10 hari yang lalu.
“Jaga rumah, ya, Ratih,” jerit Hanum dari depan halaman rumah. Saat itu ibu beranak tunggal itu hendak pergi ke pasar guna mempersiapkan barang dagangannya esok hari.
“Iya, Bu,” jawab Ratih. Tangannya fokus melipat pakaian sembari menonton televisi.
Sudah menjadi rutinitas Ratih membantu semua pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Menjadi anak dari seorang pemilik warung sarapan pagi, mengharuskan ratih menyelesaikan pekerjaan rumah semuanya dengan gesit.
Ratih belajar dari ibunya, mengerjakan segala sesuatu itu harus bisa mempersingkat waktu. Semisal mencuci piring yang seharusnya dari sepuluh menit, menjadi lima menit saja, atau paling lama menjadi 7 menit.
Malam ini tugasnya tinggal melipat pakian. Piring sudah dicuci semua. Beberapa kue basah sudah dibuat juga. Ibunya pergi ke warung untuk membeli gula, plastik dan kertas nasi karena semua yang disebutkan barusan sudah habis. Jadi Hanum harus belanja mala mini juga agar besok tidak lagi kewalahan.
Meskipun warung mereka terbilang kecil, Hanum hampir setiap hari kewalahan menerima pesanan. Warung mereka menjadi sasaran utama murid-murid dan para guru SMA Kencana Indonesia. Oleh sebab itu Hanum tidak ingin besok di saat-saat sedang ramai-ramainya, malah ia harus ke warung untuk membeli gula dan segala macam lainnya.
Usai melipat pakaian, Ratih menyusun pakaian miliknya dan milik ibunya di lemari masing-masing. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar, dengan niatan untuk mengerjakan tugas yang diberikan Bu Ratna. Meskipun tugas itu seminggu lagi baru dikumpulkan, tapi alangkah baiknya jika ia mengerjakan sekarang di mana sedang ada waktu kosong.
Suasana yang paling Ratih sukai adalah belajar malam hari, sembari menikmati angin malam yang berhembus melalui jendela di depan meja belajarnya yang sengaja ia buka. Sambil memandangi bulan, Ratih tersenyum. Aksesoris langit yang paling Ratih suka adalah bulan. Bukan hanya sekedar suka saja, namun ada alasannya.
Menurut Ratih, bulan itu mau apa pun yang menutupinya, mau apa pun yang merubah bentuknya, ia tetap bersinar. Seolah apa pun rintangan yang sedang ia hadapi sekarang, bulan masih tetap mampu memberikan kebahagian bagi orang-orang di bumi yang hanya sekedar ingin menatapnya di langit nun jauh di sana.
Itulah yang Ratih inginkan. Ditinggalkan ayahnya, tidak membuat Ratih hancur begitu saja. Dia akan tetap bersinar, mau bagaimana pun caranya.
Dan itu terwujud. Ratih menjadi satu-satunya murid baru yang berhasil menarik perhatian para siswa di SMA Kencana Indonesia. Bukan hanya dari golongan angkatannya saja. Para Kakak kelas pun banyak yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hari Ratih.
Tapi gadis itu menolaknya. Bukan karena sombong, melainkan memang Ratih belum ingin berpacaran. Dia masih mau fokus pada Pendidikan. Salah satu cita-cita Ratih adalah untuk mengangkat derajat orang tuanya. Ibunya mati-matian mencari uang, namun ia malah asyik berpacaran.
Namun sekarang tekad untuk meraih cita-cita itu telah menghilang. Tekad itu telah tergantikan dengan rasa bersalah yang teramat sangat. Air mata Ratih menetes. Ia menutup wajahnya menggunakan dua telapak tangannya. Hatinya terasa sangat nyeri, sakit jika ia teringat kejadian waktu itu.
Ratih menghela napas kasar. Ia memukul-mukul dadanya kuat. Ratih sudah hancur. Ratih yang katanya ingin menjadi seperti bulan—tetap bersinar mau apa pun yang terjadi—tidak lagi memegang teguh prinsip itu. Ratih benar-benar hancur.
Ingin rasanya dia memutar waktu agar kejadian itu tidak terjadi padanya. Ratih merutuki dirinya. Ratih benar-benar hancur. Tapi yang bodohnya, dan Ratih juga tidak tahu kenapa ia tidak bisa membongkar siapa yang melakukan hal tersebut kepadanya.
Tiba-tiba ponsel Ratih bergetar. Ada pesan masuk.
Ratih menarik napas, meraih ponsel di samping buku tugasnya.
“Tolong mama.”
Satu kalimat itu berhasil membuat tangis Ratih terhenti berubah menjadi rasa panik. Segera ia keluar dari rumah, mencari mamanya. Ratih tidak tahu, bahwa nyawanya akan berakhir di sana.
__00__
Tiba di kamar Dinda, Alva membantu kakaknya berbaring di atas tempat tidur. Dari jalan tadi hingga sekarang, jajanan yang dibelikan Alva belum habis, masih tersisa setengah. Setelah selesai, Dinda meminta Alva mengambilkan tahu tadi yang sebelumnya diletakkan di atas nakas.
“Kamu mau lagi?”
Alva menggeleng. “Nggak, Kak. Kakak makan aja.” Tiba-tiba ia teringat, satu harian ini Alva belum ada melihat papanya. “Papa ke mana, Kak?”
“Lho, kok tanya Kakak?”
Ah, iya. Alva lupa, kakaknya saja baru pulang tadi dan belum ada sepuluh menit semenjak menginjakkan kaki turun dari mobil tadi.
“Papa ada jengukin kakak gak?”
“Terakhir kali dua hari yang lalu. Kenapa?”
“Gak ada apa-apa, Kak. Cuma mau tanya aja.” Alva menaikkan selimut. “Ya, udah. Kakak istirahat, ya. Alva mau balik ke markas.”
“Hati-hati, ya.”
Alva membalas imbauan kakaknya barusan dengan senyuman.
Segera Alva kembali bepergian dengan mobilnya menuju markas.
__00__
Pukul 19.00
Semua termenung, tenggelam dalam pikiran mereka semua. Sesuai denga napa yang dikatakan Raka tadi. Raka memberitahukan bahwa dirinya sudah meminta tolong kepada papanya untuk membantu mereka. Awalnya Naira tidak setuju dengan itu. Dia bukan tidak percaya dengan papa Raka. Namun ada sesuatu yang nantinya mungkin saja bisa memberatkan mereka.
Raka berhasil meyakinkan Naira bahwa hal yang ia takutkan tidak akan terjadi. Raka memberitahukan juga bahwa investigasi yang akan dilakukan papanya ini bersifat rahasia dan tertutup. Hanya papanya seorang dan beberapa bahawan papanya saja yang akan ikut campur dan bekerja sama dengan mereka mengungkap kasus ini.
Farah tidak keberatan sama sekali. Justru ia malah senang mendengarnya. Lagi pula, memang pada dasarnya ini bukanlah tugas mereka. Mereka belum dan bahkan tidak pantas untuk melakukan hal semacam ini. Begitulah yang ada dalam pemikiran Farah.
Sama halnya dengan Farah, Deva juga tidak merasa keberatan sama sekali. Yang ada di pikirannya, jika Agung ikut turun tangan untuk memecahkan kasus ini, maka jamnya di rumah bersama mamanya akan lebih banyak lagi. Dan satu lagi, jam tidurnya akan kembali normal seperti biasa. Bukankah seharusnya hal semacam ini disyukuri. Itu versi Deva.
Dave merasa apa yang Raka usulkan adalah sebuah ide bagus. Jujur Dave sudah lelah harus terus-terusan menyimpan rasa bersalah dalam hatinya. Jika dengan bergabungnya Papa Raka dalam tim ini nantinya bisa mempercepat proses menemukan pembunuh Maya, maka tidak ada salahnya untuk mencoba. Lagi pula, Agung bukanlah polisi sembarangan. Dave yakin, dengan bergabungnya Agung bersama mereka, segala sesuatu akan lebih terorganisir dan menjadi lebih cepat.
Alva sudah tidak mempunyai keluhan apa pun lagi. Ia satu kubu dengan Naira yang semula menolak, namun setelah diyakinkan, akhirnya percaya.
Raka mendengar namanya dipanggil. Ia pergi ke atas untuk melihat. Tak lama Raka kembali.
“Ke atas dulu, yuk, kita makan malam.”
Naira langsung berdiri, wajahnya terlihat bersemangat sekali. Deva langsung meneriakinya.
“Biarin. Namanya juga lapar,” ucap Naira membalas ledekan Deva.
“Ayo, naik.”
Mereka berlima mengikuti Raka naik ke atas menuju ruang makan. Ternyata ini adalah ide Kaila. Kaila memberikan sarah kepada Marsita untuk mengajak teman-teman Raka makan malam bersama. Kaila juga sudah menceritakan kepada Marsita bahwa Farah adalah anaknya.
“Makan yang banyak, ya.”
“Iya, Tante.” Naira tidak akan menyia-nyiakan kesempatan besar semacam ini. Meskipun tadi isi kepalanya seperti benang kusut, namun ketika mendnegar kata makan, seketika benang yang kusut tadi menjadi tergulung rapi seperti baru.
Apa pun masalahnya, apa pun kondisinya, jika diajak makan, maka semua akan menjadi baik-baik saja. Itulah seorang Naira.
“Enak banget, Tante,” puji Naira sambil menikmati kepiting.
“Enak, kan? Tante Kaila yang masak pasti enak,” balas Marsita.
Di antara semunya hanya Dave saja yang belum memakan apa pun. Dia termenung, menatap kosong ke depan, menjadikan tangan kirinya sebagai penopang kepala. Tangan kakannya mencacah nasi di piring.
“Dave?” panggil Marsita.
Hening. Dave masih tenggelam dalam pikirannya.
“Woi.” Deva menyenggol bahu Dave membuatnya sadar.
“Dave?” panggil Marsita sekali lagi.
“Ya, Tante,” jawab Dave cepat.
“Kamu gak makan?”
“Gak selera tante.”
Kaila mendekati Dave diikuti Marsita.
“Tante tuangin sop ayam ini, ya. Pasti kamu lahap makannya nanti,” ujar Kaila menuangkan kuah sop ke nasi Dave.
Benar saja. Mood makan Dave seketika muncul setelah menelan sendokan pertama nasi dan kuah sop yang barusan dituangkan Kaila. Luar biasa. Masakan Kaila tiada tandingannya. Dave melanjutkan melahap habis nasi yang ada di piringnya.
Marsita senang melihat semua teman-teman anaknya makan dengan lahap. Apalagi Kaila, ia bahagia sekali karena mereka semua menyukai masakannya. Tidak salah dahulu ia lebih memilih untuk ikut ibunya memasak ketimbang bermain tidak jelas di hutan sewaktu kecil dulu.
Setelah sesi makan selesai, mereka hendak menawarkan diri membantu Kaila membereskan semuanya, namun dengan cepat dan penuh penekanan, Kaila menolak itu. Marsita turut ambil andil, ia menyuruh Raka membawa teman-temannya ke ruang tamu saja.
Tidak ingin membantah, akhirnya mereka menuruti perintah Marsita. Setelah semua anak-anak pergi, Marsita yang membantu Kaila membereskan semuanya. Kaila memohon agar Marsita jangan melakukan itu. Tapi wanita yang berstatus sebagai majikannya itu menolak. Dia bersikeras mau membantu Kaila. Alhasil, Kaila harus pasrah dengan keputusan yang Marsita buat. Mereka berdua bersama-sama mencuci piring dan mengelap meja.
Di ruang tengah, Raka melirik jam dinding. Sepuluh menit lagi papanya akan pulang jika tidak ada tugas tambahan. Itu artinya, sebentar lagi mereka semua akan bertempur bersama. Hari yang tersisa semakin menipis, jika tidak ingin hari berlalu dengan sia-sia, maka mereka harus bertindak secepat mungkin. Yang harus mereka lakukan adalah memecahkan satu persatu teka-teki, lalu segera menemukan dalang utamanya.
Bersambung...