Bab 25. H-5 Bagian 1

1249 Kata
BAB 25 H-5 BAGIAN 1 Baru saja hendak membuka pintu mobil, Naira menelponnya. Ternyata sahabatnya sejak kecil itu meminta untuk dijemput. Alva melirik jamnya, masih tersisa 25 menit lagi. Cukup untuk menyusul dan pergi ke sekolah. Setelah Naira masuk ke dalam mobilnya, Alva langsung memutar stir menuju sekolah. Jalanan pagi ini cukup ramai, namun tidak sampai macet. Sesuai perkiraan Alva. Tersisa 5 menit sampai ia memarkirkan mobilnya. Tiba-tiba ada yang mengetuk kaca mobilnya sebelum ia keluar. Alva menurunkan kaca mobilnya. “Al? Kamu udah makan?” tanya Letta memasang wajah sok imut yang membuat geli Alva. Ditekannya kembali tombol menaikkan kaca, ia harus mengurungkan niat untuk keluar dari mobil sampai Letta pergi. Naira terkekeh geli. “Makanya kalau punya wajah itu jangan ganteng-ganteng.” Alva mengerlingkan bola matanya malas. “Bukan salah gue kali. Letta-nya aja yang kecentilan.” Letta terus mengetuk kaca mobil Alva, berharap laki-laki yang disukainya itu membukakan kaca untuknya. Lima menit yang tersisa telah berlalu. Bel sekolah pertanda pelajarang pertama sudah berbunyi. Letta menghentikan aktivitas mengetuk kaca, menghentakkan kaki sebal, menatap kaca. Sepertinyaa gadis itu kecewa dengan perlakuan Alva. Naira kembali terkekeh. Ia membuka pintu, keluar dari mobil menuju kelas, berjalan beriringan bersama Alva. Naira sengaja menyenggol-nyenggol Bahu Alva mencoba untuk meledeknya. Alva tidak menggubris. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana, terus berjalan tanpa mengindahkan ledekan Naira padanya. “Pagi anak-anak!” sapa Bu Ratna. “Pagi, Bu!” “Naira, kumpulkan tugas teman-teman kamu.” “Baik, Bu.” Naira berjalan mengelilingi barisan satu persatu mengutip buku-buku seperti yang Bu Ratna perintahkan. Berkat Farah, mereka berhasil selamat dari hukuman Bu Ratna. Setelah sampai di rumah, Farah tanpa sengaja melihat jadwal pengingat yang ditempelnya di meja belajar. Besok ada tugas minggu lalu yang diberikan Bu Ratna. Farah langsung mengirimi pesan kepada semunya, mengingatkan agar jangan lupa mengerjakan tugas. Semua menoleh ke arah Farah setelah menyerahkan tugas mereka. Mereka mengacungkan jempol sebagai tanda terima kasih. Berkat Farah, mereka terbebas dari hukuman yang mematikan. “Kalian kenal Ratih?” tanya Bu Ratna saat setelah menerima buku-buku tugas yang Naira letakkan di mejanya. Semua murid diam, saling bertatapan. “Saya kenal, Bu.” Frendi mengangkat tangannya. “Rumah kamu dekat rumahnya?” Frendi menggeleng. “Nggak, Bu.” “Ratih?” bisik Farah di tempat duduknya. Ia seperti pernah melihat nama itu, tapi ia lupa di mana. “Kenapa, Bu?” sambung Frendi. “Sudah seminggu ini dia tidak masuk sekolah.” Bu Ratna berdiri, melepas tutup spidol, bersiap untuk memulai materi hari ini. “Sudah, lah. Mari kita lanjutkan materi. Jangan lupa, lima hari lagi ujian kenaikan kelas akan segera diadakan. Ibu harap kalian mempersiapkannya dengan baik, ya.” “Baik, Bu.” __00__ Raka mendatangi meja Frendi saat melihatnya hendak keluar menuju kantin. “Ratih siapa, Fren?” tanyanya. “Ratih itu anak kelas 10 yang terkenal paling cantik di angkatannya.” “How come I never see her?” Deva nimbrung. “Memang anak itu jarang keluar kelas. Tapi anak kelas 10 pasti tau siapa dia.” “Lo punya fotonya Fren?” Dave menarik kursi di samping Frendi, lalu duduk. “Ada, ada. Sebentar.” Frendi mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan kepada mereka semua. “Ini.” “Cantik.” Deva menyikut bahu Dave. “Gak lo jadiin target, Dave?” Raka menginjak kaki Deva. Sepertinya temannya itu melewati batas. Ia lupa kalau Dave masih bersedih atas kematian Maya yang sampai sekarang belum terungkap siapa yang telah membunuhnya. “Kalian ngomongin apa, sih? Serius amat?” ujar Naira yang baru saja dari kantin bersama Farah. Di tangan mereka masing-masing ada bungkusan berisi minuman dan makanan yang dibeli dari kantin. Farah tanpa sengaja melihat foto yang terpampang jelas di layar ponsel Frendi. Tangannya serasa kehilangan tenaga. Yang dipegang Farah tercecer di lantai. Ia hampir saja rubuh ke lantai, beruntung Alva berhasil menangkapnya, lalu membantunya duduk. Napas Farah berubah sengal. Naira memberinya minum. Semua terlihat panik sekarang. Farah memegangi kepalanya. Ia ingat sekarang. Ratih adalah perempuan yang menarik lengannya di hari pertamanya sekolah. “Dia…,” Farah mengatur napasnya. Seolah paham dengan siapa yang disebutkan Farah, Frendi mengambil ponselnya, mengarahkan fotonya ke Farah. Farah menunjuk layar ponsel Frendi. “Dia orangnya.” Hanya butuh waktu satu detik, Dave, Raka, Deva, Alva, dan Naira paham apa yang dimaksud Farah. Ratih adalah wanita yang menarik lengan Farah. __00__ “Lepasin saya…,” lirik Ratih. Tangan dan kakinya diikat dengan tali. Wajahnya sudah seperti bukan wajah lagi. Dikurung di sebuah gudang selama seminggu membuat tubuhnya lengket karena keringat. Ratih juga harus menahan lapar. Orang yang menyekapnya tidak lagi memiliki hati nurani. Setiap hari Ratih selalu meringkih, namun yang menjaga justru hanya diam saja. “Lepasin.” Ratih tak lagi memiliki tenaga. Ia hanya bisa menggerakkan kakinya pelan sekali. Kekurangan cairan membuatnya tubuhnya lemah sekali. Ratih juga merasakan sakit yang teramat sangat di pergelangan tangannya. Darah sudah keluar dari sana. Ikatan yang sangat kuat, membuat kulit Ratih lecet. Hanya tinggal menunggu masa saja untuk bagian kakinya menunggu lecet juga. Pintu gudang terbuka. Sosok pria berpakaian serba hitam lengkap pula topeng yang berwarna hitam masuk ke dalam. Topeng pria itu hanya menyisakan lubang di bagian mata, hidung dan juga mulut. Selebihnya menutupi wajahnya. Laki-laki itu berjalan ke arah Ratih. Di tangannya ada kresek hitam. “Makan.” Laki-laki itu melemparkan plastik yang ia bawa ke wajah Ratih. Ratih menundukkan kepalanya, membuka plastik tersebut dengan mulutnya. Ada sebungkus nasi di dalamnya. Ratih menggigiti kertas nasi tersebut hingga ia bisa memakan apa yang ada di dalamnya. Ini adalah hri kedua Ratih belum makan. Yang menyekapnya hanya memberikan Ratih makan dua hari sekali saja. Ia makan dengan lahap sekali. Laki-laki bertopeng itu menuangkan air mineral ke sebuah mangkok, lalu mendekatkannya ke Ratih agar gadis itu bisa minum setelah makan. Bukan lagi cara makan manusia yang Ratih lakukan sekarang, melainkan sudah mirip cara makan hewan. Ratih tidak punya pilihan. Daripada ia mati kelaparan, maka Ratih harus bersedia untuk makan dengan cara seperti itu. Ratih meneguk air perlahan. Ia sudah selesai makan. Diusapnya bibirnya yang basah terkena air ke bahunya. Laki-laki bertopeng itu menyulutkan sebatang rokok, lalu memaksa Ratih agar membuka bibirnya. Seminggu yang lalu, Ratih berusaha keras menahan mulutnya agar tidak dibuka paksa oleh laki-laki itu. Banyak sekali pukulan dan tamparan yang Ratih terima. Namun sekarang, Ratih membuka mulutnya pasrah. Ia sudah tidak mempunyai lagi kekuatan untuk melakukan itu. Bahkan untuk membuka mulut saja ia harus mengeluarkan tenaga ekstra. Ratih pernah meminta kepada laki-laki itu agar segera membunuhnya saja ketimbang harus mengalami siksaan semacam ini. Namun justru yang dilakukan laki-laki itu malah semakin bringas memukul, menendang, dan menampar Ratih tanpa ampun. Seminggu yang lalu, Ratih mendapatkan sebuah pesan bahwa ibunya telah diculik oleh seseorang. Pengirim pesan itu mengancam akan membunuh ibunya jika ia tidak segera datang ke lokasi yang telah dikirimkan. Tanpa berpikir panjang, Ratih pergi seorang diri ke sana. Sampai di sana, bukan ibunya yang ia temukan. Ratih malah dijadikan pemuas nafsu tiga orang pria sekaligus. Ratih diperkosa. Setelah itu ia diikat di dinding dengan posisi berdiri, dan juga telanjang tanpa sehelai pakaian pun melekat di tubunya. Mereka menyulutkan rokok, lalu sengaja menempelkan bara yang menyala di ujung rokok itu di area yang mereka suka dari tubuh Ratih. Setelah puas menyiksanya, barulah Ratih kembali dipakaikan busana, kemudian dibawa ke tempat di mana sekarang ia disekap. Sepanjang hari, Ratih berdoa memohon agar dikirimkan orang yang bisa menyelamatkannya. Ratih tidak berhenti merutuki dirinya. Rasa penasarannya, membuat ia berakhir seperti ini. Andai dulu ia tidak bodoh dengan mengikuti nalurinya, pasti ia tidak akan berakhir seperti ini. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN