Bab 3. Hari pertama

2324 Kata
BAB 3 Hari pertama “SMA Kencana Indonesia kembali menarik perhatian publik. Setelah berhasil menjadi sekolah menengah terbaik kedua di Jakarta dan keempat terbaik di Indonesia, kini Prof. Nulin Murga yang merupakan salah satu staf pengajar di sana berhasil meng-kloningkan kucing emasnya. Seperti yang kita ketahui, berdasarkan penilitian, pada tahun 2007, kucing emas hanya tersisa 2500 ekor saja. Menurut informasi yang kami dapatkan, Prof. Nulin Murga memiliki keinginan untuk melestarikan kembali hewan-hewan yang terancam punah. Ia pun merealisasikan mimpinya melalui kucing langka peliharaannya terlebih dahulu.” Farah langsung menonaktifkan tv. Seperti suara kuda berlarian, seperti itu juga jantungnya bergemuruh.  __00__ “Piagam sudah dibawa, Kak?” “Sudah, Ma.” “Rapor?” “Sudah juga.” “Kamu siap-siap ya, Sarah. Siang nanti selepas dzuhur kita daftar sekolah.” “Asyik!” sorak Sarah kesenangan. “Emang Mama mau ke mana?”  “Kerja.” “Kerja?” “Iya. Mama sudah dapet kerjaan baru.” “Motor itu?” “Bukan. Itu Mama beli sendiri pake uang sisa toko kue.” “Kamu kenapa?” tanya Kaila ketika melihat wajah anaknya itu berubah masam. Farah menatap wajah Mamanya. Ada rasa bersalah terbersit di hatinya.  “Maafin Farah, ya, Ma?” “Kenapa minta maaf? Buat apa?” “Farah sedikit kesal karena Mama menyuruh Farah masuk SMA Kencana Indonesia.” Kaila tersenyum lalu mengelus kepala putrinya, “Gak papa, Nak. Mama paham, kok. Tapi ingat, Farah harus yakin dan percaya diri dengan kemampuan yang Farah miliki. Mama yakin sekali SMA Kencana Indonesia adalah pilihan yang tepat buat kamu.” Yang dikatakan Kaila ada benarnya. Farah kurang percaya diri dengan kemampuan yang ia miliki. Namun di sisi lain, ia merasa akan ada sesuatu yang menunggunya di sana nanti. Dan itu membuatnya tidak tenang. Selama duduk di bangku Pendidikan, Farah selalu mendapat beasiswa. Dan Farah berusaha untuk mendapatkan itu. Setidaknya satu tahun terakhir hal itu meringankan beban Mamanya.  Kehidupan Farah dulu jauh dari kata sulit. Alm. Papanya dulu adalah seorang pengusaha tekstil terbesar di kota Medan. Bahkan sudah ada beberapa cabang di pulau Sumatra. Namun, ada oknum yang membuat perusahaan Papanya bangkrut.  Alhasil mereka harus merasakan akibat dari perbuatan mereka. Tepat setahun yang lalu perusahaan Papanya resmi bangkrut, dan Papanya langsung jatuh sakit selama beberapa hari dan kemudian meninggal dunia. Setelah itu hidup mereka bergantung dari toko kue Mamanya. Namun sepertinya cobaan mereka belum berhenti di situ saja. Toko kue kecil itu sunyi pelanggan, mau tidak mau Kaila harus berani untuk mengambil keputusan. Maka dari itulah, Ia memutuskan untuk membawa Farah dan Sarah pindah ke Jakarta. “Mama sudah masakin telur dan roti bakar buat kamu, jangan lupa dimakan, ya” ujar Kaila kepada Sarah. Pagi ini ia tidak sempat untuk masak karena bangun kesiangan. Farah Kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Farah masih menggunakan baju seragam putih abu-abu seperti biasa. Mungkin dia akan terlihat menonjol di antara murid lainnya hari ini karena berseragam berbeda. Kemarin, Kepala sekolah bilang kalau stok seragam untuk murid sedang habis, jadi hari ini akan diberikan kepada Farah. SMA Kencana Indonesia memberikan baju seragam gratis kepada muridnya. Seperti yang Farah lihat kemarin, lima murid yang naik angkot bersamanya dan juga beberapa murid yang ia lihat ketika berjalan ke ruang kepala sekolah, mereka mengenakan celana dan rok berwarna biru muda, baju putih dengan rompi berwarna abu-abu dengan garis pinggir berwarna merah. Semua sudah siap. Farah menatap sekali lagi pantulan wajahnya. Ia memeriksa apakah sudah berpakaian rapi atau belum. Tas juga sudah bertengger