Nonpribumi

1823 Kata
"Jadi Arum beneran sekolah, ma?" Kanaya dan Edwin terkekeh melihat keantusiasan Arum mendengar jika mereka akan menyekolahkannya kembali, Arum sangat bahagia, setelah sempat berhenti sekolah hampir setahun akhirnya ia kembali bersekolah juga. "Adik kakak senang sekali mau sekolah" ucap Elang yang duduk disamping papanya sedangkan Arum duduk sambil memeluk Kanaya. "Iya dong, makasih ya ma pa!" Edwin mengangguk dan Kanaya mencium pucuk kepala Arum, melihat Arum bahagia membuat Kanaya juga ikut merasakan kebahagian itu, jika kehidupan Arum sebelumnya jauh dari kata baik-baik saja maka Kanaya ingin Arum jauh lebih baik tinggal bersamanya. Arum memang bukan putri kandungnya tapi Kanaya sudah menyayangi Arum seperti ia menyayangi Elang. "Besok kita belanja ya keperluan kamu" Arum mengangguk dalam pelukan Kanaya. Hadir dalam keluarga ini merupakan anugrah bagi Arum. Ia punya papa, mama dan kakak yang menyayanginya dan selalu memanjakannnya. Mereka memang keluarga angkatnya tapi mereka semua baik padanya berbeda dengan keluarganya yang sebenarnya. "Ma pa, Arum sekolah dimana?" Kanaya dan Edwin melihat putranya itu "Di sekolah keluarga kita dong, Lang. Emang kamu mau adik kamu mama sekolahin di tempat lain?". "Ya jangan dong!" Sergah Elang tak suka ucapan mamanya "Sekolahin aja Arum di Smp SAS, kan masih satu pekarangan tuh sama sekolahku" Sekolah menegah pertama dan atas SAS masih satu pekarangan jadi Elang bisa mengawasi Arum. "Nah itu kamu tau! Keluarga kita punya sekolah sendiri jadi adikmu tidak perlu ke sekolah lain. Kau ini" decak Edwin tak habis pikir dengan anaknya. Elang menggaruk kepalanya, iya juga ya "Papa punya sekolah?" Arum melepaskan pelukan mamanya menatap papanya "Iya sayang, papa punya sekolah. SD, SMP, SMA tinggal universitasnya aja belum" jawab Edwin melihat keingintahuan Arum begitu besar "Wahhhh hebat!" Kagum Arum "Kenapa nggak sekalian aja papa buat universitas?!" "Emang kamu mau kuliah disana?" "Kagaklah!" Dari kecil Elang ingin kuliah diluar negeri, setahun lagi ia akan mewujudkan keinginannya itu. Mereka melanjutkan obrolan mereka hingga Elang mengajak Arum kelantai atas. "Arum mau belajar dulu?" Belajar? Terakhir kali Arum belajar 7 bulan yang lalu, itupun di sekolah. Jika di rumah mereka melihatnya belajar mereka akan marah dan menghukumnya, mereka tidak suka Arum belajar. Bayangan itu kembali muncul membuat tatapan Arum tiba-tiba kosong "Sayang?" Arum terperanjat merasakan bahunya sedikit terguncang, Arum menghela napas panjang melihat orang didepannya. Kakaknya itu menatap Arum dengan wajah khawatir. Arum menunduk membuat Elang menagkup wajahnya untuk mendongak padanya "Hei! Kakak udah bilang sayang jangan nunduk! Kakak nggak suka Arum nunduk kayak gini" Jika orang lain menunduk saat melihatnya, Elang tidak akan pernah protes karena memang seharusnya mereka melakukannya. Tapi jika orang itu adalah Arum maka Elang tidak akan terima. Sebagai adiknya, Arum harus tetap menatap wajahnya saat berbicara ataupun berhadapan dengannya. "Kakak," cicit Arum mendongak menatap Elang "Iya sayang?" "A,aku nggak mau belajar." Arum menatap Elang dengan mata teduhnya berharap Elang bisa menurutinya. Elang tersenyum membawa Arum kedalam pelukannya. "Yaudah kalau nggak mau, kakak nggak maksa. Tapi, lain kali Arum harus belajar ya! Kan Arum mau sekolah" "Nggak mau kak" rengeknya yang dikekehi Elang. Ini kali pertama Arum merengek padanya. Elang senang dan ia sangat menyukainya. "Aku nggak akan belajar hiks. . ." Elang langsung melepaskan pelukannya mendengar suara Arum terisak. Dan ya, Arum menangis menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Elang melepaskan kedua tangan Arum, dan betapa sakitnya hati Elang melihat Arum menitikan air matanya. "Husshhhh sayangnya kakak jangan nangis!" Elang menghapus air mata Arum dan kembali memeluknya "Yaudah! Nggak usah belajar ya, Arum lakuin aja apa yang Arum suka!" Lanjut Elang mengusap punggung Arum berharap adiknya itu berhenti menangis, karena tangisan Arum terasa menyakitkan untuknya. "Beneran?" Tanya Arum dengan mata serta hidung memerah "Iya beneran tapi jangan nangis lagi! Hmmmm?" "Kak Elang janji nggak akan minta aku belajar, kan?" "Pasti sayang" Arum mengangguk menaikkan jari kelingkingnya keatas melampaui tinggi badannya. Mengerti maksud Arum, Elang menautkan jari kelingking mereka dengan senyum tipis "Kakak udah janji jadi nggak boleh ingkar!" Ucap Arum setelah melepaskan kelingking mereka. "Kakak aku ngantuk" Arum menutup mulutnya saat menguap, ini memang sudah jam 9 lewat jadi wajar saja kalau ia sudah mengantuk "Kakak antar ke kamar" Elang mengantar Arum ke kamarnya, setelah sampai disana Elang membantu Arum membaringkan tubuhnya. Cup "Good night Arumnya kakak" bisiknya setelah menekan tombol lampu yang ada disamping ranjang Arum. Saat akan berdiri, Elang berhenti merasakan tangannya dipegang, Elang berbalik melihat Arum menatapnya gelisah "Aku mau kakak disini, sampai aku tidur." Pinta Arum yang langsung dituruti oleh Elang "Makasih. Kakak." * * * "Pulang sekolah jalan yuk?" "Idih, ngapain jalan sama cowok? Entar dikira gay lagi" Marcel menatap Ben datar lalu menoleh pada Elang yang langsung menolaknya mentah-mentah. Marcel berdecak, punya sahabat kok gitu amat, batin Marcel "Hari ini aku latihan untuk pertandingan minggu depan, nggak mau liat?" Marcel seorang pembalap mobil modifikasi, ia sering mengikuti pertandingan besar, tak heran namanya selalu masuk dalam jajaran pembalap terbaik seasia tenggara. "Ngapain? Kayak nggak ada kerjaan aja." "Kamu kok sinis banget sih sama aku? Punya dendam apa? Hahhh?!" Kesal Marcel mulai kehabisan kesabaran. Ben meletakkan sendoknya lalu menatap Marcel yang ada disamping Elang. "Nggak usah pura-pura nggak tau deh! Kemarin hasil ujianku rendah itu semua gara-gara siapa? Hahhh?!" Sungut Ben menahan kekesalannya, harusnya kemarin ia melihat lembar jawaban Elang bukan milik Marcel "Eh bule nyasar! Kamu kira nilaiku juga bagus?! Hasilnya jauh dibawahmu tau nggak, kalau mau nyalahin orang ya salahin dia bukan aku!" Tunjuknya tepat didepan wajah Elang. Kaget melihat jari didepannya, reflek Elang memutar jarinya hingga Marcel mengadu "Sakit burung!" Sentak Marcel menatap jarinya yang berdenyut, untung saja tidak patah, sahabat kok rasa musuh "Berani nyalahin aku?! Yang salah itu kamu! Makanya kalau nyontek itu liat dulu itu punya aku atau bukan!" Kemarin saat ulangan harian, Marcel dan Ben meminta lembar jawabannya karena Elang belum selesai dia meminta kedua sahabatnya untuk menunggu. Tapi yang namanya Marcel ya begitu, ceroboh. Lembar jawaban yang Marcel ambil dimeja Elang adalah milik Dion teman yang duduk disampingnya "Kamu juga salah! Harusnya kamu kasih tau kami!" Balas Marcel tak kalah "Aku udah kasih tau kamu, ogeb!" Elang memanggil kedua sahabatnya itu agar mengembalikan milik Dion dan mengambil punyanya tapi mereka berdua sibuk menyalin jawaban kelembar ujiannya "Kemarin aku dengan Elang manggil, tapi kamu sih nggak percaya" Ben menyalahkan Marcel atas hasil ulangannya "Jadi kamu tetap nyalahin aku?! Marcel berdiri meletakkan kedua tangannya dipinggang, bagaimana bisa ini terjadi? Marcel tidak salah tapi kenapa mereka menyalahkannya? "Jadi aku harus nyalahin siapa kalau bukan kamu?! Nggak mungkinkan aku nyalahin Dora" "Dasar bule tolol!" Geram Marcel "Ngatain diri sendiri dia!" Ben tidak merasa tolol, karena dirinya merasa lebih pintar dari Marcel. Kalaupun Marcel bilang bule, itu berarti Marcel termasuk karena Marcel memiliki darah campuran Jepang-Indonesia. "Aku ngatain kamu ya bule!" "Kamu juga bujang! "Apaan tuh bujang?" "Bule jepang, napa? nggak suka?" Tantang Ben juga berdiri menghadap Marcel "Uhhh dasar buncis" "Apaan lagi tuh?" "Bule prancis, napa? Mau protes?!" Elang meletakkan kedua sikunya diatas meja lalu memijit-mijit pelipisnya. Ada apa dengan kedua sahabatnya ini? Kenapa mereka mempermasalahkan yang sudah jadi ketentuan hidup mereka? Tidak bisakah mereka menerima kenyataan jika mereka memang memiliki darah campuran? "Hei para nonpribumi!" Keduanya langsung menoleh kearah Elang. Nonpribumi? "Duduk!" "Ap," "Duduk!" Tekan Elang, keduanya mau tak mau harus duduk jika tidak ingin mangkok bakso diatas meja melayang kekepala mereka "Nah, gini kan enak." Ucap Elang melihat kedua sahabatnya tidak bicara lagi, Elang melanjutkan makannya tak peduli dengan tatapan kedua sahabatnya. Setelah selesai makan, Elang melihat makanan Ben dan Marcel masih utuh "Nggak makan?" "Udah kenyang." Jawab Ben meniggalkan Elang dan Marcel yang masih duduk manis dimeja kantin. "Makan apa dia?" "Makan hati" jawab Marcel berdiri meninggalkan Elang sendiri "Dasar! Mentang-mentang pribumi jadi songong" ujar Marcel sebelum pergi dari sana. * * * Elang tersenyum melihat Arum duduk disofa memainkan sesuatu. Elang memberikan tasnya pada maid lalu menghampiri Arum yang tampak tak sadar dengan kedatangannya. Elang berada dibelakang sofa melihat apa yang dilakukan adiknya itu. Cup Arum terjungkit kaget dan reflek ponsel yang ada ditangannya terlepas merasakan pelipisnya dicium. Arum memegang bagian dadanya, hampir saja jantungnya lepas dari tempatnya. "Kamu nggak apapa?" Khawatir Elang melihat wajah pias Arum, Elang duduk disamping Arum dan memegang keningnya Meski rasa kagetnya masih ada, Arum berusaha untuk tersenyum melihat kekhawatiran kakaknya itu. "A,aku nggak apapa kok kak" jawabnya mengambil ponselnya yang tergeletak dilantai "Arum benaran nggak apapa? Arum sakit? Arum mau ke kerumah sakit? Kit," "Aku nggak apapa kak, aku cuma kaget aja." Potong Arum, Elang menarik Arum kedalam pelukannya Elang meminta maaf karena membuat Arum kaget, Elang tidak bermaksud. Lihatlah wajahnya, rasa bersalah Elang semakin besar "Maaf ya" ucap Elang mencium pucuk kepala Arum "Jangan diulangi ya kak, aku bisa sakit kalau dikagetin!" Pinta Arum yang diangguki Elang. Elang tidak akan melakukannya lagi, tidak akan pernah. Setelah melepaskan pelukannya, Arum kembali melihat gadgetnya "Yahhh kok mati?" Tanyanya berusaha menyalakan ponselnya, pasti gara-gara jatuh tadi. Elang memperhatikan ponsel berwarna rosegold yang Arum pegang, sewaktu mereka jalan Elang ingin membelikan Arum ponsel tapi Arum menolak keras. "Kakak bisa belikan yang baru sayang kalau it," "Ini pemberian mama jadi nggak boleh rusak" potong Arum tanpa menoleh pada Elang. Setelah berbelanja keperluan Arum untuk sekolah, Kanaya membelikan Arum ponsel agar lebih mudah menghubunginya nanti jika Arum di sekolah, awalnya Arum menolak karena merasa tidak enak, mengangkatnya jadi anak sudah membuatnya bersyukur. Karena kegigihan Kanaya membujuknya akhirnya Arum mau dan berjanji akan menjaga ponsel itu dengan baik. "Ahh syukurlah" gumam Arum setelah ponsel itu kembali menyala "Kakak ponselnya udah baik lagi" ucapnya memperlihat ponsel itu kearah Elang "Kan emang ponselnya nggak rusak sayang, kamu aja nggak nekan tombol onnya" "Oh ya?" Tanya Arum memperhatikan tombol powernya disamping. Elang terkekeh sambil menarik Arum masuk kedalam pelukannya dan mencium keningnya. Arum mendorong tubuh Elang agar sedikit menjauh "Aku udah besar, kenapa dicium lagi?" Tanya polos "Jadi kalau udah besar nggak boleh dicium?" Elang merapikan anak rambut Arum sambil menunggu jawaban apa yang akan diberikan adiknya itu "Bukan gitu" "Lalu?" "Kan, aku malu" kedua sudut bibir Elang reflek terangkat keatas, entah kenapa ucapan Arum menggelitiknya. Arum masih 13 tahun tapi dia sudah tau apa itu malu sedangkan banyak gadis yang usianya jauh diatasnya malah tidak punya rasa malu sedikitpun. Elang menangkup wajah Arum lalu mencium keningnya, kedua pipinya dan terakhir hidungnya. Arum ingin membuka mulut tapi lebih dulu Elang menekan kedua tangannya ke pipi Arum hingga bibir Arum maju kedepan, Elang terkekeh melihatnya. Menggemaskan sekali, batinnya "Arum boleh malu. Tapi jangan pernah malu sama kakak!" Ujar Elang melepaskan kedua tangannya dari wajah Arum "Kenapa?" "Karena aku kakakmu Arum, seorang adik nggak boleh malu sama kakaknya" Elang menjelaskan jika ia tidak suka Arum malu padanya "Arum malu kalau dicium mama?" Elang sering melihat mamanya mencium Arum tapi Arum tidak protes. Malahan Arum menikmatinya, sedangkan dia? Arum malah bertanya kenapa ia menciumnya, apa harus ada alasan seorang kakak untuk mencium adiknya? "Nggak" jawab Arum, entah kenapa dapat ciuman dari Kanaya membuat hati Arum bahagia "Sama papa juga nggak" lanjut Arum membuat Elang melotot "Papa cium kamu?!" Arum mengangguk membuat Elang mengumpat kasar. Papanya itu, apa mamanya tidak cukup? Kenapa harus mencium Arumnya juga?! "Ini nggak boleh dibiarin!" Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN