Sekolah

1574 Kata
** : unianhar "Sayang?" Arum tersentak mendengar suara Kanaya, Arum menatap Kanaya dari pantulan cermin didepannya. Kanaya tersenyum memegang kedua bahunya. Arum menghela napas panjang lalu tersenyum. "Arum nggak apapakan?" Kanaya sungguh khawatir. Baru saja Widya datang melapor padanya jika Arum cuma diam tak ingin bergerak dari tempatnya "Mama" "Jangan takut! Nggak akan ada yang berani menyentuhmu sayang, percaya sama mama!" Arum menatap Kanaya mencari kesungguhan disana. Sebelum menginjakkan kaki kerumah ini, Kanaya juga mengucapkan kalimat itu. "Mama seriuskan?" Kanaya memeluk Arum dari belakang, Kanaya menitikan air matanya. Kenapa? Kenapa Arum harus mengalami ketakutan seperti sekarang? "Mama, teman-teman disana nggak jahatkan? Teman-teman disana nggak seperti teman aku yang dulu kan? Mereka nggak akan bully aku kan? Mama aku tak," Hahahhahahaa "Lihat dia!" "Kata ibuku dia anak haram" "Dia nggak punya ayah? Terus, yang tinggal di rumahnya itu siapa kalau bukan ayahnya?" "Kata ibuku, ibunya dia perempuan murahan jadi bisa tinggal bersama laki-laki mana aja" "Perempuan murahan itu apa?" "Nggak tau! Yang Shafa tau kalau murahan itu murah" "Berarti ibunya murah? Hahhahahaha" "Berarti Arum juga murah dong?" "AKU NGGAK MURAH! IBUKU JUGA NGGAK MURAH! KAMI NGGAK MURAH! KALIAN SALAH!" Teriaknya meremas ujung bajunya, Arum melangkah mundur melihat kedua orang didepannya berjalan kearahnya "Kamu teriak?" "Ng, nggak. Aku c*m arrrgghhhhhh sakit hiks. . ." Tangisnya menahan tangan salah satu dari mereka yang menarik rambutnya. "Lep, lepasin hiks. . . Shafa sakit" pintanya berusaha melepaskan tangan Shafa dari rambutnya. Anak yang bernama Shafa semakin menarik rambutnya tak peduli dengan tangisan Arum bahkan Shafa meminta temannya itu membantu memberi Arum pelajaran "Berani sekali kau teriak padaku?! Minta maaf sekarang!" "Aku nggak salah, kenapa minta maaf?" Arum terduduk dikoridor saat Shafa mendorongnya. Sakit, hati dan fisiknya sakit menerima perlakuan seperti sekarang. Arum tidak tau kenapa kakak kelasnya yang bernama Shafa benci padanya, saking bencinya Shafa dan teman-temannya menyebarkan gosip tentang ibunya hingga tidak ada seorangpun yang mau berteman dengan Arum karena Arum anak haram. "MINTA MAAF!" Bentak Shafa menjambak rambut Arum tak peduli seluruh pasang mata di koridor menatapnya "MINTA MAAF ANAK HARAM!" "Hiks. . .Aku bukan anak haram Shafa" "Dasar tidak tau diri!" "Minta maaflah pada Shafa!" "Jambak aja nggak cukup," "Pukul aja dia!" Arum semakin menangis merasakan jambakan Shafa semakin kencang. Mau tidak mau Arum harus minta maaf jika tidak Shafa tidak akan menghentikan perlakuannya. "Maaf hiks. . ." BUUGGH "Dari tadi kek!" Ucap Shafa setelah menendang kaki Arum. Setelah kepergian Shafa dan temannya itu, Arum menangis mendengarkan caci maki siswa lain padanya. "Aku takut hiks. . ." "Aku takut" Kanaya membalik tubuh Arum, Kanaya bisa melihat ketakutan dimata Arum. Ketakutan yang selama ini menjadi batu sandungan Arum terlepas dengan masa lalunya. Masa lalu yang menyakitkan untuk anak seusia Arum, bukan kesalahannya tapi dia yang harus menanggung semuanya. "Anak mama, lihat mama sayang!" Arum menatap Kanaya yang tersenyum padanya "Arum sekarang putri Abraham, tidak akan ada yang berani lukai Arum, mama nggak akan biarin putri mama terluka. Arum percayakan?" Kanaya berusaha meyakinkan Arum jika apa yang ada dipikirannya tidak akan pernah terjadi. Siapa yang berani melakukan itu pada anaknya? Arum menggeleng, tidak akan ada yang bisa menjamin itu. Mamanya bisa berkata seperti itu jika di rumah ini, tapi kalau di luar? Tidak ada yang tau. Arum menggeleng menolak ajakan Kanaya, Arum tidak ingin ke sokolah. Tidak lama kemudian Elang datang menghampiri mamanya dan Arum. Elang meminta mama ke bawah karena papanya sudah menunggu, dan sementara Arum dia yang akan mengurusnya. Elang berjongkok didepan Arum dan meraih kedua tangannya. Elang tersenyum mendongak melihat wajah Arum yang sedikit tinggi darinya karena Arum duduk dikursi rias. "Sayang," "Kakak, aku takut, aku nggak mau sekolah" Arum menatap Elang dengan wajah kalut, Arum ingin sekolah tapi ia takut kejadian waktu itu akan terjadi kembali "Arum. Kamu tau, semua orang di dunia ini pasti memiliki ketakutan. Karena pada dasarnya manusia tidak akan terlepas dari rasa itu. Namun mereka bisa mengendalikan diri, karena mereka tau membiarkan rasa takut sama saja membiarkan dirinya menyerah." Elang mengeratkan genggamannya dikedua tangan Arum "Arum, kakak nggak tau apa yang Arum rasain, kakak nggak tau apapa tentang Arum tapi yang kakak tau, Arum anak yang kuat. Arum bisa mengalahkan rasa takut Arum saat ini." "Aku bisa?" "Ya, kakak yakin Arum salah satu orang yang kakak maksud." Rasa takut? Menyerah? Arum akui saat ini dirinya digerogoti rasa takut tapi Arum tidak ingin menyerah begitu saja. Arum ingin sekolah dan punya banyak teman dimana keinginannya itu cuma sebatas keinginan saat mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan disaat ia masih duduk dikelas 1 SMP. Arum tak memiliki teman dan ia terpaksa harus berhenti sekolah. "Aku takut kak" "Jangan takut! Ada kakak, Arum percaya kan sama kakak?" Arum menatap bola mata Elang lalu mengangguk, Elang memeluk Arum dan mencium keningnya. "Arum mau sekolah kan?" Sebelum masuk ke kamar Arum, Elang lebih dulu mendengar percakapan sebelumnya. Arum takut, meski tidak mengatakan apapun, Elang bisa tau maksudnya. Elang tidak akan membiarkan siapapun mengganggu adiknya ataupun melukainya, kalau sampai itu terjadi Elang tidak akan segan-segan memberinya pelajaran lebih dari apa yang ia perbuat pada Arumnya. "Kakak akan jaga aku kan?" "Tentu sayang" Benar, Elang akan menjaga Arum dan tak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya. * * * "Wahhhh anak papa cantik sekali pakai seragam, sini papa cium!" Edwin meminta Arum mendekati agar ia bisa memeluk putrinya itu. Mendengar cerita Kanaya membuat Edwin ingin menyusul Arum ke kamar tapi Kanaya memintanya menunggu saja karena Elang sedang membujuknya. Sebagai papanya, Edwin akan melakukan apapun agar putrinya tidak mengalami kejadian itu lagi. Tak akan Edwin biarkan putrinya diperlakukan seperti itu apalagi didaerah kekuasaannya. Maka dari itu Edwin menyuruh kepala sekolah di AJH untuk memberikan yang terbaik bagi putrinya. Arum tersenyum melangkah mendekati Edwin namun lengannya langsung ditahan oleh Elang "Jangan sayang! Papa udah tua, nggak enak dicium sama dia" ucap Elang menarik kursi disebelahnya dan mendudukkan Arum disana Edwin menatap anaknya itu horor, apa-apaan putranya itu? Dia mengangkat Arum sebagai anak bukan cuma untuk Elang yang menginginnkan seorang adik, Edwin juga ingin anak perempuan yang bisa ia manjakan. "Papa nggak usah cium-cium atau meluk Arum! Nggak pantes" Edwin menganga tak percaya, maksud Elang apa? "Elang!" Tegur Kanaya "Apa sih ma? Emang gitu kok" Elang tidak terpengaruh dengan peringatan mamanya "lagian papa kan ada mama" lanjut Elang mengambil roti yang diulurkan Kanaya padanya "Makan yang banyak sayang!" Ucap Elang meletakan roti itu dipiring Arum "Lang!" Elang melirik papanya "Arum itu anak papa," "Dia juga adiknya aku" potong Elang "Mama, aku boleh ganti rotinya nggak? Aku nggak suka selai kacang" pinta Arum sedikit tidak enak "Oh, kenapa diganti sayang? Nggak enak ya?" Tanya Elang meraih roti tawar yang belum diberi selai "Mau selai apa sayang? Nanas? coklat? Strawberry? Atau," "Strawberry aja"  jawab Arum "Baiklah" Elang mengoleskan selai strawberry untuk Arum sambil mendumel "mama sih kasih Arum roti pake selai kacang, pasti Arum udah lapar" ucapnya membuat Kanaya ingin melayangkan sendoknya pada Elang. Kanaya ingin memberikan roti itu pada Elang tapi Elang yang langsung memberikan itu pada Arum, Kanaya tau jika Arum tidak suka selai kacang. Edwin melihat apa yang dilakukan putranya itu, sejak kapan Elang berubah manis seperti sekarang? * * * "Jangan takut! Nggak akan ada yang berani nyakitin Arum" "Kakak akan selalu jaga Arum" "Arum pasti bisa!" Arum menghela napas panjang sebelum memasuki ruang kelas dimana kepala sekolah mengantarnya. Sebelum kakaknya itu pergi, ia sempat menyemangati Arum agar bisa memerangi rasa takutnya melihat teman-teman barunya. Sebenarnya Elang tidak ingin meninggalkan Arum, tapi Arum sendiri yang meminta karena ia tau jika kakaknya juga harus sekolah. Elang tetap tak ingin meninggalkan Arum tapi Arum tetap bersikukuh jika Elang masih ada disini maka Arum tidak ingin masuk kelas. Dengan terpaksa Elang menuruti keingan Arum, jadi Elang berpesan agar Arum segera menghubungi jika terjadi sesuatu. "Silahkan masuk Arum!" Arum meremas pinggir roknya merasakan jantungnya berdegub kencang. Arum seperti kembali ke masa lalu, dimana dirinya merasa terancam saat ada disekitar teman-teman sekolahnya. "Arum? Kamu tidak apapa nak?" Arum menatap kepsek yang terlihat khawatir padanya. Arum menarik napas rakus setelah mengingatnya semuanya, kejadiannya yang membuat dadanya sesak. "Kamu tidak enak badan? Bapak bisa bil," "Saya baik-baik saja pak" Pasti kepsek mau memberitahu papa dan mamanya atau kakaknya. Sebelum pergi Arum dengar jelas Elang meminta kepsek menghubunginya segera jika terjadi sesuatu pada Arum. Setelah meyakinkan kepala sekolah, Arum masuk mengikuti kepala sekolah menghampiri seorang guru didepan. Arum terdiam kaku melihat satu persatu siswa yang menatapnya. Tatapan itu membuat rasa takutnya kembali muncul, Arum menggigit bibir bawahnya lalu menunduk tak ingin melihat puluhan kepala didepannya. "Perkenalkan dirimu, nak!" Titah kepala sekolah. Berkali-kali kepala sekolah memanggilnya membuat Arum terpaksa mengangkat kepalanya. "Arum pasti bisa!" "Per,perkenalkan nama saya Arum Anggana Ab,Abraham" Ucap Arum terbata, bagaimana jika mereka sama dengan mereka? "Kami harus manggil apa? Arum atau Anggana?" Tanya seorang siswi yang duduk didepan "A,Arum" jawab Arum "Umur kamu berapa?" "Kamu tinggal dimana?" "Kamu adiknya kakak ganteng itu ya?" "Kamu pindahan dari mana?" Reflek Arum menggaruk kepalanya yang tak gatal, mereka semua bertanya tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab. "Kenapa kamu nggak jawab?" Tanya seorang siswa berkaca mata yang duduk dipojokan "Aku nggak tau harus jawab yang mana dulu" "Kalian sih pake ikut-ikutan nanya! Kan Princess Diana yang lebih dulu nanya" sungut siswi berkuncir kuda tadi "Emang kamu doang yang mau nanya?! Kita juga mau kali" "Iya nih, Arum kan teman baru kita jadi wajar dong kalau kita nanya" "Teman?" Cicit Arum, Teman? Teman? Mereka menganggapnya teman? Arum siswi baru tapi mereka sudah menganggapnya teman? "ARUM DUDUK DISINI!" Teriak seorang siswi bermata sipit yang duduk dibelakang Diana "MIRAH NGGAK USAH TERIAK!" Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN