Setelah selesai menutup warung, Hanum berniat ingin pergi ke pasar untuk berbelanja barang-barang yang kurang untuk keperluan berdagangnya besok hari. Jujur hari ini dia lebih capek dari biasanya. Karyawannya--Bi Narti tidak bisa datang karena anaknya melahirkan. Jadinya, Hanum harus sendirian menangani pelanggan. Ditambah lagi hari ini super super rame sekali. Hanum sendiri sampai kewalahan.
Belum lagi ia harus bekerja dengan beban pikiran yang berat. Sudah 10 hari, dan Ratih belum juga ditemukan. Ingin gila rasanya. Hanum tetap harus berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak ada jalan lain selain membuka warung, dengan isi kepala penuh pikiran.
Bahkan tidur Hanum saja sangat-sangat berkurang. Sering kali ia terbangun tengah malam, lalu sisanya diisi dengan begadang memikirkan bagaimana nasib anaknya.
Sampai di pasar, Hanum langsung membeli apa-apa saja yang kurang di warungnya.
"Ini berapa, Mbah?" Hanum memegang sendok besar untuk mengambil kuah.
"15 RB aja, Mbak," jawab sang nenek dengan suara bergetar. Hanum menaksir nenek itu sudah berumur 80-an tahun.
Karena Hanum juga butuh karena sendok besarnya tadi patah karena sudah lama juga, Hanum langsung membayar. Dia menyerahkan uang pecahan lima puluh ribu, memberikannya ke nenek. "Kembaliannya ambil aja, Mbah."
"Terima kasih, ya, Mbak."
"Sama-sama, Mbah." Hanum tersenyum sesaat, lalu berpamitan kepada nenek penjual itu.
Hanum tidak harus bukan untuk menampakkan kesedihannya di depan banyak orang. Cukup dirinya saja yang sekarang hampir gila rasanya dibuat khawatir. Sepuluh hari sudah. Namun Ratih tak kunjung ditemukan.
Dia sudah melaporkan bahwa anaknya hilang ke kantor polisi berkat bujukan Naira. Polisi berjanji akan menemukan anaknya apa pun caranya. Namun hingga saat ini, dia juga menerima kabar apa pun.
Tiba di rumah, Hanum langsung meletakkan barang belanjaannya ke dapur, lalu berjalan menuju kamarnya. Namun saat melewati kamar Ratih, pintu kamar anaknya itu terbuka, dan lampu menyala.
Senyum bahagia langsung terpatri di wajah Hanum. Dalam pikirannya, akhirnya anak semata wayangnya itu pulang juga setelah 10 hari menghilang. Tanpa basa-basi, Hanum langsung masuk ke dalam kamar anak gadisnya.
Begitu pintu terbuka, Hanum menjerit sekuat-kuatnya. Sosok gadis mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai Ratih 10 hari lalu, terbaring di atas tempat tidur tak sadarkan diri. Tubuh dan bajunya dipenuhi darah. Wajah wanita itu tak lagi dapat dikenali karena saking hancurnya.
Hanum mematung kaku. Dia tidak bergerak sama sekali. Rasanya jantungnya sudah keluar dari tubuh.
Seseorang menepuk bahu Hanum. Wanita itu berbalik. Benda keras langsung menghantam kepalanya. Detik itu juga Hanum tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Darah segar mengalir dari kepalanya, mengotori lantai.
__00__
Bu Ratna memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Setelah dipersilakan masuk oleh satpam, ia segera mendatangi rumah tempat tujuan terakhirnya saat ini. Beberapa kali memencet bel, belum juga ada yang membukakan pintu. Hingga pencetan ke sepuluh, pintu terbuka. Sosok perempuan paruh baya menampakkan dirinya.
"Bapak ada?" tanya Bu Ratna langsung pada perempuan itu.
"Oh, ada. Di dalam." Perempuan itu membukakan pintu. "Silakan masuk."
__00__
Turun dari angkot, Farah tidak langsung masuk ke dalam rumah Raka. Tanpa sengaja ia melihat seorang ibu membawa anaknya yang masih bayi dalam gendongan. Di tangan ibu itu, dia memegang cangkir plastik. Sembari berdiri, dia menyodorkan cangkir plastik itu kepada pejalan kaki yang lewat.
Farah mengayunkan kakinya mendekati wanita tersebut.
"Neng, sedekahnya, Neng," ucap perempuan itu dengan nada memelas meminta dikasihani.
Farah tersenyum. Dia mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu, memasukkan benda yang terbuat dari kertas tersebut ke dalam gelas plastik yang dipegang wanita itu.
"Ibu udah makan?" Farah bertanya.
"Belum, Neng."
Farah memperhatikan sekeliling, mencari apakah ada toko atau warung agar dirinya bisa membelikan sesuatu untuk ibu tersebut. Pandangan matanya jatuh ke Indomaret yang ada di seberang jalan.
"Ibu tunggu sebentar, ya. Saya ke sana dulu beli makanan," ujar Farah menunjuk ke arah Indomaret.
Setelah menunggu jalan kosong, Farah langsung menyebrang. Masuk ke dalam sana, ia memilih membeli dua bungkus sari roti, dan sebotol Aqua. Usai membayar, Farah segera kembali ke perempuan yang tadi.
"Ini buat Ibu. Dimakan, ya," Farah menyerahkan bungkusan plastik berisi makanan dan minuman yang dibelinya tadi. Senang rasanya bisa menyisihkan rezeki walaupun hanya sedikit.
"Terima kasih, ya, Neng. Semoga murah rezekinya."
Bisa berbagi seperti ini adalah another level bagi Farah. Belajar dari pengalaman hidupnya. Sewaktu papanya baru meninggal, Farah sangat-sangat berada di dasar dari kehidupannya. Untuk makan saja, mereka sampai dikirimi tetangga. Apalagi melihat ibu yang sekarang sedang bersamanya. Farah dahulu masih memiliki rumah untuk berteduh jika hujan atau pun panas. Ibu itu tidak punya.
Terlebih lagi melihat anak bayi yang sedang digendongnya, membuat Farah semakin merasa iba melihat wanita tersebut.
"Amin, Bu. Semoga Ibu dan anaknya sehat selalu, ya," ujar Farah sambil mengusap kepala anak yang digendong Ibu itu.
Saat Farah hendak berbalik, tiba-tiba saja ia melihat sosok seseorang yang dikenalnya memberikan sebuah bingkisan dari apotek berisi dua kotak besar s**u. Dibalik balutan Hoodie hitamnya, sosok tersebut mengelus kepala bayi yang digendong ibu itu, sama seperti yang dilakukan Farah tadi.
"Sehat-sehat, ya." Laki-laki itu tersenyum.
"Makasih, ya, Den."
Laki-laki itu pergi meninggalkan mereka bertiga di tempat. Tanpa sengaja, mata Farah berpapasan dengan mata sosok laki-laki itu. Seketika tubuh Farah berdesir hebat.
"Itu tadi Alva?" gumamnya sendiri.
__00__
"Bokap lo mana, Kak?" tanya Dave.
"Biasa. Masih di kantor."
"Udah yuk, silakan dimakan." Naira yang dari tadi sibuk membuka bungkus pizza mempersilakan mereka makan. Ketika datang tadi, dirinya sengaja singgah untuk membeli pizza. Dan salah satu faktor yang membuat Naira ingin membeli pizza itu karena dirinya lapar, namun tidak ingin makan nasi.
Deva yang sedari tadi sudah menunggu Naira membuka bungkus pizza, langsung mengambil satu potong, dan langsung melahapnya.
Raka datang membawa sebuah ceret besar berisi es teh manis dibantu Alva membawakan beberapa cangkir. Raka meminta Alva untuk memisahkan cangkir yang disatukan itu, kemudian menuangkan teh yang dibawanya.
Farah ikut menyantap pizza yang dibawa Naira. Enak. Farah menyukai makanan itu.
"Jadi gimana? Udah dapet kabar dari temennya bokap lo?" tanya Naira kepada Raka di sela-sela sesi makan mereka.
Raka menggelengkan kepalanya. Dia menelan pizza yang ada di mulut sebelum menjawab. "Belum. Mungkin ntar malem."
"Ratih gimana? Polisi juga belum menemukan petunjuk di mana keberadaannya?" Sekarang giliran Dave yang bertanya.
"Masih belum menemukan apa-apa." Raka mengambil satu cangkir, meneguk isinya.
"Kalo kasus ini gak selesai-selesai, gue yakin pasti akan lebih banyak memakan korban."
"Gue setuju, Deva." Alva mengambil satu potong pizza. "Itu makanya kita harus menyelesaikan kasus ini secepatnya."
Farah masih belum terlalu fokus dengan pembahasan. Di dalam pikirannya sekarang, masih terbayang-bayang saat matanya dan mata Alva bertemu. Lagi. Dia tidak tahu bahwa Alva memiliki jiwa empati yang besar.
Sebenernya, Farah saja yang tidak tahu. Saat turun dari taxi, ia yang lebih dulu melihat seorang ibu yang menggendong anaknya itu. Segera Alva pergi ke Indomaret untuk membelikan s**u. Namun saat hendak ke kasir, Alva melihat Farah di sana. Alva pun langsung bersembunyi, menunggu Farah membayar lebih dulu, barulah kemudian Alva membayar barang belanjaannya.
"Oi. Lu mikirin apa?" tanya Naira membuat lamunan Farah buyar seketika.
"Gak ada. Gue gak mikirin apa-apa." Cepat-cepat Farah mencari alibi.
__00__
Mereka semua tengah menunggu Agung pulang dari kantor. Sekarang pukul 21.00. Saat mereka sedang menikmati pizza tadi, Agung menelpon Raka dan mengatakan ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Mendengar hal tersebut membuat semuanya tidak sabar menunggu momen itu.
Sembari menunggu Deva berbicara dengan mamanya dari telepon. Mamanya ingin pergi ke luar negeri selama dua Minggu karena sahabatnya yang tinggal di Amerika sudah melahirkan. Mamanya Deva merasa bersalah jika tidak datang mengunjungi sahabatnya sejak SD itu hingga sekarang.
Dave menunggu sambil membaca cerita author favoritnya di w*****d. Dave adalah salah satu di antara banyaknya orang-orang yang biasa meluangkan waktu mereka untuk aplikasi yang memiliki nama lain dunia orange.
Raka menunggu sambil main game pubg. Hanya dia sendiri yang memainkan game itu. Alva tidak menyukai game. Bahkan bisa dibilang anti. Itu makanya saat ini dirinya menunggu sembari membaca baca soal fisika dari ponselnya. Fisika seakan menjadi sebuah camilan bagi Alva. Ada satu lagi pelarian Alva saat menunggu atau pun sedang memiliki waktu luang, yaitu n****+.
Farah sendiri juga sama dengan Deva. Dirinya saat ini tengah menelpon Sarah. Adiknya itu menceritakan kejadian uniknya tadi saat bermain dengan teman-temannya. Fatan tertawa lepas saat mendengarkan kisah yang diceritakan Farah.
Temannya itu sedang memanjat pohon untuk mengambil jambu. Namun saat sedang asyik memetik, tiba-tiba ibunya datang membawa kayu bersiap untuk memukulnya. Temannya itu langsung menangis dan turun. Dengan kuping dijewer, temannya itu terus menangis mengikuti langkah kaki ibunya menuju rumah.
"Bokap lo jam berapa pulang, Ka?" tanya Deva sambil menguap. Dia sudah menyelesaikan sambungan telepon dengan mamanya.
"Sebentar lagi paling," jawab Raka.
Dirinya juga sudah tidak sabar menunggu papanya pulang.
Selang beberapa lama setelah Deva bertanya, suara mesin mobil terdengar. Mereka semua segera mengetahui suara mobil itu adalah suara mobil milik papanya Raka. Mereka semua langsung membenarkan posisi bersiap menunggu berita baik yang akan segera disampaikan papanya Raka kepada mereka.
Setelah masuk ke dalam rumah, Agung langsung ke kamar untuk mengganti seragamnya terlebih dahulu. Hari ini sedikit berbeda. Marsita tidak menyambutnya karena sedang pergi arisan keluar bersama teman-temannya.
Usai mengganti pakaian, barulah Agung turun ke bawah, mendatangi anaknya beserta sahabat-sahabatnya.
"Malam semua," sapa Agung ramah. Kepala polisi berusia hampir setengah abad itu memang dikenal polisi yang tegas dan paling ramah di kantor. Bahkan banyak napi perempuan yang sering menggodanya.
"Malam, Om," balas mereka semua kompak.
__00__
Bu Ratna sudah kembali dari tempat di mana harapan terakhir itu menjadi sebuah pengorbanan hidupnya. Bu Ratna sekarang tengah menunggu kabar dari anaknya.
Saat di sana tadi, orang yang didatangi Bu Ratna mengatakan bahwa dia tinggal menunggu saja kabar dari anaknya.
Sekarang dia tengah duduk di sofa, dengan pikiran amburadul memikirkan anaknya. Beragam pikiran buruk masih menguasai kepalanya saat ini. Bu Ratna khawatir hal-hal buruk akan terjadi pada anaknya. Bu Ratna tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya, jika kedua putranya itu mengalami hal buruk di sana.
Mendadak ponsel Bu Ratna berdering. Segera diangkatnya.
"Halo?"
Ponsel Bu Ratna jatuh ke lantai. Air matanya menetes. Tangan Bu Ratna bergetar.
__00__
Dave sangat senang mengetahui bahwa teman papanya Raka berhasil menangkap Andi dan Andri. Terus terang Dave tidak bisa berhenti tersenyum. Titik terang siapa yang membunuh Maya semakin terlihat. Tangan Dave sudah tidak sabar ingin melayang ke wajah orang yang membunuh Maya.
Agung menceritakan bahwa awalnya mereka sedikit kesulitan untuk menemukan kembar itu. Setelah pertama kali ditelpon Agung. Sahabatnya itu langsung bergerak bersama dua anak buahnya. Mereka mulai memeriksa dari jadwal kedatangan di bandara. Bisa dibayangkan bukan berapa ribu nama yang diperiksa oleh mereka.
Pagi harinya, mereka mendapatkan data Andi dan Andri. Tidak ingin membuang banyak waktu. Mereka langsung bergegas mencari Andi dan Andri. Sebelumnya sahabat papanya Raka juga sudah meminta rekaman CCTV yang menunjukkan kedatangan mereka.
Di kantor polisi, Rudi--sahabat papanya Raka juga sudah meminta bantuan temannya yang bekerja sebagai polisi di Sydney untuk mencari Andi dan Andri.
Siang harinya, mereka mendapatkan alamat di mana Andi dan Andri tinggal. Saat mereka tiba di alamat yang diberikan, banyak sekali pria-pria berbadan tegap menjaga rumah itu.
Rudi merasa ada yang aneh. Dia bersama dua anak buahnya menghampiri ke sana, namun dicegah. Mereka memberikan alasan yang tidak masuk di akal. Rudi menerobos masuk. Andi dan Andri sudah tidak ada lagi di sana. Mereka sudah pergi entah kemana. Ternyata penjaga itu hanya sebuah pengalihan saja.
Rudi langsung menghubungi teman polisinya untuk meminta bantuan. Pihak polisi turun tangan. Mereka membantu Rudi mencari di mana keberadaan kembar itu.
Tidak butuh waktu lama. Andi dan Andri ditemukan sedang menuju ke pelabuhan Sydney. Rudi bergegas mengejar mereka ke sana.
Akhirnya Andi dan Andri berhasil mereka tangkap. Sekarang kedua sedang berada di bawah pengawasan Rudi dan anak buahnya. Berkat bantuan polisi, mereka berhasil menangkap Andi dan Andri.
Kabar baik ini membuat mereka semua merasa lebih yakin bahwa sebentar lagi semua teka-teki yang sekarang masih abu-abu akan segera terungkap satu persatu. Untuk kedua kalinya, mereka semua berterima kasih kepada Agung. Andai saja mereka tidak memiliki Agung di tim mereka, entah bagaimana cara menangkap Andi dan Andri.
Bersambung...