Bab 4
Bu ratna
Hari ini adalah hari pertama Kaila bekerja, tentu saja semangatnya menggebu-gebu. Sambil terus bersenandung, tangan Kaila disibukkan memotong wortel lalu dilanjutkan sayuran lainnya. Pagi ini Kaila berniat memasak sayur sop.
Sesampainya di rumah mewah ini, sayuran sudah tersedia di kulkas, dan Kaila tidak perlu lagi pergi ke pasar untuk membeli sayur. Marsita mengatakan kalau sayur ini adalah sisa belanja mingguan pembantu mereka yang baru saja berhenti kerja beberapa hari yang lalu.
Satu jam berkutat di dapur, sayur sop dan juga sambel tempe buatan Kaila sudah siap disajikan. Dengan gesit dan telaten Kaila meletakkan itu di meja makan.
“Wah! Kelihatannya enak, nih,” puji Marsita.
“Silahkan dimakan, Bu!”
“Pa, ayo makan!”
Pak Agung pun muncul dari kamarnya dan langsung duduk di kursi ruang makan.
“Silahkan dinikmati, Pak.”
Saat hendak menyentong nasi, Marsita mendengar dering ponsel, “Bu, sepertinya ada yang menelpon itu.”
Kaila yang saat itu tengah mencuci piring buru-buru mengambil ponselnya.
“Halo?”
“Selamat pagi, Bu. Bisa bicara dengan Bu Kaila?”
“Iya, dengan saya sendiri.”
“Kami dari pihak kepolisian Jakarta Utara. Anak ibu yang Bernama Farah Elzira Pranadipa terbukti membunuh satpam sekolah…”
“A-pa? Membunuh?”
*
Naira yang pertama kali bertanya, “Lo dari kantor polisi, kan? Gimana keadaan Farah?”
“Farah baik-baik saja.”
“Syukurlah.”
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ka?” tanya Dave penasaran.
“Farah menjadi tersangka utama dalam kasus pembunuhan Pak Diko.”
Naira terkejut batin, “Apa? Gak salah?”
“Gadis se-beautiful Farah bisa ngebunuh orang? Ngeri!”
Dave semakin tidak percaya, “Lo gak bohong, kan?”
“Ngapain gue bohong, Dave? Bokap gue yang bilang.”
“Jadi, Farah bakal dipenjara?”
“Saat ini polisi sudah mempunyai bukti yang kuat untuk menjembloskan Farah ke penjara. Mereka menemukan sidik jari Farah di pisau yang digunakan untuk menikam Pak Diko.”
“Terus apa yang bisa kita lakuin? Gue yakin Farah gak mungkin ngelakuin itu,” Naira terlihat begitu yakin dengan ucapannya.
“Gue juga,” sambung Dave.
“Me too. Lagian nih ya, mana mungkin cewek sealim Farah punya jiwa psikopat.”
“Lo tau apa soal Farah?” Alva yang sedari tadi tidak membuka mulut, tiba-tiba langsung menimbulkan suasana mencengangkan.
“Apa?” sahut Raka dan Dave kompak tidak mengerti.
Naira dan Deva menampilkan wajah kebingungan.
Naira mendekati Alva menatapnya bingung, “Lo ngomong apa sih, Al?”
“Lo semua kenal Farah? Enggak, kan?”
“Al!”
“Kita gak pernah tahu siapa dia, seperti apa dia, dari mana asalnya…”
Dave menampar pelan pipi sahabatnya itu, “Lo sakit? Atau lo laper?”
Deva juga mengecek suhu tubuh Alva, “You gak demam.”
“Jangan buang waktu kalian untuk membahas hal yang gak berguna kayak gini.”
Alva pergi keluar kelas usai mengatakan kalimat terakhirnya yang terdengar tidak mengenakkan.
“Alva kenapa?”
“Crazy!”
