Bab 29. H-5 Bagian 5

1517 Kata
Malam itu gadis bernama Maya tidak bisa tidur. Dalam kondisi kamar yang gelap, tanpa penerangan sedikitpun, Maya menghadap ke jendela dengan mata tertutup. Dia memperhatikan bulan sempurna dari luar jendela. Entah ada angin apa hari itu, tapi Maya bisa merasakan kedamaian memandangi bulan seperti itu. Sampai tiba-tiba bulan itu tertutup dengan kepala sosok laki-laki memakai topeng gelap. Maya kaget. Ia berniat untuk keluar dari kamarnya. Terlambat. Sosok itu sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar Maya, meringkus tubuhnya. Maya dipeluk erat dari belakang, mulutnya ditutup menggunakan satu tangan laki-laki itu. Maya meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tidak terjadi apa-apa. Lagi-lagi ukuran tubuh menjadi sumber masalah. Maya tidak berhasil melepaskan dirinya dari pelukan laki-laki itu. Dengan sekali pukulan di leher, Maya pingsan. Tidak ingin membuang waktu, laki-laki itu menutup mulut Maya dengan lakban, dan juga mengikat tangan dan kakinya. Tak lama pintu kamar Maya terbuka. Dua orang temannya, sama-sama memakai topeng hitam masuk ke dalam. Laki-laki yang meringkus Maya sudah selesai melakukan tugasnya. Sekarang giliran mereka berdua. Laki-laki pertama keluar melalui tempat pertama ia masuk. Laki-laki itu menggunakan tali untuk bisa naik ke lantai dua, tempat kamar Maya berada. Sisanya, dua laki-laki itu membopong Maya, menuruni tangga, membawanya ke dalam mobil mereka. __00__ "Apa kita tanyakan langsung ke Bu Ratna?" Ucapan Farah membuat mereka semua yang semula fokus pada pikiran masing-masing, menoleh ke arahnya. "Gue gak yakin Bu Ratna mau memberitahukan kebenarannya." "Gue sependapat dengan lo, Nai. Bu Ratna pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya." "Terus kita harus gimana?" Farah bosan hanya duduk saja. Sudah setengah jam lebih sejak ia selesai sholat, namun tidak ada pergerakan yang mereka lakukan. Mereka semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Al?" "Hm?" Naira berdiri menghampiri Alva. "Udah ketemu pemilik mobil itu? Siapa namanya?" "Pak Handoko." "Nah, iya. Gimana?" "Belum, Nai. Entah di mana dia bersembunyi." Alva membuang napas kasar. Seharusnya keadaan bisa lima belas persen lebih baik jika mereka bisa mendapatkan Pak Handoko. Namun mereka terlambat menyadari, sehingga Handoko sudah bersembunyi melarikan diri entah ke mana. Benar apa yang orang-orang katakan. Jika memiliki uang, segala sesuatu pasti mudah. Raka meneguk sisa air mineral di atas meja. Ia tidak bisa mendapatkan solusi apa pun. Sudah h-5 dan sekarang sudah menjelang sore. Muncul dalam pikiran Raka apakah mereka akan bisa menyelesaikan teka-teki yang kian sulit ini? Deva fokus memainkan ponselnya. Mamanya mengirim pesan, menyuruh Deva agar jangan sampai lupa makan dan jangan sering-sering pulang larut malam. Deva membalas pesan itu, mengatakan agar mamanya jangan khawatir. Deva makan dengan baik, dan tepat waktu. Juga berusaha akan pulang lebih cepat. Alva berdiri, menarik papan tulis, meminta semua fokus ke arahnya. "Bukti terkuat sekarang mengarah kepada Bu Ratna." Semua memfokuskan penglihatan dan pendengaran mereka kepada Alva. "Yang sampai sekarang belum kita ketahui kebenarannya adalah siapa yang membunuh Maya, keberadaan Ratih dan Pak Diko, serta siapa itu Handoko dan di mana dia sekarang," sambung Alva. Farah mengeluarkan ponselnya setelah merasakan getaran. Ada notifikasi pesan masuk. Saat dibuka, tangannya seakan kehilangan kekuatan. Ponsel Farah jatuh ke bawah. Ia terdiam mematung dengan tubuh bergetar. Melihat perubahan ekspresi di wajah