Sebelum keluar dari mobilnya, Inez menyempatkan diri untuk memoles bibirnya dengan gincu, menaburkan bedak cukup tebal diwajahnya, hingga membubuhkan bulu matanya dengan eyeshadow. Lalu setelah merasa riasan wajahnya sudah nampak oke, Inez segera turun dari mobilnya.
Inez berjalan keluar dari parkiran dengan tampil percaya diri. Seragamnya terlihat ketat, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang terlihat seksi, membuat cowok-cowok yang melihatnya langsung mematung seolah terhipnotis.
Hal-hal seperti ini sudah biasa Inez dapatkan. Ia tidak merasa risi, justru malah senang, apalagi jika dipuji, Inez suka jika ada orang lain yang menilai apik tampilannya.
Kali ini, sembari menenteng Tote bag berukuran cukup besar, Inez tidak melangkah menuju kelasnya, melainkan menuju gedung IPA untuk berkunjung ke kelas Cakra. Ia akan memberikan sepatu Converse baru dan kemeja baru untuk cowok itu sebagai gantinya.
Tadi malam, ditemani oleh maminya, Inez pergi ke mal sekaligus cuci mata melihat barang-barang yang memanjakan mata di tempat itu.
Ketika hampir sampai di tempat tujuan, Inez dikejutkan oleh Cakra yang sedang duduk dibangku panjang depan kelasnya. Inez memberhentikan langkanya, matanya memicing, berusaha melihat apa yang sedang Cakra lakukan.
Barulah Inez sadar setelah itu, Cakra sedang mengelem sepatunya yang alasnya sudah mengelupas. Inez terpaku di tempat sambil memikirkan Cakra.
Cowok itu berangkat sekolah menaiki sepeda dan sekarang Inez melihat jika Cakra memakai sepatu yang sudah tidak layak untuk dipakai. Apa Cakra berasal dari keluarga yang kurang mampu? Inez tidak tahu, tapi beberapa bukti itu sudah sedikit membuktikannya walaupun Inez belum tahu sepenuhnya.
Pantas saja Cakra selalu ngotot ingin sepatunya dikembalikan secepatnya, rupanya cowok itu sedang memakai sepatu yang sebenarnya sudah dibuang. Apa Cakra tidak mempunyai sepatu lain? Entahlah ...
Inez mengembuskan napas panjang, memperhatikan Tote bag ditangannya sebentar, kemudian ia berjalan mendekati Cakra. Cowok itu nampak fokus dan tidak menyadari kehadiran Inez.
Ketika sudah berada di dekat cowok yang saat ini memakai pakaian olahraga itu, Inez langsung merebut sepatu yang masih diobati oleh Cakra.
"Sepatu nggak layak pake harusnya tempatnya di sini, bukan dikaki lo." Inez menyeletuk sambil membuang sepatu buruk Cakra ke arah tong sampah yang letaknya tidak jauh dari sana.
Cakra yang terkejut karena sepatunya melayang dan berakhir di tong sampah, tentu saja langsung protes. Cowok itu bahkan berdiri, melotot kepada Inez. Sementara Inez hanya melipat kedua tangannya di depan dadaa sambil memasang wajah menantang, seolah tidak takut kepada Cakra.
"Apa? Mau marah sama gue karena gue buang sepatu itu?" Inez mencecar sebelum Cakra sempat mengomel terlebih dahulu.
"Kok kamu yang galak? Harusnya aku yang marah, itu sepatuku kenapa kamu buang?" ucap Cakra, membela dirinya. Tatapannya semakin berubahnya tajam. "Kamu nggak ada hak sama sekali buat buang sepatuku di tempat sampah."
Cakra mendengkus panjang, ia lalu bergegas mendekati tong sampah di mana Inez membuang sepatu satu-satunya itu. Belum sampai menyentuh, Inez terlebih dahulu menendang tong sampah itu sampai tergeser beberapa meter dari sana. Isinya bahkan kini berserakan di mana-mana.
Cakra tersentak, kepalanya segera menoleh kepada Inez, ia tidak percaya bahwa Inez melakukan hal seperti itu.
Rahang Cakra mengeras. "Kamu ...
"Apa? Nggak terima gue tendang tong sampah itu?" tantang Inez lagi sambil tersenyum miring.
Cakra berusaha untuk bersikap tenang dan tidak perlu emosi. Ia memejamkan matanya dan mengeluarkan napasnya pelan-pelan.
Cowok itu kemudian menatap Inez cukup lama, masih belum mengerti maksud cewek itu yang tiba-tiba datang, terus mengganggunya setelah itu.
Inez mencibir, "kenapa natap gue begitu? Mau nyuruh gue mungut sampah-sampah itu?"
"Aku nggak ngomong apa-apa!" sahut Cakra.
"Tapi lo mau bilang begitu."
"Aku belum ngomong."
"Iya belum, tapi mau."
Cakra memilih mengalah. Cowok itu terdiam sejenak sambil mencerna lebih dalam dan berusaha menggali maksud kenapa Inez melakukan ini. Ditatapnya lagi cewek dihadapannya itu. "Kamu kenapa sih?"
Inez bergerak mendekati Cakra. "Jangan pakai sepatu itu lagi," ujarnya sembari menunjukkan sepatu yang sebelumnya Cakra pakai. Inez kemudian menyerahkan Tote bag ditangannya.
Cakra tidak langsung mengambil pemberian Inez, ia bingung selama beberapa detik. Ia menatap Tote bag ditangan Inez dan menatap wajah Inez secara bergantian.
Inez berdecak jengkel, bola matanya memutar malas. "Kenapa malah bengong? Buruan ambil!" ucapnya gemas seraya menggoyang-goyangkan Tote bag ditangannya.
Walaupun awalnya sempat ragu, tapi Cakra tetap menuruti apa yang Inez katakan. Cowok itu segera membuka Tote bag tersebut dan melongok isinya.
"Lo mending pake itu," ucap Inez.
"Apa isinya?"
"Kenapa malah nanya? Yang pegang barangnya kan elo. Coba deh lo buka."
Cakra sudah menaruh rasa curiga kepada Inez. Setelah cewek itu menyuruhnya untuk membukanya, Cakra tidak langsung menuruti. Sebagai gantinya, cowok itu justru memicingkan satu matanya.
"Isinya apa nih? Nggak bom, kan?" tanya Cakra dengan raut wajah polosnya.
Inez membelalakkan matanya. "Bisa-bisanya lo mikir sampe sana, ya nggak mungkin lah. Lawak banget ya lo."
"Kali aja," ucap Cakra.
Setelah membuka isinya, Cakra menemukan sepatu Converse dan kemeja. Keduanya terlihat mirip seperti punyanya, yang membuat berbeda adalah barang ditangannya ini adalah barang baru. Cakra langsung kembali menatap Inez.
"Mana sepatu sama kemeja punyaku yang asli?" tanya Cakra.
Inez meringis sesaat. "Nggak ada di rumah gue, terus gue beli yang baru. Gu—
"Aku nggak mau pake ini," sahut Cakra cepat, memotong ucapan Inez. Cowok itu memasukkan kembali sepatu dan kemeja itu ke dalam Tote bag, lalu meletakkannya di samping dirinya.
"Ini bukan milikku." Cakra melanjutkan. "Aku maunya punyaku yang asli kembali, sepatu dan kemeja yang asli, bukan yang baru."
Siaal, rupanya Inez salah besar mengenai hal ini. Bukannya suka, Cakra malah murka kepadanya. Ini sedikit aneh dan membuat Inez agak bingung. Harusnya Cakra senang mendapatkan kembali barangnya dengan versi baru. Bukannya kebanyakan orang akan begitu, kan?
Inez berdehem kecil. "Tapi sekarang itu jadi milik lo."
"Bukan punyaku, ini punya kamu."
"Ini sebagai permintaan maaf gue karena punya lo hilang," ungkap Inez. Sebenarnya hanya sepatunya saja yang sudah berada ditangan orang lain karena ulah maminya, sedangkan kemeja Cakra masih berada di lemarinya. Inez sengaja ingin menyimpannya.
Cakra menjawab telak. "Kenapa bisa ilang? Kamu nggak tau caranya berterimakasih, ya?" Diakhir kalimatnya, Cakra tersenyum kecut.
"Siapa juga yang mau ditolongin lo malam itu? Gue bisa jalan sendiri kok. Lo yang nyerahin diri lo buat bantuin gue, kan?"
"Oh, ya?" Cakra kini sudah kembali berdiri dihadapan Inez. Ia maju selangkah mendekati cewek itu sembari memfokuskan pandangannya di mata Inez. "Kalo nggak ada aku di sana malam itu, kamu sekarang nggak ada di sini."
"Lo ngerasa jadi pahlawan gitu karena udah nolongin gue?" tanya Inez sambil mendorong dadaa Cakra agar sedikit mundur. Tidak terlalu kuat, hanya saja biar ada jarak.
"Nggak," sahut Cakra, "aku ngelakuin itu karena udah kewajibanku buat nolongin kamu."
"Ya udah, kenapa lo malah memperpanjang masalah? Gue beli yang baru buat lo, harusnya lo seneng. Bukan malah marah kayak gini."
"Seneng?" Cakra geleng-geleng kepala. "Nggak sama sekali, aku lebih suka sepatu lama punyaku."
"Tapi sepatu lo udah nggak ada, terima aja lah. Jangan sok-sokan nolak gitu, gue tau lo nggak ada sepatu lagi. Lo nggak mungkin mau olahraga pake sepatu yang udah ngelupas gitu, kan?"
"Kamu bawa pulang aja." Cakra menyerahkan kembali Tote bag itu kepada Inez. Tapi Inez tidak langsung menerimanya, ia hanya diam. Membuat Cakra secara paksa membuka tangan Inez.
"Alu lebih baik pakai sepatu lama punyaku," ujar Cakra. "Aku nggak mau dikasihani sama siapa pun. Termasuk kamu sendiri."
Cowok itu menatap Inez sebentar sebelum beranjak menuju tong sampah yang sudah di tendang Inez beberapa menit yang lalu. Cakra mengumpulkan kembali beberapa sampah yang berserakan dilantai dan memasukkan ke dalam tong sampah lagi. Inez sempat bergidik menatap Cakra yang tanpa jijik memungut semuanya itu.
Setelah selesai, Cakra mengambil sepatunya dan melangkah melewati Inez untuk pergi ke dalam kelasnya. Namun, Cakra berhenti setelah dirinya sampai di ambang pintu kelas. Cowok itu menoleh ke belakang.
"Makasih karena kamu udah repot-repot beli itu buat aku," ujarnya dengan wajah datar. "Aku bisa aja nerima pemberian kamu, tapi nggak dengan kenangannya."