Naira berlari keluar kelas, ia ingin mengejar Alva. Naira merasa ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya itu.
“Nai, tunggu!” Raka mengejar Alva.
“Kita gimana?” tanya Dave.
“Sleeping time….”
Dave menggigit bibirnya kesal melihat Deva, “Sleeping time mbah mu!” Dave menarik rambut Deva.
“It’s hurt b**o!”
“Ikut gue.”
*
“Al, tunggu!” jerit Naira.
Alva tidak mengindahkan jeritan Naira. Kakinya terus melangkah cepat berjalan menyusuri koridor. Begitu mau menuruni anak tangga, tangan Raka berhasil menahan bahu Alva, “Lo mau kemana?”
“Al,” panggil Naira dengan napas ngos-ngosannya.
“Ada apa, Al? Gak biasanya lo kayak gini.”
“Bener, Al,” imbuh Naira, “Lo ada masalah?”
Alva hanya menatap mereka berdua. Tidak ada respon maupun kata-kata yang keluar dari mulut Alva. Ia menyingkirkan tangan Raka dari bahunya kemudian kembali berjalan pergi.
“Al!” bentak Raka, “Lo mau ke mana?!”
“Sabar, Ka. Kita ikuti aja dulu dia mau ke mana.”
Kini Alva sudah berada di luar Gedung SMA Kencana Indonesia. Naira dan Raka masih mengikutinya. Alva menatap lurus pohon besar di halaman sekolah yang sekelilingnya dipasang garis polisi. Beberapa polisi terlihat masih memeriksa di sana.
Alva melirik ke belakang, ia melihat Naira dan Raka seperti membuntutinya. Ia masih kesal dengan mereka, namun setelah dipikir-pikir, membantu Farah sepertinya tidak salah.
Alva mengeluarkan ponselnya lalu langsung membuka ruang chat grup mereka.
Me : Kumpul di kelas, sekarang.
Naira : Alhamdulillah lo udah sadar.
Raka : Jangan ada yang telat.
Deva : I’m sorry guys. Gue sama Dave lagi di jalan ke kantor polisi.
Raka : Kantor polisi? Ngapain?
Naira : Kenapa gak bilang, sih?
Deva : I don’n know. Dave yang maksa gue buat ikut.
*
Alva sudah sampai lebih dulu di kelas. Naira dan Raka masih belum terlihat. Satu menit kemudian, Naira dan Raka muncul membawa tiga botol minuman teh botol.
“Maaf, Al. Gue ke toilet dulu tadi.”
Raka memberi satu botol untuk Alva, “Gue ke kantin.”
Alva menerima pemberian Raka tanpa mengeluarkan suara. Alva memang seseorang yang bisa dibilang hemat bicara. Mulutnya itu tidak akan terbuka jika bukan membahas hal yang urgent ataupun penting. Dan satu lagi, Alva akan berbicara ketika ada hal yang menggangunya.
“Lo mau ngomong apa, Al?” tanya Raka.
“Ka, Bibi lo pengacara, kan?”
“Iya. Kenapa?”
“Bokap lo juga polisi, kan, Ka?” Naira menimpali.
“Emang ada apa? Jadi penasaran gue.”
“Pasal berapa yang mengatur tentang penangkapan?”
“Sebentar,” Raka menggigit bibirnya mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan Alva.
“Pasal 17 Undang-Undang KUHP. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang kuat.”
“Lagi?”
“Pasal 21 ayat (1). Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam..”
“Cukup.”
Naira tiba-tiba berdiri, “Itu artinya, jika polisi berhasil menemukan sidik jari Farah di pisau itu, itu bisa menjadi bukti yang cukup untuk melakukan penahanan?”
“Benar,” Raka membenarkan.
“Lalu bagaimana jika Farah bukan orang yang melakukan pembunuhan itu?”
“Pihak kepolisian akan menindak lanjuti berdasarkan bukti-bukti yang ada.”
“Lalu bagaimana jika yang membunuh Pak Diko bukan Farah?”
“Itu yang harus kita cari tahu, Nai. Kita harus bisa mencari bukti yang kuat yang bisa mematahkan bukti yang ada pada polisi.”
“Caranya?”
Raka menautkan keningnya, “Nai, coba lo cari tau kemana Dave dan Deva pergi.”
Naira mengangguk.
“TKP.”
Raka menjentikkan jarinya menyetujui perkataan Alva, “Pertama-tama kita harus mencari petunjuk di TKP.”
“Tapi gimana caranya? Polisi masih ada di sana.”
“Kita akan periksa malam nanti.” Alva langsung pergi setelah mengatakan kalimat akhirnya.
“Gimana, Nai? Mereka pergi ke mana?”
“Kantor polisi. Deva bilang mereka mau bertanya ke Farah bagaimana kronologi kejadiannya. Oh iya, mereka juga lagi bicara sama bokap lo dan nyokapnya Farah
“Bagus lah. Bokap gue pasti bisa bantu kita.”
*
Jam sekolah sudah habis lima belas menit yang lalu. Kini Naira, Raka dan Alva tengah berada di dalam mobil Raka yang masih terparkir di area samping sekolah dekat ruang kepsek. Mereka menunggu polisi pergi dan bersiap untuk mencari petunjuk di sana.
“Yes!!, “ sorak Naira ketika melihat polisi memasuki mobil mereka dan bersiap pergi.
Begitu mobil polisi itu bergerak meninggalkan TKP, Raka sudah bersiap untuk menginjak gas, namun hal itu terpaksa diurungkan. Bu Ratna tiba-tiba saja terlihat di sana entah darimana asalnya.
Di tangannya membawa sebuah ember hitam. Bisa dilihat dan jelas sekali, Bu Ratna terlihat sangat waspada. Alva bisa melihat Bu Ratna merogoh sakunya, lalu mengeluarkan plastic kecil berwarna hitam. Namun kali ini Alva tidak bisa lagi melihat apa yang dikeluarkan dari plastic itu.
Bu Ratna meletekkan apa yang dipegang di tangannya di atas tanah di sekitar pohon. Sontak mata mereka bertiga membelalak ketika melihat Bu Ratna menuangkan darah di sekitar TKP.
“I-tu? Naira kelihatan syok.
“Semakin gak beres. Kita gak bisa tinggal diam.”
Dengan sigap Alva menahan bahu Raka yang saat itu hendak keluar mencegah Bu Ratna, “Kita lihat dulu apa yang dilakukan Bu Ratna.”
Usai menuangkan darah, Bu Ratna merogoh sakunya mengeluarkan ponsel. Ia tampak menghubungi seseorang.
Tak lama mobil polisi yang dati sudah pergi datang Kembali, namun kalau tadi tiga polisi di dalam mobil itu, kini hanya seorang saja.
Setelah turun, Polisi itu langsung mengeluarkan kamera dan mengambil beberapa foto dari TKP. Kemudian polisi itu terlihat memungut sesuatu dari deket pohon, lalu mengambil sampel darah yang dituang Bu Ratna.
Alva mencoba berpikir keras mencari hipotesis apa yang sebenarnya direncanakan Bu Ratna.
Sepertinya kecurigaan mereka benar. Polisi itu dan Bu Ratna melakukan jabat tangan yang terlihat akrab sekali. Setelah polisi pergi, dua orang murid datang membawa selang air, sikat wc dan juga sabun pembersih toilet.
Sesuai aba-aba Bu Ratna mereka membersihkan TKP yang seharusnya itu harus tetap ada sampai polisi selesai mengumpulkan bukti. Dan alhasil rencana Alva untuk mencari bukti yang bisa membantu Farah keluar dari penjara rusak begitu saja.
Raka memukul setir kuat.
“Apa yang bisa kita lakuin sekarang, Al?”
“Untuk sekarang kita harus waspada sama Bu Ratna.”
Raka terlihat begitu emosi, “Seharusnya lo gak nahan gue buat keluar, Al!”
“Ka, kita gak boleh gegabah,” Naira menengahi.
“Gue butuh bantuan lo dan nyokap lo, Nai.”
*
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang dilakukan Bu Ratna dengan bantuan polisi dan dua muridnya, si kembar Andi dan Andri, membuat Alva merasa kejadian ini semakin tidak beres dan terkesan direncanakan.
Dalam perjalanan menuju apartemen Naira sekarang, pikiran Alva dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Raka mengemudi dengan kecepetan tinggi sesuai perintah yang Alva berikan agar mereka bisa cepat mencari tahu motif di balik perbuatan Bu Ratna.
Sedikit ada rasa bersalah yang mengusik bagian kecil dalam diri Alva. Ia juga tidak tahu mengapa dirinya sempat kesal ketika melihat semangat mereka untuk menolong Farah. Namun kini rasa kesal itu telah hilang menjadi bara api yang mulai membesar menyalakan semangat Alva untuk mencari jawaban dari Bu Ratna.
Naira terus menghubungi Mama dan Papanya namun tidak mendapat jawaban. Ponsel Mamanya mati begitu juga dengan ponsel Papanya.
“Gimana, Nai?”
“Masih belum aktif, Al.”
“Gimana kalau kita bagi tugas. Lo berdua urus masalah cctv, biar gue aja yang ke rumah sakit nemuin nyokap lo,” Raka memberi saran.
“Gue rasa itu ide bagus,” Naira memberi persetujuan.
“Gue setuju. Lebih cepat, Ka.”
Biasanya jarak dari sekolah menuju aparteman Naira memakan waktu dua puluh menit, kini hanya ditempuh sepuluh menit saja. Usai turun dari mobil, Alva dan Naira bergegas menaiki lift untuk ke lantai 76, aparteman Naira.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Al? Dan apa hubungannya dengan Bu Ratna.”
“Entah lah. Kita harus secepatnya mencari tahu.”
Lift terbuka. Naira memimpin jalan.
“Silahkan masuk, Al.”
Naira buru-buru ke kamarnya untuk mencari laptopnya.
Alva memperhatikan layar laptop Naira yang sekarang dipenuhi kode-kode rumit yang sama sekali tidak ia pahami. Kode itu sedikit membuatnya merasa pusing. Tangan Naira juga menari dengan lincahnya di atas kibor.
Hanya dua menit, kemudian Naira menekan tombol enter.
Suara jentikan jari Naira terdengar, “Good job!”
Seluruh rekaman cctv di SMA Kencana Indonesia muncul di layar laptop Naira.
“Coba cari rekaman halaman depan dekat pohon besar.”
Naira melihat dengan teliti mencari sesuai perintah Alva, “Mati!”
“Kenapa?”
“Sudah dihapus.”
“Kalau begitu cari tahu apa yang dilakukan Bu Ratna sekarang.”
Ketika tangan Naira hendak menyentuh kibor, mendadak laptopnya mati, kemudian layarnya berubah menampilkan semut-semut kecil.
“Mereka tahu apa yang kita lakukan.”
Alva merasa geram. Ia menumbuk meja lumayan keras. Alva mundur beberapa langkah kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Ia menatap langit-langit kemudian menarik kuat rambutnya frustasi.
Naira yang melihat itu berinisiatif membuatkan minuman untuk Alva. Naira membuka kulkas lalu menuangkan jus jeruk ke dalam gelas dan memberikannya kepada Alva.
“Lo tenang aja, Al. Kita pasti bisa bebasin Farah.”
Alva merubah posisinya menjadi duduk dan menyeruput jus yang diberikan Naira, “Semoga.”
*
Dave dan Deva baru saja turun dari angkot dan langsung berlari masuk ke dalam kantor polisi. Sempat dicegat, namun mereka mengatakan sudah ada janji dengan Agung, Papa Raka.
Tentu saja jika nama Agung disebut, polisi yang berjaga di depan akan membiarkan mereka masuk. Setelah bertemu Agung, mereka langsung dibawa menemui Farah yang saat itu sedang bersama Mamanya.
“Permisi,” Dave langsung masuk ke ruang kunjungan menyapa Kaila. Bukan Dave namanya kalau tidak berani langsung menyapa.
“Maaf,Bu. Mereka ini teman sekolah Farah. Mereka yang akan membantu Farah untuk menemukan bukti untuk mengeluarkannya dari penjara.”
Kaila ingat wajah Dave dan Deva, wajah yang ia temui sewaktu naik angkot ketika ingin mendaftarkan Farah ke SMA Kencana Indonesia.
“Silahkan, Nak.” Kaila bangkit dari duduknya membiarkan Dave dan Deva melanjutkan tugas mereka.
Setelah diberi izin, Dave dan Deva langsung menanyai kronologi yang sebenarnya. Dave mendengarkan dengan seksama sedangkan Deva sedang memegang ponsel yang sekarang tengah terhubung ke ponsel Alva.
Farah menjelaskan mulai dari ia turun dari motor, bertemu dengan satpam dan ditarik seorang gadis berwajah pucat. Tak terlewatkan sedikit pun.
Dari penjelasan Farah menimbulkan tanda tanya di kepala Deva, “So, kalau kamu sama sekali tidak menyentuh pisau yang menancap di perut dan d**a Pak Diko, kenapa sidik jari kamu bisa ada di sana?”
Agung tiba-tiba bertanya, “Apa yang pertama kali polisi lakukan saat mengintrogasi kamu?”
“Mereka meminta sidik jari saya, Pak.”
“Apakah itu termasuk dalam agenda penyelidikan, Pak?” tanya Dave.
“Seharusnya itu bukan menjadi bagian dari tugas mereka. Sejak menerima laporan terkait pembunuhan di SMA Kencana Indonesia, saya sudah merasa ada yang janggal sejak awal. Yang menelpon saya bukan dari pihak kepolisian, melainkan sederet nomor yang tidak dikenal.”
Deva menautkan alisnya, “So, how about the girl?”
Saat Farah hendak menjawab pertanyaan Deva, Agung Kembali bertanya, “Kamu ingat wajah polisi yang membawa kamu ke sini?”
“Saat itu mereka mengekanan masker, Pak.”
“Masker?”
Farah mengangguk.
Ponsel Deva berdering, Raka menelponnya. Dave menjauh beberapa langkah lalu menjawab panggilan itu.
“Lo ke rumah sakit Bayangkara sekarang, susul gue. Kita harus ke kumpul di aparteman Naira.”
“Oke.” Deva menutup telpon.
“Maaf Farah, kami harus pergi. You just calm dawn, we‘ll get you out of here.” Deva mencoba memberikan penjelasan sekaligus harapan.
“Biar saya antar,” tawar Agung sambil menyeimbangi lari mereka.
Untung saja Rumah Sakit Bayangkara dan kantor polisi tidak berjauhan, dan jalanan juga tidak terlalu macet, sehingga mereka bisa sampai hanya dalam waktu lima belas menit.
Raka sempat kaget ketiga melihat Papanya yang mengantar Dave dan Deva.
“Mobil kamu?”
“Bocor Pa.”
Mendengar mobil anaknya bocor semakin membuat situasi terasa aneh. Kenapa teka-teki terus bermunculan untuk menemukan bukti yang bisa membebaskan Farah?
“Harry up, Ka!”
Raka mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobil.
*
Naira keluar dari dapur menuju ruang tamu membawa lima gelas berisi jus jeruk untuk empat sahabat laki-lakinya dan satu untuk Agung.
Raka, Dave dan Deva langsung meneguk habis.
“Gue udah ceritain semuanya ke nyokap lo, dan beliau siap bantu kita,” Raka membuka pembicaraan.
“Syukurlah,” Naira mengelus dadanya senang.
“Dari penjelasan beliau, memang ada sesuatu yang aneh. Laporan dari badan forensik yang memeriksa jasad Pak Diko tidak ditemukan catatan luka lebab di bagian punggung dan juga garis biru di leher Pak Diko.” terang Raka.
“Garis biru?” tanya Alva.
“Menurun Tante Amira, Pak Diko juga sempat dijerat menggunakan tali di bagian lehernya. Namun hal itu tidak ditemukan dalam laporan yang diberikan badan forensik kepada polisi.”
Agung pergi mendekat ke jendela dan terlihat menghubungi seseorang.
“Dan ada satu lagi. Tante Amira juga bilang, tusukan pisau di bagian perut dan juga leher Pak Diko dilakukan di titik yang tidak berbahaya, dalam artian, tusukan di bagian itu tidak mengakibatkan kematian terkecuali jika mengalami pendarahan yang cukup banyak.”
Kali ini Dave yang berbicara, “Ketika Farah menjerit, Bu Ratna langsung muncul dan menelpon ambulans.”
“Jarak rumah sakit ke sekolah itu setengah jam, dan ambulans datang hanya dalam waktu three minutes,” sambung Deva.
“Itu artinya semua sudah direncakan dari awal?” Alva mengambil kesimpulan.
“Terus apa yang bisa kita lakukan, Al?” tanya Naira.
Alva menyimpan jarinya di ujung bibir sambil berpikir, “Kita harus bisa mencari bukti yang bisa mematahkan bukti yang dimiliki polisi.”
“Caranya?”
Agung sudah Kembali di temapt duduknya, ia meneguk jus yang dibawa Naira dan menautkan sepuluh jarinya, “Farah benar. Polisi ikut turun tangan mencoba mencederai kasus ini.”
“Apa?” Naira tidak menduga bisa serumit ini.
“Lantai bagaimana, Om?” tanya Naira.
Sekarang semua mata tertuju ke Agung menunggu jawaban atas pertanyaan Naira.
Agung menghela napas kasar, “Untung sekarang yang menjadi prioritas utama kita adalah mencari bukti untuk membebaskan teman kalian. Setelah itu baru kita pikirkan masalah ini.”
“There’s another one.” Deva menyikut bahu Dave memberinya kode untuk berbicara.
“Gadis berwajah pucat.”
Alva yang paling terlihat bersemangat, “Gadis berwajah pucat?”
“Sewaktu Pak Diko pergi ke kamar mandi, Farah ditarik paksa oleh gadis berwajah pucat.”
“Ada ciri-ciri lain?”
“Rambut sebahu.”
*
Sekarang jam 22.00 WIB. Usai menyuci gelas, Naira membangunkan Alva yang tertidur di sofa. Semuanya telah Kembali ke rumah masing-masing. Mereka memutuskan untuk melanjutkan pencarian dimulai besok pagi karena hari telah berubah gelap.
Saat semua beranjak pergi, Alva tidak. Ia masih tenggelam dalam pikirannya dan berakhir dengan mata terpejam di atas sofa. Naira tidak ingin mengganggu tidur pulas Alva. Namun karena sekarang juga sudah mulai larut, dan juga Naira tinggal sendirian di apartemennya, tidak baik jika Alva tidur bersamanya.
“Al,” Naira menepuk bahu Alva.
“Al, bangun.”
Alva membuka matanya dan langsung duduk, “Yang lain mana?” tanyanya sambil mengucek mata.
“Sudah pulang. Kamu ketiduran.”
Alva melirik arloginya dan seketika matanya berubah segar, “Gue harus pulang. Gue pamit.”