di punggungnya. “Bismillah.” Farah berjalan keluar rumah. Kaila sudah menunggu di atas motor. “Ini, pakai,” Kaila menyerahkan helm kepada Farah. __00__ Begitu jarum pendek jam berhenti tepat di angka enam, Farah dan Mamanya sampai di depan gerbang SMA Kencana Indonesia. Gerbang berwarna putih itu masih tertutup rapat. Jarak beberapa langkah dari gerbang itu, ada sebuah pos kecil tempat satpam berjaga. Farah membuka helmnya, lalu menyerahkan kepada Mamanya. “Udah dong cemberutnya, ntar hilang tau cantiknya,” ujar Kaila. Kaila mencubit gemas pipi anak gadisnya itu. “Maafin Mama, ya. Gara-gara Mama kamu harus pergi sekolah sepagi ini.” “It’s okay, mom. Farah gak papa, kok.” “Terima kasih anak Mama. Ya udah, Mama berangkat dulu ya?” “Oke, Mam.” Farah mengambil tangan Kaila lalu mencium bagian punggungnya. “Belajar yang rajin ya. Mama yakin kamu pasti bisa mempertahankan gelar juara kamu.” Farah menghela napas panjang sebelum membalas perkataan mamanya. “Semoga, Ma. Farah juga belum yakin.” Kaila menyalakan motor bermerk Scoopy yang baru kemarin sore jadi miliknya. “Mama berangkat, ya. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, Ma.” Setelah Mamanya sudah tidak terlihat, Farah melangkahkan kakinya malas mendekati gerbang sekolah. Satpam yang berjaga terlihat melambaikan tangannya ke arah Farah sambil tersenyum ceria.  “Kok lesu amat, Neng? Semangat mudanya harus ditunjukin. Lihat bapak,” Satpam itu melompat-lompat sembari memperagakan beberapa gerakan senam yang familiar, “Ayo Neng ikutin bapak. Satu, dua, tiga. Ayo, Neng, buruan!” Farah hanya memperhatikan dari atas ke bawah melihat satpam itu begitu semangat di pagi hari, sedangkan dirinya merasakan aura kemalasan yang begitu kuat. “Masih lama, Pak?” “Jangan khawatir, Neng. Tua-tua begini, badan Bapak masih segar bugar.” “Maksud saya gerbangnya masih lama dibuka, Pak?” “Oh, sebentar,” Sang satpam melihat jam tangannya, “Lima belas menit lagi, Neng.” “Ngomong-ngomong, Neng udah sarapan?” “Belum, Pak. Soalnya tadi juga buru-buru.” “Bapak punya roti sama teh manis hangat. Neng mau?” Farah berpikir sejenak sebelum menjawab. Rasanya tidak ada salahnya untuk menerima penawaran dari satpam itu. Toh lagian ia juga belum sarapan, daripada kelaparan nanti dikelas. “Oh boleh, Pak. Tapi maaf ya Pak, jadi ngerepotin.” “Oh gak papa, Neng. Bapak malah seneng kalo ada yang nemenin.” Satpam itu pun mengeluarkan bangku panjang mirip yang ada di tempat-tempat warung bakso, lalu mempersilahkan Farah duduk. “Terima kasih, Pak.” Satpam itu kembali lagi dengan dua gelas teh dan beberapa potong roti. “Silahkan dimakan, Neng.” “Iya, Pak.” “Kelihatannya, Neng orang baru, ya?” Farah meneguk habis teh di mulutnya. “Iya, Pak. Baru pindah kemari dua hari yang lalu.” “Aslinya?” “Saya dari Medan, Pak. Keluarga dari Alm. Papa kebetulan ada di Jakarta Utara.” “Saya salut sama kamu.” “Salut? Salut kenapa, Pak?” “Jarang sekali ada orang yang masuk ke SMA ini di semester akhir begini.” “Maksud bapak?” Farah mulai tertarik berbincang lebih dengan Pak satpam. Satpam itu tersenyum, “Nanti kamu juga bakal tau.” “Ya udah, Neng. Bapak tinggal sebentar ya, mau ke kamar mandi,” ucapnya sambil memegang perut. “Oh, iya Pak.” Sekitar dua menit berlalu, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu Farah. Farah tersentak kaget. “Siapa kamu?” Ternyata yang menepuk bahu Farah adalah seorang gadis berambut sebahu. Matanya sayu, wajahnya pucat sekali. Farah menatap lamat-lamat gadis itu dari atas ke bawah, bajunya juga sedikit kotor dan kusut. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, gadis itu menarik tangan Farah secara paksa, sehingga tangan Farah sedikit terasa sakit. “Kamu siapa?” tanya Farah kedua kalinya. Tapi tetap saja, Farah tidak mendapat jawaban. Gadis itu berhenti di depan gerbang, ia merogoh sakunya, mengeluarkan kunci, lalu membuka gerbang. Begitu gerbang terbuka, tangan Farah kembali ditarik untuk mengikutinya. Tak lama setelah itu, Gadis tersebut menjatuhkan Farah di dekat pohon besar. “Aduh, “ ringkih Farah memegang sikunya yang berdarah. Tanpa ada sepatah kata pun, Gadis tersebut meningggalkan Farah. Kali ini dia tidak lagi berjalan, melainkan berlari keluar gerbang. Kelihatannya gadis itu mencoba kabur, terlihat dari larinya yang super cepat. “Tolong.” Saat mencoba berdiri, Farah mendengar ringkihan orang meminta tolong. Suara itu masih terdengar samar-samar. Farah menajamkan pendengarannya. “To-long, sa-ya.” Semakin jelas. Farah melihat ke belakang, ia yakin suara itu berasal dari balik pohon besar yang ada di belakangnya. Setelah berhasil berdiri, Farah langsung mendekati pohon tersebut. Semula ia takut-takut, dengan langkah kecil, akhirnya ia berhasil mendekati pohon. Farah terjerembam ke tanah, seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Ia berusaha menjauh dari apa yang dilihatnya. Satpam yang beberapa menit lalu berbicara dengannya sekarang sedang menahan sakit, tangannya memegangi pisau yang menancap di leher dan juga dadanya. “To-long saya, Neng,” Suaranya terbata-bata memanggil Farah. Farah ketakutan, ia syok bukan main. Darahnya serasa mengalir dua kali lebih cepat dari biasanya begitu juga detak jantungnya.  Tangan satpam itu bergerak perlahan menunjuk ke arah tempok di sebelah kirinya.   __00__ “Dasar pembunuh!” “Buat malu sekolah, aja.” “Pergi kamu! Dasar gak punya malu! “Buat rusak citra sekolah!” Saat itu Farah tengah diborgol tangannya dan dibawa oleh dua Polwan. Murid-murid yang lain terus menyorakinya dan juga melontarkan kata-k********r kepadanya. Farah hanya bisa menundukkan wajahnya malu. Air matanya terus keluar tiada henti. Bahkan suara tangisnya tak lagi keluar. Naira, Alva, Raka, Deva, dan Dave, mereka berlima baru saja turun dari mobil Raka.  “Itu ada apa?” Melihat keributan di pintu masuk SMA Kencana Indonesia Raka langsung lari ke sana dan disusul empat lainnya. “Itukan?” perkataan Alva terjeda. “Farah? Diborgol?” ucap Naira terkejut. “Ini pasti ada yang gak beres,” Raka mengeluarkan ponselnya, “Lo cari tau apa yang terjadi!” pinta Raka kepada Alva dan dibalas anggukan. Naira segera mengejar Alva, “Gue ikut.” __00__ Sekarang keadaan SMA Kencana Indonesia sudah tidak ricuh seperti tadi. Bel tanda pelajaran dimulai sudah berbunyi lima menit lalu. Para siswa pun sudah masuk ke kelas mereka masing-masing. Mereka masih membicarakan perihal Farah yang membunuh Pak Diko.  Para guru sempat kewalahan memerintah para murid masuk, namun begitu prof Gunawan turun tangan membawa senjata andalannya, semua murid langsung berhamburan pergi dan masuk ke kelas. Beberapa polisi masih memeriksa TKP dan ada juga yang berada di ruang kepala sekolah untuk mencari informasi mengenai siapa Farah dan menggali lebih dalam motif yang mendorong Farah melakukan itu. Alva, Naira, Dave dan Deva juga sudah masuk ke dalam kelas. Mereka berempat sedang menunggu Raka untuk membawa informasi mengenai Farah. Bu Ratna masuk ke dalam kelas. Hari ini, tepatnya hari Rabu di jam pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia. “Selamat pagi, anak-anak!” “Pagi, Bu!”   Dave menyikut Alva, “Raka kemana?” bisik Dave. “Baiklah anak-anak, buka buku kalian hal. 205.” Alva mengabaikan pertanyaan dari Dave dan itu membuat Dave kesal. “Woi, Raka kemana?” “Gak tau gue.” Jawab Alva ketus. Ia adalah tipe murid yang tidak bisa diganggu ketika belajar. “Buruan buka buku, lo!” “Kaku amat lo,” Dave membalik badannya untuk bertanya kepada Deva, “Raka kemana?” “Kantor polisi.” “Ngapain?”  “Gue juga gak tau.” Jarak sedetik kemudian, sepatu Bu Ratna melayang tepat mengenai kepala Dave. “Deva, Dave berdiri!” “Gara-gara lo, ini.” Dave dan Deva pun berdiri. “Apa itu fakta…. Dave?” Ini adalah kegemaran Dave. Untuk tipe murid yang sedikit songong dan senang ditantang hal semacam ini bagaikan durian runtuh baginya. Ia merenggangkan otot leher dan membunyikan buku-buku jarinya. “Fakta adalah suatu informasi yang bersifat nyata atau benar-benar terjadi. Fakta disertai dengan bukti-bukti yang mendukung kebenarannya. Sudah, Bu?” “Sebutkan ciri-cirinya!” “Ciri-ciri Fakta ada tiga, “ Dave membentuk simbol angka satu, “Pertama. Merupakan suatu kebenaran umum. Kedua. Disertai bukti berupa>“Silahkan duduk!” “Yuhu,” Dave bersorak gembira. Keadaan kelas masih tetap senyap dan juga tegang sejak sepatu Bu Ratna melayang. Ini merupakan situasi yang sering kali terjadi di jam Bu Ratna. Mereka yang disuruh berdiri akan diberikan seputar materi yang diajarkan, dan kalau tidak bisa menjawab, maka jangan harap hari mereka akan berakhir bahagia. Tapi untuk mereka para murid SMA Kencana Indonesia, sangat jarang ditemui orang yang tidak bisa menjawab. Jarang sekali. Jika ada, itu bukan karena mereka tidak tahu, tapi karena sudah terlanjur takut melihat wajah Bu Ratna yang kata mereka cukup menyeramkan. Tenggorokan mereka langsung serasa tercekat tidak bisa lagi bersuara. Menurut mereka, jika disuruh memilih membersihkan toilet atau menjawab pertanyaan Bu Ratna, mereka akan langsung memilih membersihkan toilet. Namun sayangnya, Bu Ratna tidak memberikan pilihan itu. Bu Ratna melepas kacamatanya lalu meletakkan Kembali ke dalam kotak, “Pada tanggal 5 Oktober 2004, Sulawesi Barat dengan ibukota Mamuju dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan dan menjadi provinsi Indonesia ke-33. Fakta atau tidak?” Deva menarik napas panjang sebelum menjawab, “Fakta. Pemekaran tersebut tertera dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2004 yang disahkan oleh Presiden RI dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.” Merasa belum puas, Bu Ratna menanyai satu soal lagi kepada Deva, “Bagaimana dengan ibukota Tanjung Selor?” “Tanjung Selor adalah ibukota dari Prov. Kalimantan Utara. Terbentuk sebagai Daerah Otonom Baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2012 tanggal 16 November 2012 tentang pembentukan Provinsi Kalimantan Utara, yang sebelumnya disahkan menjadi Provinsi baru dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 25 Oktober 2012.” Murid lainnya langsung bertepuk tangan meriah setelah Deva menyelesaikan jawabannya. Mereka memasang wajah takjub menatap salah satu anggota ghost genius itu. “Silahkan duduk!” Bu Ratna memakai Kembali kacamatanya untuk membaca buku materi, namun tiba-tiba ada yang mengetuk daun pintu dan itu adalah Raka. “Assalamualaikum, Bu. Permisi!” “Waalaikumsalam. Darimana saja kamu?” tanya Bu Ratna ketus seperti biasa. “Maaf, Bu. Saya terlambat. Sebelumnya saya ingin menyampaikan pesan dari kepala sekolah, semua guru diharapkan untuk berkumpul di aula.” “Baiklah. Hari ini kamu selamat. Silahkan duduk!” Raka pun langsung masuk ke dalam dengan perasaan lega karena selamat dari hukuman Bu Ratna, guru paling ditakuti di SMA Kencana Indonesia. Setelah membereskan semua barangnya yang dibawa masuk tadi, Bu Ratna langsung berpamitan, “Baiklah, anak-anak, pelajaran kita hari ini cukup di sini. Assalamualikum.” “Waalaikumsalam.” Begitu Bu Ratna keluar, para Ghost Genius yang lainnya langsung berkumpul di meja Raka untuk mendapat informasi. Naira yang pertama bertanya, “Lo dari kantor polisi, kan? Gimana keadaan Farah?  Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN