Bi Hanum. Wanita yang usianya nyaris separuh abad itu tengah duduk melipat lutus, dengan mulut dilapisi lakban hitam, dua tangan terikat, wajah kotor oleh keringat dan debu. “Halo, anak manis!” sapa salah seorang bertopeng, berbadan tegap, tinggi besar. *** Setelah semua sahabatnya pulang, Raka langsung masuk ke dalam kamarnya. Ya, terus terang dia tidak suka dengan apa yang Agung katakan. Raka tahu apa yang papanya katakana tidak lain tidak bukan adalah untuk dirinya dan juga sahabat-sahabatnya. Apa boleh buat? Patuh terhadap apa yang orangtua katakan adalah hal yang penting bagi seorang anak. Selagi itu baik, kenapa tidak? Pagi harinya, Raka bangun saat azan Subuh berkumandang merdu. Setelah menunaikan sholat subuh, Raka melakukan olahraga tipis-tipis untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Saat alarm pukul setengah enam pagi berdering, Raka menyudahi olahraganya. Waktunya mandi. Usai berpakaian lengkap, Raka turun ke bawah, bergabung dengan mama-papanya, sarapan. Raka menuruni tangga. Kaila menyapa, “Pagi, Raka!” “Pagi, Tante.” Setelah tahu kalau Kaila adalah mama Farah, Raka mengubah panggilan yang semula bibi menjadi tante. Tidak protes, Kaila hanya tersenyum dengan sapaan baru itu. Sarapan berjalan lancar. Kaila ikut sarapan bersama. Meja makan diisi percakapan ringan seputar sekolah dan pekerjaan mereka. Tidak sedikit pun ada yang menyinggung soal teka-teki yang tengah berlangsung hingga Kaila bertanya pada Raka. “Kalian belajar kelompok di rumah siapa? Naira?” Raka yang saat itu hendak memasukkan sendok berisi nasi goreng ke dalam mulutnya terhenti. Maksud, Tante? “Farah belum pulang dari tadi malam. Tante pikir dia menginap di rumah Naira. Tante juga sudah hubungi Farah, tapi tidak diangkat. Raka dan Agung langsung bertukar pandang. Bagaimana bisa Farah tidak pulang? Raka bangkit, berjalan cepat menuju kamarnya. Dia langsung menyalakan ponsel, menghubungi Alva karena Alva-lah yang menawarkan diri untuk mengantarkan Farah pulang tadi malam. Tidak ada jawaban. Raka langsung menghubungi Naira, diangkat. Raka menghela napas lega setelah mendengar bahwa mereka tidak apa-apa. Hanya sedikit ‘masalah kecil’ yang beruntung bisa mereka atasi. Naira menyuruh Raka untuk bilang bahwa mereka benar mengerjakan tugas kelompok di apartemen Naira. Syukurlah. Naira juga melarang Raka untuk memberitahukan pada papanya apa yang terjadi pada mereka. Raka mengangguk. Setidaknya itu adalah tindakan yang paling bijak untuk dilakukan. Papanya sudah melarang mereka untuk berurusan dengan kasus ini. Lebih baik mereka bergerak secara diam-diam daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Sampai di sekolah, Raka langsung mengurus izin mereka berlima. Di rumah, Kaila sudah tenang setelah diberi kabar bahwa anaknya baik-baik saja. Ponsel Farah low bat, jadi tidak bisa memberi kabar. Sepanjang hari, Raka menunggu dengan gemas, menanti jam pelajaran selesai. Dia ingin segera datang ke aparteman Naira guna mengetahui lebih jelas apa yang terjadi. Meski Naira menyebutnya masalah kecil, tetap saja itu nyaris menghilangkan nyawa mereka semua. Terkadang Raka tidak bisa mengerti bagaimana Naira itu. Cantik, anggung dan mandir. Terkadang juga ada sisi gilanya. Raka terkekeh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN