Safiya langsung membuang muka agar tak semakin canggung dengan situasi dadakan yang membuat dirinya malu. Samir melepas rengkuhan di pinggang Safiya sambil membisikkan sesuatu.
"Makanya kalau jalan lihat-lihat."
"Kau saja yang jalan asal membuat aku hampir jatuh."
Samir tersenyum tipis melirik ke arah Safiya yang bersungut kesal. Setelah sampai di mobil, keduanya hanya diam. Safiya menikmati suasana pagi dengan memperhatikan kondisi jalan raya.
"Nanti kalau aku tak bisa mengantarkanmu pulang, telpon saja sopirmu agar menjemput." Samir membuka obrolan setelah beberapa lama berkendara.
Safiya menoleh, menatap sejenak ke wajah tampan nan tegas itu, lalu memberi anggukan sebagai jawaban.
"Kalau boleh tahu, apa yang akan dibicarakan mama kamu?" tanya Safiya yang sejak semalam merasa ingij tahu dengan Santi yang mengingingkannya datang.
"Aku juga enggak tahu," jawab Samir.
Safiya menghembuskan nafas panjang karena dia lupa, kalau Samir memang tak pernah memperhatikan sekitarnya, meski hal kecil sekalipun.
Perjalanan menuju rumah kedua orang tua Samir pun sampai. Mata Safiya memperhatikan rumah bergaya klasik dengan taman yang cantik. Halaman pun terlihat luas. Di sekeliling pagar terdapat beberapa pohon besar yang membuat beberapa halaman itu nampak teduh.
Safiya turun dari mobil, menunggu Samir yang masih di dalam kendaraan. Tak lama, keduanya mulai melangkah masuk menuju dalam rumah. Pertama saat menginjakkan kaki di dalam, Safiya merasa terpesona karena gaya bangunan rumah yang sangat mewah.
"Aku panggil mama dulu. Silakan duduk!" Samir menoleh ke sampingnya, di mana Safiya berdiri.
Safiya mengangguk, mulai duduk dengan menatap foto keluarga yang ada di dinding ruang tamu. Senyum indah di bibir itu membuat siapa saja pasti ikut tersenyum. Namun sedetik kemudian, Safiya memasang wajah sedih dengan mata berkaca-kaca.
"Sejak aku dilahirkan, tak ada lagi foto keluarga yang terpajang," gumam Safiya mengusap air mata si sudut matanya.
"Kau datang, Safiya!" Santi yang masih berjalan agak jauh sudah menyapa calon menantunya.
Safiya berdiri dari duduknya, memberikan senyum tulus itu kemudian menjawab, "Baru saja sampai, Tan."
"Ayo duduk!" Santi menggenggam tangan Safiya setelah keduanya berpelukan.
"Kamu di sini saja, ya. Jangan buru-buru minta pulang. Karena Samir akan kembali ke kantor," ucap Santi menatap bergantian ke arah Safiya juga putranya.
Safiya mengangguk, menurutnya, tak masalah jika lelaki aneh ini tak ada di rumah. Akan lebih leluasa bercengkrama dengan Santi.
"Samir sudah memberitahu kalau dia akan ada pertemuan penting menyangkut pekerjaan, Tan," jawab Safiya.
"Semoga enggak nyampe sore, Ma. Aku berangkat dulu," pamit Samir mengecup singkat kening wanita yang telah melahirkannya.
Sedangkan Safiya hanya menatap canggung ke arah lelaki yang beberapa hari lagi akan terikat dengannya. Jika wanita lain, mungkin akan sangat berbahagia karena mendapatkan suami tampan, mapan, juga kaya raya.
Untuk Safiya, semua itu tak berguna, yang dia inginkan adalah, menikah dengan rasa cinta dan saling menerima kekurangan masing-masing. Bukan dipaksa rela bersanding bersama orang asing.
Du cangkir teh terhidang dengan dua macam kue kering yang dikemas dalam toples. Asisten rumah tangga itu menyapa Safiya dengan sopan. Gadis manis nan ayu itu juga membalas sapaan.
Sedangkan sang tuan rumah sedang mengambil sesuatu yang akan diperlihatkan ke calon menantunya.
"Itu apa, Tan?" tanya Safiya karena Santi membawa beberapa majalah.
"Lihatlah dulu, dan pilih apa yang kamu sukai. Karena kalian kami jodohkan, tentu berbeda dengan pasangan yang akan bertunangan atau menikah karena cinta."
"Maka aku berinisiatif untuk membawa majalah ini, agar memudahkan dirimu memilih yang kamu sukai," jelas Santi menatap serius ke arah Safiya.
Safiya tak menyangka akan di undang ke rumah calon mertuanya, hanya untuk memilih beberapa jenis barang untuk seserahan.
"Kenapa enggak Tante saja yang pilih?" tanya Safiya menatap wajah cantik meski usianya tak muda lagi.
"Bisa saja aku memilihnya, Nak. Tapi, aku mau kamu mengutarakan apa yang kau sukai dan tidak," jawab Santi dengan nada suara lembut.
"Jadi, aku harus memilih ini, Tan?" tanya Safiya masih tak percaya dengan semua perlakuan Santi yang memang terlihat tulus, penuh kasih sayang.
"Iya, pilihlah! Jangan sungkan karena ini murni dari keluarga Samir untukmu. Kamu juga harus memilih dekorasi saat menikah nanti. Karena pertunangan hingga ke acara pernikahan terjeda lama," jawab Santi.
Safiya membuka lembar demi lembar majalah yang ia pegang. Pertama dari perhiasan, model cincin tunangan yang akan ia kenakan, baju dan semua printilan lain yang akan digunakan untuk hantaran seserahan saat pertunangan nanti.
Dua wanita beda usia itu terkadang bercanda hingga tawa mengisi ruang tamu itu. Rumah yang biasa hening, akhirnya terasa hidup. Santi pun tak tahu, kalau anak mendiang sahabatnya, akan sangat humbel juga pengertian.
Dia merasa tak salah kala teringat dulu, saat perjodohan itu terjadi. Telah lama tidak bertemu, setelah kejadian tak terduga yang akhirnya Safiya dinyatakan buta.
Santi merasa bersalah karena tak pernah mengetahui perkembangan gadis ini sampai matanya sembuh dan perjodohan dimulai. Maka, Santi berupaya menebus semua kelalainnya, karena tak memberikan perhatian kepada Safiya.
"Tan, aku rasa cukup," ucap Safiya membuyarkan semua lamunan Santi akan masa lalu.
"Ah, mana aku lihat apa saja yang kau pilih?" tanya Santi.
Safiya memperlihatkan apa yang dipilih, Santi merasa terhibur karena hari ini ada seseorang yang menemani. Tidak merasa bosan di rumah sendiri seperti biasanya.
Menit berlalu berubah menjadi jam, Santi mengajak calon menantu makan siang berdua saja. Karena para lelaki masih sibuk dengan pekerjaan dan belum bisa kembali ke rumah.
"Makanlah yang banyak, gemuk sediikit tidak masalah, kamu masih akan terlihat cantik juga seksi," ucap Santi saat di meja makan.
"Iya, Tan. Maaf, kalau kedatangku merepotkan," jawab Safiya.
"Ah, jangan berkata seperti itu. Tante suka karena tak kesepian karena tak ada kegiatan."
Tanpa terasa makan siang pun selesai dengan berbagai obrolan ringan. Santi sudah mengetahui keinginan Safiya saat pernikahan nanti. Sebagai sahabat mendiang ibu Safiya dan calon ibu mertua, dia akan membantu mewujudkan keinginan kecil calon menantunya.
"Masalah cincin pertunangan, nanti kita akan datang ke toko biar enggak mengecewakan hasilnya. Jari kamu bisa diukur biar pas," ucap Santi.
"Iya, Tan. Terserah bagaimana baiknya saja," jawab Safiya pasrah.
Merasa nyaman di rumah calon mertuanya, adalah hal langka untuk seorang wanita. Karena kebanyakan mereka kaum hawa tak akan betah berlama-lama di rumah mertua dengan berbagai alasan. Sedangkan Safiya merasa tidak nyaman di rumah sendiri.
Menerima perjodohan dengan banyak pertimbangan juga harapan agar dia menemukan kebahagiaan meski hanya sedikit. Safiya tak canggung dengan obrolan random meski keduanya beda usia cukup jauh.
Ada banyak cara untuk membangun rasa nyaman, meski orang itu baru ia temui beberapa kali.
"Tan, karena sudah hampir sore, aku pamit pulang ya? Nanti kita bisa bertemu di lain waktu," pamit Safiya.
Santi menatap jam dinding yang ada di ruang tamu. Angka menunjukkan jam dua siang. Sudah lama juga ia berbincang dengan gadis manis nan ramah ini.
"Sebenarnya aku belum mengizinkan kamu pulang, tapi aku juga tidak boleh egois karena kamu juga pasti ada kegiatan lain," ucap Safiya.
"Iya, Tan. Nanti kapan-kapan kita nyalon bareng biar makin asik," jawab Safiya dengan wajah berbinar menatap Santi.
"Ide bagus itu, Nak. Kamu sudah telpon sopir belum, kalau belum dianter sopir tante saja," tawar Santi kepada Safiya.
"Sudah, Tan. Pak Leo sebentar lagi datang," jawab Safiya.
Gadis itu berpamitan, Santi memberikan pelukan yang enggan dilepas oleh Safiya. Rasa rindu menyeruak di dadanya kepada ibunya yang telah tiada. Sepertinya, dia akan datang ke peristirahatan terakhir sang ibu sekaligus meminta restu mengenai perjodohan ini.
"Besok sore kita bertemu di mall, untuk membeli cincin itu," ucap Santi sebelum Safiya benar-benar pergi.
"Siap, Tan. Kabari saja kalau sudah mau berangkat. Nanti aku nyusul," jawab Safiya melepas genggaman tangan Santi.
Langkah Safiya keluar dari rumah mewah berlantai dua itu. Menuju halaman yang luas di mana kendaraan miliknya terparkir di sana.
"Pak Leo, antar aku ke makam ibu," ucap Safiya setelah duduk di mobil.
"Siap, Non."
"Kalau ada toko bunga berhenti ya, Pak?"
"Baik, Nona!"
Kendaraan roda empat itu kembali melaju meninggalkan rumah orang tua Samir. Safiya sedikit lupa dengan jalan menuju makan sang ibu. Sudah sangat lama dia tak berkunjung. Karena kondisinya saat itu yang tak bisa melihat, dan dia tak mau membuat ibunya semakin sedih dengan kebutaan yang dulu dia alami.
Sampai di toko bunga, Leo memberhentikan kendaraannya. Safiya memilih mawar merah sebagai rasa cinta kepada orang yang telah melahirkannya. Tak lama, setelah membayar, dia melanjutkan perjalanan menuju TPU tempat jasad ibunya bersemayam.
"Pak, antar saya ke tempat Ibu berada, karena saya lupa di mana letak makamnya."
"Nanti saya antar, Nona!"
Leo memarkirkan kendaraannya, lalu ia berjalan beriringan dengan nona mudanya. Tatapan Safiya tertuju pada sekeliling makan yang nampak terawat. Setelah berjalan cukup jauh dari awal masuk, akhirnya, dia sampai di depan batu nisan yang bertuliskan Dania binti Abdullah.
Leo memberikan ruang sendiri untuk gadis itu berdoa kepada penciptanya, memberikan doa untuk ibunya.
Safiya menghembuskan nafas panjang, tiba-tiba rasa sesak menghimpit dadanya. Duduk berjongkok membacakan beberapa doa untuk ibunya, setelah itu, ia letakkan buket bunga mawar merah di atas batu nisan.
"Apa kabar, Bu?" Safiya tersenyum saat bertanya.
Meski ibunya sudah di alam berbeda, tentu ia tahu kalau wanita yang sudah melahirkannya mengetahui keadaan dirinya.
"Kenapa ibu harus melakukan perjodohan ini, Bu? Aku tidak suka dengan rencana itu, dan membuat aku terpaksa melakukannya," ucap Safiya dengan suara yang mulai bergetar menahan tangis.
"Apa ibu juga tahu, kelakuan ayah dan kakak padaku? Tolong aku agar aku tak lagi dibenci mereka, Bu. Aku menyayangi keduanya, tapi mereka sangat membenciku karena aku, ibu tiada."
Safiya tak lagi bisa menahan tangisnya, saat mengatakan semua yang ia rasakan selama ini. Menunduk dengan air mata mulai membasahi kedua pipi mulusnya. Membuat sopir pribadi Safiya itu ikut merasakan betapa terlukanya sang nona.