Bab 24
Alva segera membawanya untuk diperiksa dokter. Ternyata perempuan itu adalah pasien di rumah sakit tersebut. Sudah seminggu ia dirawat di sini. Setelah memastikan bahwa perempuan itu benar-benar dirawat oleh pihak rumah sakit, barulah Alva bergegas kembali ke rumah Alva.
Di sini lain, mereka tengah menanti kedatangan Alva. Seharusnya anak itu sudah sampai setengah jam lalu. Tidak biasanya Alva terlambat begini.
Alva mengemudikan mobilnya secepat mungkin. Ia melirik jam tangan, pukul 11 malam sudah. Sampai di rumah Raka, Alva dengan napas ngos-ngosannya meminta maaf atas keterlambatannya. Ia juga menjelaskan kenapa bisa terlambat.
Semua memaklumi Alva. Mereka juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Alva. Tidak mungkin membiarkan seseorang bunuh diri.
“Ini.” Raka membalikkan laptop, mengarahkan ke Alva data diri pemilik mobil yang tadi.
“Apa ini?” tanyanya menatap layar laptop.
“Sobekan kain putih yang lo temuin, kemungkinan besarnya milik laki-laki yang ada di foto ini.” Raka menyerahkan ponsel Naira kepada Alva agar ia melihat bayangan yang ada di dalam gambar tersebut.
“Bayangan?”
“Gue rasa pagi itu sewaktu gue memotret, ada orang yang bersembunyi di balik pohon besar tanpa sepengetahuan gue,” ujar Naira.
“Dia bisa memberikan kita petunjuk,” ucap Raka menunjuk data diri seseorang yang ada di layar laptop.
“Tapi apakah ini alamat ini bisa menjamin kita menemukannya?” Dave sedikit ragy. Bisa saja setelah menyelesaikan tugasnya, ia pergi ke luar negeri atau kemana pun yang ia mau.
“Kamu benar, Dave.” Raka tersenyum menatap Dave. “Itu sebabnya Naira ada bersama kita.”
Naira menyilangkan tangannya, tersenyum menatap Dave. “Serahin ke gue.”
“Sekarang kita coba datangi alamat ini dulu, selagi Naira bekerja,” sambung Raka.
“Gue tahu di mana ini, dan gak terlalu jauh dari tempat kita sekarang,” kata Deva.
“Ayo Farah, sekalian kita antar lo pulang. Ntar nyokap lo nyariin.” Yang diucapkan Dave benar. Sejak tadi ia sudah mulai gelisah. Pasalnya sudah hampir tengah malam dan dirinya belum pulang. Semula ia beranggapan bahwa ia tidak akan khawatir atau pun gelisah karena sudah meminta izin kepada mamanya. Namun kalau sampai larut malam begini, tentu mamanya akan risau mengetahui anak gadisnya belum pulang ke rumah.
Farah mengangguk, mengikuti mereka keluar.
Alva menyetir, Farah duduk di sampingnya. Deva memilih duduk di belakang.
Tak lupa Farah berterima kasih kepada keduanya karena sudi untuk mengantarkannya pulang. Farah mengatakan akan bergabung besok lagi. Setelah mobil Alva meninggalkan pekarangan rumahnya, barulah Farah masuk ke dalam rumahnya. Lampu sudah padam. Farah menyalakan lampu. Tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. Sunyi sekali. Pasti semuanya sudah tidur.
Tiba-tiba saja Farah merasakan lapar. Ia mengunci pintu, berjalan ke dapur untuk mencari makanan. Farah melihat ada nasi lengkap beserta lauk. Lalu ada juga martabak. Pilihan Farah jatuh kepada martabak. Dimakannya dua potong dan segelas air. Cukup. Tidak baik makan di jam segini, pikirnya.
Farah menuju kamarnya. Ia mengganti baju, berwudhu, dan melakukan ritual lainnya sebelum tidur termasuk memakai skin care. Usai sudah. Sekarang waktunya tidur. Adik dan mamanya pasti tengah tenggelam dalam mimpi mereka.
__00__
Alva membaca kembali alamat yang diberikan Raka melalui pesan.
“Lo yakin ini?”
Deva mengangguk yakin. “100%”
Deva keluar dari mobil, disusul Deva.
Di depan mereka sebuah rumah megah nan mewah bak istana berdiri kokoh. Warna putihnya menambah kesan mewah rumah itu. Alva mengedarkan pandangannya menelusuri pekarangan rumah yang tampak oleh matanya, ia tidak melihat ada mobil jeep seperti yang ada di gambar yang ditunjukkan Raka kepadanya tadi.
“Let’s go.”
Alva mengikuti langkah kaki Deva mendekati rumah itu. Tiba di depan pintu, Deva memencet bel. Tak lama sosok wanita paruh baya membukakan pintu.
“Ya? Ada apa?”
“Maaf, Bu. Apa benar ini rumah Pak Handoko?”
“Pak Handoko siapa, ya?”
Alva dan Deva bertukar pandang.
“Ini, Bu.” Deva menunjukkan selembar foto pria berambut hitam mengkilap, namun wajahnya sudah terlihat keriput. Kisaran umur 60-an.
“Saya tidak kenal Pak Handoko.”
“Terima kasih ya, Bu.” Alva menarik tangan Deva untuk mengikutinya.
Sampai di mobil, Alva senang karena keraguannya terbukti.
“Gue yakin Ibu itu berpura-pura tidak mengenal Pak Handoko,” ujar Alva. “Pasti dia disuruh untuk tutup mulut. Gue yakin Pak Handoko sudah bersembunyi di suatu tempat.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
“Kita tunggu arahan dari mereka saja. Lebih baik sekarang kita pulang, istirahat. Besok kita harus sekolah.”
Sampai di rumah Raka, mereka memberitahu bahwa Pak Handoko yang mereka cari tidak ada di sana. Pasti laki-laki itu sudah bersembunyi entah di mana. Naira juga belum berhasil menemukan di mana keberadaan orang tersebut.
Raka menyarankan agar mereka istirahat sekarang karena besok harus bersekolah. Sudah pukul setengah dua pagi. Jam tidur mereka sudah lewat sekali. Akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di rumah Raka. Semua mengambil posisi tidur. Raka mengeluarkan beberapa kantung tidur dan selimut. Dave dan Deva memilih tidur di dalam kantung selimut, begitu juga dengan Naira. Sedangkan Raka dan Alva memilih untuk tidur di sofa saja.
Mereka semua sudah bekerja cukup keras hari ini. Satu hari ini sudah dilalui dengan menemukan kemungkinan siapa pemilik sobekan kain itu. Besok, sisa hari mereka berubah dari enam menjadi lima. Bahkan mereka belum menyentuh buku pelajaran sebagai persiapan ujian. Tapi itu bukan hal yang perlu untuk dibesar-besarkan. Mereka pasti bisa menjawab semua soal ujian dengan baik. Tunggu saja.
Raka mematikan lampu. Mereka semua, sudah siap sedia untuk beristirahat sekarang.
__00__
Pukul 05.00
Alva terbangun. Ia menyalakan lampu, mencari kunci mobilnya untuk bergegas pulang. Semuanya terbangun akibat ulah Alva. Mata mereka silau seperti terkena cahaya ilahi. Baguslah jika mereka sudah bangun. Alva tidak perlu repot-repot untuk membangunkan mereka.
Alva mengatakan kepada mereka agar segera kembali ke rumah jika ingin bersekolah. Mereka harus mempersiapkan diri untuk ke sekolah. Ketemu. Alva dibuat kaget saat ia berbalik bersiap untuk pulang. Deva, Dave, dan Naira menatapnya dengan wajah bantal itu.
“Anter kami pulang.”
Alva menghela napas. Tahu kalau begini jadinya, lebih bai kia tidak menyalakan lampu.
Satu persatu dari mereka sudah Alva antar ke rumah masing-masing. Sekarang ia tengah menuju rumahnya. Sampai di rumah, Alva langsung mandi, bersiap-siap untuk ke sekolah. Usai merapikan roster, Alva ke ruang makan. Ia memakan beberapa potong roti dengan selai stoberi kesukaannya.
Alva baru ingat. Ada sesuatu yang terlupakan. Ia janji kepada kakaknya kemarin malam akan segera kembali ke sana menemaninya. Segera dilahap habis gigitan terakhir rotinya. Alva naik ke atas, kembali ke kamarnya. Dilihatnya jam. Hanya tersisa tiga puluh menit saja lagi sebelum bel sekolah berbunyi. Nampaknya Alva memang tidak bisa menjenguk kakaknya sekarang. Ia harus menunggu sampai pulang sekolah nanti.
Bersambung...