Alva langsung menyerahkan uang pecahan seratus ribu kepada supir taxi.
“Wah, gak ada kembaliannya, Mas.”
“Ambil aja, Pak,” Alva turun dari taxi.
“Darimana aja, Den? Tadi bapak nyariin,” Pak Mulya berbisik.
“Ada urusan mendadak, Pak. Sekarang Papa di mana?”
“Mungkin sudah tidur. Ayo Den, silahkan.”
Pak Mulya membukakan pagar mempersilahkan Alva masuk. Rumah megah dengan nuansa amerika-nusantara itu terlihat senyap sekali. Beberapa pencahayaan terlihat sudah padam. Namun ada satu ruangan di lantai tiga, lampu di sana masih terlihat menyala.
Alva menarik napas dalam sebelum melangkahkan kakinya menuju rumah. Ia mempersiapkan diri untuk mengakhiri hari ini dengan sesuatu yang tidak sama sekali Alva inginkan.
“Sini, ikut kakak.”
Saat tangan Alva menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Dinda menarik tangan adiknya membawanya menuju belakang rumah.
“Kamu mau mati? Ke mana aja kamu?”
Alva hanya melihat ke arah kakaknya yang berjalan dua kali lebih cepat darinya sambil terus menarik tangannya. Dinda lebih tua dua tahun dari Alva. Namun Alva merasa terkadang usia mereka terpaut jauh sekali.
Dinda mengeluarkan kunci lalu membuka pintu yang terbuat dari besi itu, sekarang mereka sedang berada di garasi belakang rumah.
“Apalagi? Cepat masuk.”
Alva hanya terdiam mematung di tempat.
“Alva buruan masuk,” Dinda menarik paksa tangan adiknya, “Kakak gak akan biarin kamu terus-terusan disiksa Papa. Ayo ikut.”
Setelah berhasil menarik adiknya, Dinda Kembali mengunci pintu.
“Papa mana, kak?”
“Dia lagi nunggu kamu di kamar. Udah ayo.”
Tangan Dinda terus memegang tangan Alva. Terlihat seperti Dinda sedang menuntun anak umur lima tahun ke dalam kamarnya. Itulah Dinda, seorang kakak sekaligus pelindung yang Alva miliki saat ini dari tempramen buruk Papa mereka.
“Kamu langsung ganti baju, tidur. Biar Papa kakak yang urus. Oke?”
Mata Dinda bertemu dengan mata Alva. Menatap mata adiknya itu membuat hati Dinda merasa hancur. Tangan Dinda perlahan bergerak menuju pipi Alva lalu membelainya lembut, “Maafin kakak, ya?”
“Bagus!” Suara tepukan tangan terdengar.
Dinda langsung menyembunyikan Alva di balik tubuhnya, “Mau apa kamu, ha?”
*
Hari ini Naira tiba lebih awal ketimbang yang lainnya. Begitu satpam membuka gerbang, Naira tidak langsung masuk ke dalam kelas. Naira memilih untuk berjalan mendekati pohon besar yang dikelilingi garis polisi. Ya. TKP.
Bermodalkan ponselnya, Naira mengambil beberapa foto dari sana. Sebenarnya tidak ada tujuan yang pasti, namun entah mengapa ketika melihat TKP itu Naira merasa ingin memotret saja. Ada sekitar sepuluh jepretan dan itu dirasa cukup oleh Naira.
“Ngapain lo di situ?”
Naira membalikkan tubuhnya, “Eh, Dave. Gak ada, cuman lihat-lihat aja.”
“Ayo masuk. Yang lain udah nunggu di kelas. Deva juga bawa cemilan dari..” Dave memperagakan gaya khas Wanita berpose model, “Maminya,” Ia tertawa.
“Gue aduin lo. Mampus!” Naira berlari menuju kelas.
“Nai! Awas lo, ya!” Tentu nyawa Dave terancam kalau sampai Nai mengadukannya kepada Deva.
Beruntung saat di koridor Dave berhasil menggandeng tangan Naira dan memohon agar tidak diadukan ke Deva, dan Naira pun menyetujui.
“Good morning epribadeh,” Sambil menggandeng tangan Naira, Dave melambaikan tangannya ala-ala model.
Naira melepas gandingan tangan Dave lalu berjalan ke mejanya untuk meletakkan tas kemudian bergabung di meja Alva dan Dave.
“Mana cemilannya?” Tanpa basa-basi, Naira langsung menanyakan perihal cemilan kepada Deva.
“Lo udah makan, Nai?” Raka menatap Naira ngeri.
“Udah.”
Dave meregangkan otot-otot tangannya, “Berapa piring?”
“Satu. Gue tadi pagi makan nasi goreng sama burger dua.”
“Dan sekarang masih laper?”
“Ah lu gak asyik, Ka. Gue harus punya stamina lebih dong buat ngelanjutin misi membebaskan Farah.”
Dave tertawa, “Gaya lu! Selama ini yang ngabisin makanan kita siapa kalo bukan lo?”
“Udah,udah,” Deva membuka tasnya mengeluarkan tupperware berisi tiga macam kue basah, “Ini dari Mami. Pesan beliau kalian harus semangat belajar.”
“Siap tante!” Dave yang pertama kali mengambil kue.
“Ayo kalian!” Deva juga memanggil murid-murid lainnya yang berada di kelas.
Semua tampak menikmati kue yang dibawa Deva. Dan Naira? Jangan lagi ditanya. Sekarang tupperware sudah berada di pelukannya sendiri.
“Gue minta satu lagi, Nai.”
“Gak bisa. Ini punya gue.”
Dave menarik tangan Naira, “Ayolah, Nai. Satu…. Aja.”
“Gak-bisa! Gue laper. Udah ah sana, jangan ganggu!” Naira membawa pergi kuenya.
Dave tidak tinggal diam. Ia menunggu Naira lengah dan bersiap mengambil sisa kue yang ada.
“Dave!”
Dave berhasil. Tersisa dua potong dan semuanya sudah masuk ke dalam perut Dave.
“Awas lo!”
*
Bel istirahat pertama berbunyi.
“Baiklah anak-anak, pelajaran kita cukup sampai di sini. Kalau ada yang ingin ditanyakan silahkan datang ke ruangan saya.”
“Baik, Pak.”
Setelah Pak Tri keluar, seluruh murid kelas 12 Ipa 1 juga ikut keluar. Yang tersisa di kelas hanya mereka berlima.
“Mama gue wa nih.” Ucap Naira sambil berjalan menuju meja Alva dan Dave.
“Apa kata mertua gue, Nai?” tanya Dave ngasal.
“Apa? Mertua? Gak sudi gue punya suami kayak elu!”
Naira membacakan pesan Mamanya, “Nai, hasil lab keluar siang ini. Tolong perwakilan dari kalian langsung ambil selepas pulang sekolah, ya? Dan jangan terlalu sore, soalnya mama banyak agenda.”
Dave mengangkat tangannya bangga, “Biar gue yang ke rumah sakit. Gue mau ketemu sama calon mertua.”
“Dave Aryaguna Pranawa..” Seketika Naira mengubah wajahnya jadi menyeramkan, “Sekali lagi lo bilang calon mertua, gue gebrus muka lo!”
Semuanya tertawa terkecuali Alva.
“Ampun tuan putri. Ampun!”
“Jadi siapa yang mau ke rumah sakit?” tanya Raka.
Alva berdiri, “Gue sama Naira. Ayo ke kantin, gue laper.”
Deva menggandeng tangan Alva, “Let’s go..”
“Tunggu,” Naira menahan tahan Alva, “Kalian pergi duluan aja, ntar gue sama Alva nyusul.”
“Siap tuan putri. Ayo guys!”
Setelah dipastikan kelas kosong, Naira memegang tangan Alva menyuruhnya duduk Kembali.
“Lagi?”
Hening. Alva tidak memberikan jawaban apapun.
“Sampai kapan lo terus-terusan diperlakuin seperti binatang kayak gini, Al?” Naira menaikkan lengan hoodie yang dipakai Alva, terlihat beberapa luka lebam di sana, “Al. Kalau terus-terusan begini lama-lama lo bisa mati, Al!”
Alva hanya menurunkan Kembali hoodie-nya dan masih enggan untuk memberi respon. Naira muak melihat ini, Naira membuka paksa hoodie Alva kemudian menaikkan menaikkan baju Alva yang bagian belakang untuk memeriksa.
Bahkan bekas tiga hari yang lalu masih ada, dan sekarang sudah muncul lagi yang baru. Naira memegang kepalanya. Ini sudah kelewat batas.
“Gue tau lo kuat Al, tapi lo juga harus mikirin kakak lo. Meskipun papa lo gak nyentuh kak Dinda, tapi apa lo mau lihat dia terus-terusan khawatirin lo.”
Naira berjalan ke depan pintu, “Terserah lo deh, Al. Kalo lo suruh gue terus diem, gue gak bisa janji sampe kapan gue bakal ngebiarin ini. Buruan ke kantin, ntar yang lain pada tau.”
Kantin ramai seperti biasa. Naira mengedarkan pandangannya mencari di mana tiga sahabatnya yang sudah tiba duluan.
“Nai, di sini!”
Naira melihat Dave melambaikan tangan. Ia pun dengan cepat menuju ke meja itu.
“Lo mau pesen apa? Biar gue pesenin.”
“Bakso aja deh, Ka.”
Deva memainkan degan di minumannya, “Where’s Alva, Nai?”
“Bentar lagi juga dateng, dia ke kamar mandi dulu tadi.”
“Nah itu dia bos kita. Lo mau pesen apa, Al? Biar sekalian dipesenin Raka.” Tawar Dave.
“Nasi goreng.”
“Oke. Gue pesenin dulu, ya.”
Tak lama Raka Kembali membawakan pesanan Naira dan Alva, “Silahkan dimakan tuan dan puan.”
Tanpa membutuhkan aba-aba mereka semua tampak menikamati makanan mereka masing-masing. Terutama Naira, ia terlihat lahap sekali. Itu bukan hal yang asing bagi mereka melihat Naira makan begitu lahap.
Satu-satunya Wanita di tim mereka itu mempunyai selera makan yang amat kuat.
“Diumumkan kepada seluruh siswa-siswi SMA Kencana Indonesia harap berkumpul di aula Garuda sekarang. Sekali lagi, diumumkan kepada seluruh siswa-siswi SMA Kencana Indonesia harap berkumpul di aula Garuda. Terima kasih.”
“Tumben. Ada apa, ya?” tanya Naira sebelum menyeruput es teh manisnya.
Raka dan Alva bangkit bersiap pergi.
Naira juga ikut berdiri, “Ayo. Nanti gak kebagian tempat duduk.”
“Tenang Nai, lo bisa duduk di pangkuan gue!”
“Lo!” Naira bersiap menjotos wajah Dave namun ditahan Deva.
“Udah, ayo!”
Murid-murid lainnya yang berada di kantin juga sudah berjalan menuju aula Garuda. Koridor sekarang penuh dengan murid-murid yang berjalan menuju ke sana. Semua langsung mengambil tempat duduk masing-masing. Seperti biasa, mereka berlima duduk berjejer di bagian depan.
Saat ini aula masih dipenuhi suara riuh. Mereka semua juga bertanya-tanya kenapa diadakan perkumpulan di jam segini.
Prof. Gunawan, Prof. Nulin dan-
“Pak Kuncoro?”
“Ngapain Pak Kuncoro ke sekolah kita?”
Situasi di aula semakin ricuh. Semua murid bertanya-tanya perihal kedatangan Pak Kuncowo yang merupakan salah satu anggota DPR RI.
Nging, nging.
Prof. Gunawan memukul kepala mic memberi isyarat kepada murid agar diam.
“Assalamualaikum wr, wb.”
“Waalaikumsalam, wr, wb.”
“Hari ini, kita kedatangan tamu Drs. Kuncoro Bumi. Beliau sengaja kemari untuk menyampaikan sepatah dua patah kata, memberi semangat kepada kalian, sekaligus membahas mengenai apa yang terjadi di sekolah kita ini. Karena beliau juga sibuk, maka langsung saja. Waktu dan tempat kami persilahkan.”
Drs. Kuncoro menerima pemberian mic dari Prof. Gunawan.
“Selamat pagi menjelang siang anak-anak!”
“Pagi, Pak!”
*
Sekarang lima sekawan tengah berada di ruangan Prof. Gunawan. Ya. Ruangan kepala sekolah SMA Kencana Indonesia. Sebenarnya ini bukan kali pertama mereka masuk ke sini. Tapi entah mengapa ini terasa berbeda dari biasanya.
Nama mereka berlima disebut di akhir perkumpulan untuk menunggu di ruang kepsek. Ratusan pasang mata langsung tertuju pada mereka saat itu.
“Kira-kira ada apa, ya?”
“Menurut lo Dave?”
“Apa jangan-jangan Pak Kepsek mau jodohin kita, Nai?”
Naira melengus melihat wajah Dave, “Lo bisa gak sehari aja gak bicara?”
Jika mereka berdua sedang asyik bertengkar. Raka, Deva dan Alva terutama, mereka tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertanyaan timbul tentu saja di benak mereka.
Prof. Gunawan bersama Drs. Kuncoro memasuki ruangan.
Mereka berlima otomatis berdiri meyalami dua manusia terpelajar itu.
“Langsung saja, ya,” Tiba-tiba saja Drs. Kuncoro memukul meja di depan mereka kuat sekali.
“Saya tidak mengharapkan ini terjadi pada kalian!”
Kelima-limanya menatap tidak percaya.
“Apa yang kalian dapatkan, ha?”
“Maksud.. bapak?” Dave memberanikan diri bertanya.
Bu Ratna tiba-tiba masuk dan membanting beberapa foto di atas meja.
“Ini apa?”
Alva mengambil foto itu melihatnya satu persatu. Foto itu adalah foto ketika Dave dan Deva berada di kantor polisi. Lalu ada juga foto Raka, Alva dan Naira yang terlambat pulang dari sekolah kemarin.
“Meskipun kalian yang memegang peringkat di sekolah ini, kami tidak akan segan-segan untuk mendepak kalian. Camkan itu!”
Drs. Kuncoro berlutut, “Kami mohon. Biarkan polisi saja yang menangani kasus ini.”
Alva mengepalkan tangannya lalu berdiri, “Banyak kejadian aneh-“
“Maafkan murid-murid saya, Pak. Saya akan bertanggung jawab penuh atas mereka,” Prof. Nulin menarik tangan Alva pergi bersamanya.
“Maaf, Pak” Sekali lagi Prof. Nulin meminta maaf sembari menundukkan kepala.
*
“Saya tahu niat kalian baik, tapi kalian harus punya strategi. Dan yang terpenting kalian jangan gegabah.”
Raka yang terlihat paling emosi angkat bicara, “Sejak awal saya sudah yakin pihak sekolah turun tangan dalam kasus ini.”
“Lalu bagaimana dengan Bu Ratna? Bagaimana bisa Wanita tua itu mendapatkan foto-foto itu?” Karena terlajur emosi, Naira tidak dapat menahan kata-katanya.
Dave beranjak mendekati Naira mencoba menenangkannya, “Tahan, Nai.”
“So, what should we do, Prof?”
“Saya mohon untuk saat ini, apapun yang akan kalian lakukan harap untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan saya.”
Bel berbunyi pertanda istirahat berakhir.
“Sekarang kalian masuk ke kelas terlebih dahulu, tenangkan diri kalian. Selepas pulang sekolah kita berkumpul lagi di sini.”
*
Pulang sekolah
Alva dan Naira memilih tidak ikut bersama Raka, Dave dan Deva. Mereka berdua langsung pergi ke rumah sakit meminjam mobil Raka.
Awalnya Raka sempat protes agar didiskusikan terlebih dahulu dengan Prof. Nulin, namun Alva menolak dengan alasan bahwa Mamanya Naira tidak ada waktu selain sekarang juga. Alva meyakinkan Raka bahwa mereka akan secepatnya ke laboratorium setelah Kembali dari rumah sakit.
Naira langsung menghampiri Mamanya yang saat itu sudah menunggu di depan rumah sakit. Usai mematikan mobil, Alva langsung keluar menemui Amira.
“Semoga kalian berhasil. Ya sudah, tante pergi dulu ya. Hari ini capek banget.”
“Oke tante. Good luck, Tan!”
Sebelum masuk mobil, Amira menyempatkan untuk mengecup kening putrinya terlebih dahulu.