Farah, Naira langsung meraih ponsel Farah yang terjatuh. Foto itu juga membuat Naira terkejut bukan main. "Lihat ini." Farah memberikan ponsel itu kepada Alva. Foto itu berisi gambar seorang perempuan yang sedang duduk di kursi, dengan tangan dan kaki terikat. Wajah babak belur, dan satu lagi, perempuan itu telanjang tanpa sehelai kain pun menutupi bagian tubuhnya. Napas Farah tidak teratur. Lagi-lagi ia melihat kekerasan yang di luar nalar terjadi pada wanita. Dia bisa mengingat wajah itu. Sosok wanita yang menarik paksa tangannya agar mengikutinya masuk ke pesta sekolah di hari pertama Farah. Penasaran, Deva mengambil ponsel dari tangan Alva. Ia terkejut. Itu Ratih. Raka ikut melihat. Apa lagi ini? Kenapa mereka hobi sekali menyiksa manusia? Apakah hati nurani mereka sudah mati? Atau mereka sudah tidak lagi memiliki naluri kemanusiaan sehingga bisa dengan mudahnya melakukan hal semacam itu kepada mereka yang notabenenya manusia? Jika terus dibiarkan seperti ini, bisa saja akan semakin banyak menelan korban. Tidak ada waktu lagi. Mereka harus secepatnya mendapatkan semua pelaku perbuatan keji ini, agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Raka tidak punya pilihan lain, selain meminta bantuan kepada papanya. Mereka tidak bisa berbuat lebih tanpa bantuan pihak kepolisian. Mereka hanyalah anak kelas 2 SMA yang mencoba memecahkan kasus yang serumit itu. Sejatinya mereka bukan memecahkan kasus, melainkan sedang dipermainkan. Raka hendak menelpon papanya sebelum Alva mencegahnya. Dia tidak ingin hal-hal yang sebelumnya hanya mereka yang mengetahui, dengan mudah diberitahukan kepada pihak kepolisian. Namun dengan tenang Raka meyakinkan, bahwa bantuan yang akan diberikan papanya adalah berupa investigasi tertutup. Hanya papanya dan beberapa bawahannya saja yang ikut membantu mereka. Raka menjanjikan itu. Alva setuju akan hal itu. Toh mereka juga tidak bisa melakukannya sendirian. Mereka butuh orang yang jago dalam bidang itu. Di telepon, papanya merespon baik permintaan Raka. Agung mengatakan bahwa ia baru bisa menemui Raka dan sahabatnya setelah selesai membereskan tugas di kantor. Mungkin sekitar pukul 20 nanti malam. Raka setuju. Sembari menunggu sepertinya mereka harus istirahat sejenak, mengistirahatkan pikiran dan tubuh mereka. Beberapa hari ini mereka semua kurang istirahat. Bukan hanya itu, makan mereka juga tidak teratur. Sarapan jarang dilakukan. Mereka bangun terlambat, lalu bergegas mempersiapkan diri untuk bersekolah. Alva harus ke rumah sakit. Ia mengatakan kepada semuanya ada urusan penting. Alva meminta Raka untuk segera menghubunginya jika nanti papanya datang. Sampai di rumah sakit, Alva tersenyum melihat kakaknya sudah membereskan barang. Sekarang Dinda tengah duduk di kursi roda, sembari membaca sebuah n****+ yang Alva bawakan tempo hari untuk sebagai hiburan bagi Dinda di kala suntuk. Seorang suster tengah merapikan tempat tidur Dinda. Mengganti sprei dan juga sarung bantal. Alva mengucapkan banyak terima kasih kepada suster itu karena bersedia merawat kakaknya selagi Alva tidak ada di sana. Berkat bantuan pihak medis di rumah sakit ini, kakaknya bisa lekas pulih. Masih dengan kepala diperban, tapi keadaan Dinda sudah jauh lebih pulih. Dinda terlihat bersemangat, sudah bisa tersebut seperti biasa. Tinggal kakinya saja. Butuh waktu sekitar tiga bulanan untuknya agar bisa lepas dari kursi roda. But it's okay. Dinda harus bersyukur setidaknya dia masih diberikan kesempatan untuk hidup, dan menjaga adik kesayangannya. Alva membawa Dinda untuk menilik sebentar perempuan yang ia selamatkan tempo hari lalu saat hendak bunuh diri, melompat dari atas gedung rumah sakit. Alva sudah menceritakan hal itu kepada Dinda. Dan Dinda juga meminta kepada Alva agar membawanya untuk bertemu dengan perempuan tersebut. Maka hari ini, sebelum Dinda pulang ke rumah, Alva berniat mempertemukan mereka berdua. Perempuan dengan nama Raisa itu tengah memakan buah saat Alva dan Dinda masuk. Berbeda dari sebelumnya, jika dulu saat Alva pertama kali menyelamatkannya, perempuan itu sangat-sangat tidak bersemangat. Ia meronta-ronta meminta Alva agar membiarkannya bunuh diri. Gairah hidup, perempuan itu sudah tidak lagi mengenal apa itu gairah hidup. Yang ada di pikirannya saat itu bagaimana cara agar bisa cepat kabur dari masalah berat yang ia hadapi. Namun sekarang, wajah perempuan itu sudah berseri. Ia sudah jauh berbeda dari waktu itu. Sekarang, perempuan tersebut sudah kembali mengenal apa itu gairah kehidupan. Seberapa penting kehidupan, dan seberapa beruntungnya ia yang saat ini sedang membawa kehidupan juga bersamanya. Benar. Perempuan itu hendak bunuh diri setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, namun sang pacar memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Pacarnya dengan mudah mengatakan bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan dia juga melakukan itu bukan sepakat kemauan dirinya saja, melainkan sang perempuan juga ingin melakukan hubungan intim bersama. Raisa merasakan sakit hati luar biasa sehingga ia kehilangan akal sehatnya. Perempuan itu tidak berani untuk pulang ke rumah, mengatakan hal sejujurnya kepada keluarganya. Raisa malu, sangat-sangat malu. Bahkan jika seandainya diberitahukan pun, pasti keluarga mereka tidak akan menerima Raisa lagi. Oleh sebab itu, Raisa mengambil jalan pintas--bunuh diri. Namun itu semua sudah berhasil Raisa lalui. Berkat Alva, ia sudah bisa menerima dirinya yang sekarang. Raisa bersyukur bisa dipertemukan orang yang menyelamatkan nyawanya. Setelah berbincang santai dengan Raisa dan juga memberikan sepatah dua kata nasihat kepadanya agar tetap kuat, Dinda memutuskan untuk pulang. Ia ingin cepat sampai ke rumah, lalu merebahkan tubuhnya di kasur empuk. Usai berpamitan, Alva mendorong kursi roda kakaknya keluar menuju parkiran. Alva membuka pintu mobil, membantu kakaknya untuk naik terlebih dahulu baru kemudian memasukkan kursi roda ke dalam mobil, baru kemudian dirinya yang masuk. Di pertengahan jalan, Dinda melihat pedagang jajanan favoritnya. Dinda meminta Alva untuk membelikannya jajanan itu. Rasanya sudah lama Dinda tidak memakannya. Jajanan itu adalah tahu gejrot. Dinda sangat suka itu, apalagi disantap dengan rawit. Alva membelikan 20.000 sengaja agar kakaknya itu bisa menikmati jajanan favoritnya sepuasnya. Perpaduan antara gurihnya tahu dengan saos kacang dan rawit, membuat Dinda sangat suka makanan itu. Sejak pertama kali mengenalnya hingga berumur kepada dua, itu tetap menjadi jajanan kesukaan Dinda dan belum tergantikan. "Terima kasih, Al," ucap Dinda menerima plastik kresek berisi tahu gejrot. "Sama-sama, Kak." Alva menyalakan mesin mobil. "Kita berangkat." Dinda langsung membuka plastik kresek yang diberikan Alva tadi, dan memulai menyantap tahu gejrot itu. Nikmatnya bukan main. Suapan pertama ditambah gigitan rawit sungguh menggugah selera. "Kamu mau?" Dinda menyuapi Alva. "Enak?" "Enak, Kak." ucap Alva sembari mengunyah. Sepanjang jalan Dinda menikmati tahu itu sambil sesekali menyuapi Alva. Dinda senang, akhirnya setelah berhari-hari di rumah sakit, sekarang ia bisa kembali pulang ke rumahnya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN