Bab 31. H-5 Bagian 7

1586 Kata
10 hari yang lalu. Ratih tersadar dari pingsannya. Perlahan ia mulai membuka matanya. Sembari mengumpulkan nyawa, ia memperhatikan sekitar. Saat hendak bangkit, barulah ia sadar bahwa kaki dan tangannya diikat, serta mulutnya disumpal dengan kain. Ratih berusaha menjerit meminta tolong, tidak ada yang mendengar. Ratih menggerak-gerakkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri. Nihil. Ikatan itu cukup kuat sehingga Ratih kewalahan untuk melepaskannya. Ratih menjerit lagi. Namun karena sumpalan kain di mulutnya, suara yang keluar hanya seperti geraman saja. Ratih menyerah. Tenaganya mulai habis untuk melakukan itu saja namun ia sama sekali tidak terbebas. Diperhatikannya sekeliling. Ruangan yang tidak masuk sama sekali cahaya matahari. Tanpa jendela, dan ventilasi untuk udara. Ruangan tempatnya bereda sekarang sangat-sangat pengap sekali. Aroma ruangan itu pun sulit untuk dijelaskan. Bau minyak, kayu, besi berkarat berpadu menjadi satu. "Tolong!" jerit Ratih lagi. Mendadak dia mendengar suara langkah kaki. Seketika Ratih menggerak-gerakkan tubuhnya layaknya cacing kepanasan dengan tujuan agar menimbulkan suara berisik berharap ada yang mendengarnya. "Tolong!" Tak lupa Ratih juga berusaha menjerit sekuat mungkin. "Tolong!" Suara tapak kaki itu semakin terdengar keras. Itu artinya dia berjalan ke arahnya. Ratih tidak mau kesempatan itu hilang. Ia semakin semangat menimbulkan bunyi agar orang tersebut mendengarnya. Dari kejauhan, Ratih mulai bisa melihat sosok itu mendekat. Namun lama kelamaan, wujud sosok itu menggunakan pakaian serba hitam lengkap dengan topeng melekat di wajahnya. Seketika tubuh Ratih melemah. Sia-sia sudah dirinya membuang tenaga. Ratih masih mengingat dengan jelas sosok yang berpakaian seperti itu. Sosok itulah yang membawanya ke ruangan ini. Sosok itulah yang telah menculiknya. Ratih menelan ludah. Darahnya berdesir hebat ketika sosok bertopeng itu berhenti tepat di hadapannya. Terdengar decakan dari sosok itu. Ratih beringsut menjauh. Dengan tenaga yang hanya tersisa sedikit itu, ia masih berusaha untuk menyelamatkan diri. Sosok itu menundukkan tubuhnya. Tanpa basa-basi, dicekiknya leher Ratih hingga gadis itu tidak bisa bernapas. Laki-laki bertopeng itu tertawa. Semakin lama semakin kuat. Melihat Ratih tersiksa tidak bisa bernapas seperti itu membuatnya merasa bahagia sekali. Terlihat dari tawa yang dia keluarkan. Tawa dengan penuh rasa kemenangan itu, membuatnya terlihat seperti bukan manusia. Sosok itu melepaskan cekikannya. Ratih menarik napas, mengambil napas sebanyak-banyaknya. Lehernya sakit bukan main. Saking kuatnya cekikan sosok itu, Ratih sampai tidak bisa menelan ludahnya. Ratih tak henti-hentinya berdoa memohon agar ia diselamatkan dari tempat ini. Dia takut sekali. Ratih tidak ingin nyawanya berakhir di sini. Sosok yang sekarang sedang menatapnya di balik topeng hitam itu membuat rasa takutnya kian bertambah. Beragam pikiran buruk silih berganti menghantui pikirannya. Ratih benar-benar takut. Tubuhnya menggigil karena saking takutnya. Detak jantungnya sudah berirama tidak karuan. Tubuh besar itu bisa kapan saja melenyapkan nyawanya. Sosok itu membalik badan. Dia diam mematung di posisinya. Tak lama ia berjalan pergi. Ratih terus menatap punggungnya hingga sosok itu lenyap ditelan kegelapan. Ratih menghela napas kasar. Setidaknya untuk saat ini ia masih selamat walaupun tidak tahu sampai kapan sisa waktu hidupnya. __00__ “Ini, Pa.” Raka menunjukkan bukti-bukti yang mereka temukan semuanya kepada Agung tanpa tertinggal satu pun. Mulai dari video dan foto Pak Diko, sobekan kain yang ditemukan Alva, gantungan kunci bertuliskan nama ‘Maya’, bukti chat dan transfer dari Bu Ratna ke laki-laki bengis, foto bayangan dan mobil serta data diri pemilik mobilnya. Dan tak lupa juga, identitas Andi dan Andri. Tak terlewatkan satu pun. Tak lama setelah mereka semua berkumpul di ruang tengah tadi, terdengar suara mesin mobil Agung. Tepat pukul 20.00 sesuai dengan yang Agung bilang bahwa ia akan pulang di jam segitu. Mereka semua langsung pergi ke garasi, begitu juga Agung. Bahkan dirinya belum sempat makan dan ganti pakaian. Karena menurutnya ini adalah keadaan darurat, makai a tidak boleh membuang waktu sedikit pun. Sebelum anaknya menyerahkan bukti-bukti kepadanya, Raka dibantu yang lainnya menceritakan semua apa yang telah mereka lalui tanpa terlewat sedikit pun. Agung menyimak dengan seksama. Mulai dari Farah yang menerima pesan berisi foto dan video dari nomor yang tidak dikenal, hingga yang terakhir, kebenaran siapa yang menyewa seseorang menjadi satpam dadakan. “Lalu bagaimana dengan Andi dan Andri?” “Mereka sudah pergi entah ke mana. Pasti Bu Ratna sudah menduga hal ini akan terjadi, makanya ia mengamankan kedua anaknya,” ujar Raka. Di tangannya memegang sobekan kain jas dokter. “Ini.” Naira berdiri membawakan laptop kepada Agung. Diperlihatkannya monitor laptopnya kepada Agung. “Ini tempat di mana Andi dan Andri terlihat terakhir kali.” Naira memperbesar gambar di layar monitornya. “Ini bandara internasional Sydney.” “Ini kapan?” tanya Alva. “Dua hari yang lalu.” “Ka, ambilkan ponsel Papa di mobil.” Raka mengangguk bersedia, lalu bergegas naik menuju halaman untuk mengambilkan ponsel papanya. “Siapa Andi dan Andri ini sebenarnya?” Agung bertanya kepada semuanya. “Entahlah, Om. Tapi yang pasti, mereka berdua ini adalah orang terdekat Bu Ratna.” Alva berujar. “Kalau bukan, Bu Ratna tidak akan melakukan hal semacam ini.” “Menurut data yang saya temukan, Om, mereka ini adalah alumni SMP Guna Abadi.” “SMP terbaik se-indonesia itu?” Naira mengangguk. “Mereka masuk ke SMA Kencana Indonesia karena di sini lah keluarga mereka. Naira berasumsi, Bu Ratna pasti ibu mereka.” “Untuk saat ini itu bisa menjadi hipotesis. Kita hanya bisa mengetahui motif sesungguhnya yang mendasari perbuatan Bu Ratna itu dengan bertanya langsung kepadanya.” “Tapi bagaimana caranya, om?” “Kita harus membuka paksa mulutnya untuk berbicara.” “Ini, Pa.” Raka kembali dengan ponsel papanya di tangannya. Agung menyalakan ponselnya, mencari daftar kontak lalu menghubungi seseorang. Mereka semua sedang menunggu Agung selesai dengan teleponnya. Terlihat dari bahasa raut wajah Agung, sepertinya ia dan teman teleponnya sedang membahasa hal yang serius. Melihat bagaimana cara kerja dan penanganan yang Agung lakukan saat ini membuat Dave semakin yakin bahwa pembunuh Maya akan segera ditemukan. Jujur saja, Dave sudah tidak sabar ingin meluapkan emosinya pada manusia biadab yang berani membunuh Maya. Deva bisa melihat dari raut wajah Dave, sepertinya laki-laki yang memiliki nama hampir sama dengannya itu sangat tidak sabar menunggu masa itu tiba. Masa di mana pembunuh Maya terungkap. Farah merasakan getaran di sakunya. Sebuah pesan dari mamanya. Perasaan lega datang menghampiri dirinya. Mamanya sudah pulang dan mengatakan agar menginap saja di sana kalau memang tugasnya belum selesai. “Siapa, Farah?” “Mama aku. Beliau bilang aku boleh menginap.” Naira ber-oh. “Beres,” ujar Agung tiba-tiba saat kembali sesudah selesai mengakhiri sambungan telepon dengan temannya. “Om sudah telpon teman Om yang di Sydney. Beliau bilang, beliau bersedia membantu kita. Bersama dengan teman-temannya, mereka akan mencari dan menangkap Andi dan Andri.” “Dengan begitu kita bisa memaksa Bu Ratna untuk bicara?” Agung mengangguk puas. Tebakan Alva tepat sasaran. Setelah beberapa hari perasaan lega berdiam diri di dalam diri Dave, hari ini perasaan itu seakan mendapatkan nyawa baru. Baru saja bergabung, dan Agung sudah membuat sebuah jalan baru yang cerah, yang bisa membawa mereka secepatnya menuntaskan kasus ini. Deva ikut senang melihat Dave mulai merubah ekspresi wajahnya yang semula ditekuk, kini mulai terlihat aura semangat kembali. Sama halnya dengan Naira. Ia tahu bahwa Dave sekarang pasti puas dengan keputusan yang ia setujui. Ternyata ide Raka bisa membuat mereka segera memecahkan kasus ini. Alva menepuk bahu Raka bangga sebagai tanda apresianya karena telah memikirkan ide cemerlang itu. Dengan bergabungnya Agung di tim mereka, pasti semuanya akan lebih teratur dan cepat terselesaikan. __00__ Sampai di rumah, Kaila langsung pergi ke kamar Sarah untuk memeriksa apakah anaknya itu sudah tidur atau belum. Begitu sampai di sana, anak bungsunya itu masih tekun membaca komik favoritnya yang entah sudah volume ke berapa. “Kok belum tidur sayang?” Kaila menghampiri anaknya yang sedang berbaring dengan komiknya. “Mama?” Sarah merubah posisinya menjadi duduk. “Belum ngantuk, Ma.” Kaila mengelus lembut rambut anaknya. Rasanya tidak tega membiarkan anak berusia 9 tahun itu harus sendirian di rumah setiap hari. Kaila harus meninggalkannya karena bekerja, dan kakaknya juga harus meninggalkannya karena mengerjakan tugas persiapan untuk ujian. Namun tidak ada yang bisa Kaila lakukan. Dia memang harus bekerja agar bisa memberikan kedua anaknya itu makan dan juga menyekolahkan keduanya. Kasihan rasanya. Anak yang seharusnya di umur yang demikian menikmati masa bermain bersama orang tuanya, namun harus mengabiskan waktu luangnya dengan komik, komik, komik. “Tugas kamu udah selesai, Nak?” “Udah, Ma.” “Makan, yuk. Mama bawain martabak.” “Martabak, Ma?” Sarah bergegas turun. “Sarah mau.” Ia berlari duluan keluar kamar, diikuti Kaila dari belakang. Melihat Sarah makan dengan lahap seperti itu membuat rasa capeknya seketika hilang. Oleh sebab itu, untuk membayar waktu-waktu yang seharusnya Sarah terima, Kaila harus menyisihkan waktu selepas pulang bekerja bermain dengan Sarah. Itu pun kalau anak bungsunya belum tidur saat dirinya pulang. Terkadang sering kali Kaila pulang terlambat, dan Sarah sudah tidur duluan. “Kakak ke mana, Ma? Belakangan ini jarang banget di rumah,” ucap Sarah dengan mulut penuh. “Kakakmu ada tugas sekolah, Nak. Lima hari lagi juga ujian kenaikan kelas.” Kaila mengelap smping-samping mulut anaknya yang cemok terkena selai coklat dari martabak. “Kamu juga mau ujian, kan?” “Iya, Ma.” “Udah belajar?” Sarah mengangguk. “Sarah mau apa dari Mama kalau nanti dapet juara?” Sarah terlihat berpikir sejenak. “Akuarium boleh, Ma?” “Akuarium?” “Iya, Ma. Akuarium yang besar banget, yang mirip dengan yang Papa belikan di rumah dulu.” Hati Kaila seketika terenyuh. Sepertinya anak bungsunya itu sedang merindukan Alm. Papanya. Kaila menahan bendungan air matanya agar tidak tumpah. “Ya, udah. Nanti kalau Sarah dapet juara satu Mama belikan.” “Janji, Ma?” Kaila mengangguk. “Janji.” Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN