Bab. 16. Luka Safiya.

1452 Kata
Puas menangis menumpahkan segala keluh kesahnya, di makam ibunya, Safiya menghapus air mata yang masih membasahi pipinya. Meski setiap hari yang ia lewati penuh dengan kesedihan, setidaknya, masih ada semangat untuk tetap hidup di dunia ini. Menatap nanar bunga mawar merah yang merekah indah di atas pusara, tangan Safiya menyentuh perlahan ke bunga itu, lalu berucap. "Jangan pernah biarkan aku sendiri, Bu. Restui dalam setiap langkahku, agar aku tetap kuat dan menjadi perempuan yang penuh semangat." Safiya mulai berdiri, menghembuskan nafas panjang, lalu beranjak pergi meninggalkan peristirahatan terakhir ibunya. Sopirnya sudah lebih dulu ke arah kendaraan yang terparkir tak jauh dari makam. Dalam keheningan, Safiya menikmati perjalanan menuju rumahnya sendiri. Lelaki paruh baya itu sesekali melihat Safiya dari kaca miror. Ia tak berani membuka obrolan, karena keadaan nonanya yang masih terlihat sedih. 'Aku berdoa dengan tulus untuk nona, agar orang tua calon suaminya, memberikan kasih sayang dan cinta yang tak pernah di dapatkan sejak ia kecil,' ucap Leo dalam hati. Tak terasa, perjalanan pun sampai di rumah. Safiya mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya ia melenggang pergi. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, tubuh gadis itu langsung terhempas di ranjang. Tak ada yang dilakukan oleh gadis itu, ia hanya menatap langit-langit kamarnya, dengan pikiran entah kemana. Menit berlalu, Safiya terpejam dengan dengkuran terdengar halus. ___ "Pa, ternyata, Safiya itu orangnya asik. Gadis itu pintar mencairkan suasana," ucap Santi kepada suaminya. "Dia anak baik, meski sejak kecil tak mendapatkan kasih sayang dari ibunya, dia tumbuh dengan sangat baik," jawab Akmal merangkul bahu sang istri. Santi mengubah posisi duduknya, menjadi miring, agar bisa bersitatap dengan wajah suaminya. "Tapi, Pa, Samir pernah menyatakan kalau dia tidak suka dengan Safiya." "Safiya juga tidak suka dengan putra kita, Ma!" "Iya, aku tahu. Tapi, Safiya masih bisa bersikap baik dan memperlakukan putra kita dengan baik juga." "Samir juga pasti terbiasa dengan hadirnya gadis itu, Ma. Kita doakan saja, pernikahan karena perjodohan ini lancar dan membuat hubungan yang awalnya biasa saja, berubah menjadi cinta, dan membuat keduanya semakin terikat." "Aku berharap, Samir menikah satu kali, meski dengan gadis pilihan kita, Pa." "Iya, Ma. Aku pun sama." Tak lama, orang yang sedang dibicarakan itu datang. Samir duduk di sofa yang kosong depan orang tuanya, dengan wajah terlihat lelah. "Kau dapatkan proyek itu?" tanya Akmal menatap wajah lelah putranya. Meski tahu kalau proyek dapat didapatkan oleh Samir, Akmal pura-pura tidak tahu. Seulas senyum simpul tersemat di bibir Samir. "Dapat dong, Pa!" "Wah, kau pintar sekali," puji Akmal dengan senyum lebar. "Jangan-jangan Radit yang membuat proposal itu, makanya proyek berhasil kau dapatkan?" tiba-tiba, Akmal memberikan pertanyaan tak terduga. Samir memberikan tatapan kesal, baru saja mendapat pujian, langsung dijatuhkan begitu saja. Rasanya, sakit luar biasa. "Enak aja kalau ngomong!" Samir mengutarakan kekesalannya. Akmal tertawa saat melihat wajah kesal anaknya. Belakangan ini, dia melihat kalau putranya mulai memperlihatkan keseriusan mengenai perusahaan. Jika hal ini sudah signifikan, maka, gelar CEO, akan segera didapatkan Samir atas perjuangannya membuat perusahaan semakin berkembang. "Perusahaan mendapatkan proyek besar, dan masalah pertunangan kamu juga selesai. Mama tinggal persiapkan semuanya dan dikemas untuk nanti di malam minggu," sahut Santi. "Ya, terserah mama sama Safiya saja, aku ngikut," jawab Samir. "Tinggal ke toko emas buat beli cincin. Tinggal empat hari lagi, kalau bisa, besok kamu usahakan ada waktu buat ke toko emas," ucap Santi. "Kenapa enggak mama dan dia saja?" tanya Samir menatap ke arah mamanya. "Emang yang mau makai cincin mama sama Safiya? Yang ditunangin itu kamu, bukan mama!" "Besok jam makan siang, kamu jemput Safiya. Nanti mama datang duluan ke toko buat mastiin pesanan cincin yang sesuai pilihan Safiya," sahut Akmal. "Iya, Pa!" Samir akhirnya tak bisa menolak keinginan kedua orang tuanya. Setelah ngobrol panjang lebar, mengenai pekerjaan, Samir memilih ke kamar untuk istirahat. Tujuannya adalah mandi, kemudian menikmati kopi. Mau ke kafe bersama Radit, rasa lelah lebih mendominasi. "Rasanya, baru kemarin lulus kuliah kemudian kerja. Tetapi, tak terasa, aku sudah mau dinikahkan sama gadis yang baru aku kenal tiga hari," monolog Samir. Tawa ringan berderai, "Jadi suami, apakah semua akan baik-baik saja?" Samir mulai memikirkan kehidupannya setelah menikah. Tinggal satu atap dengan wanita yang tak ia kenal sebelumnya, membuat ia tak tahu lagi harus bersikap. Lelaki itu mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Ingin sekali dia tak memikirkan hal yang belum terjadi, nyatanya, pikirannya tak mau berhenti. Setelah beberapa menit di kamar mandi, akhirnya wajah segar itu terlihat lagi. Dengan cepat memakai baju, dan duduk sambil bermain ponsel di sofa kamarnya. Saat mensekrol beberapa story, ia melihat satu nama yang masih dianggapnya asing. "Gadis kecil ini akan menjadi istriku," gumam Samir sambil menatap foto Safiya yang digunakan sebagai foto profil dalam sebuah akun sosmed. Samir terkekeh pelan, masih menatap foto itu. "Semoga gadis ini mengubur angannya untuk tetap berada di sisiku." ___ "Kakak ingin bicara sebentar denganmu," ucap Iqbal saat berpapasan dengab adiknya di lantai satu rumahnya. "Ada apa?" tanya Safiya tanpa menatap ke arah lelaki berpostur tinggi tegap itu. "Matamu sembab, kau menangis lagi?" tanya Iqbal mengeryit memperhatikan wajah adiknya yang terlihat berbeda. "Bukan urusanmu!" Safiya melanjutkan langkah untuk mengambil air minum di kulkas. Sedangkan Iqbal juga mengikuti langkah adiknya, memperhatikan setiap gerak gadis cantik yang sedang asik berdiri di depan lemari pendingin. "Safiya, aku beneran ingin bicara," ucap Iqbal menahan langkah adiknya. Gadis itu berhenti berjalan, menoleh ke lelaki yang berdiri dengan tatapan tertuju ke arahnya. "Sejak tadi aku sudah bertanya, ada apa? Kau saja yang memutarkan semua hal yang akan kau ucapkan," jawab Safiya. "Sini duduk!" Iqbal menarik pelan lengan Safiya berjalan lebih cepat ke arah ruang tamu. "Katakan!" Safiya menatap serius ke wajah rupawan yang memandang serius ke arahnya. "Sebentar lagi hari pertunganganmu, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Iqbal serius. Namun hal berbeda ditunjukkan oleh Safiya. Gadis itu malah tertawa lepas karena merasa aneh saat mendengar perkataan kakaknya. Setelah beberapa detik berlalu, gadis itu bertanya kepada kakaknya. "Kakak masih waras kan?" "Asal saja bicaramu itu!" Iqbal mendengus kesal menatap adiknya. "Sejak kapan kamu perhatian padaku?" tanya Safiya dengan wajah dinginnya. "Safiya, aku dengan bersungguh-sungguh ingin hubungan persaudaran ini baik-baik saja," ucap Iqbal. "Kemana saja waktu aku buta dan butuh perhatianmu, wahai sang kakak?" Safiya tertawa namun wajahnya terlihat sedih dan terluka. Kakak sebagai sosok pengganti ayah, yang diharapkan Safiya bisa mendampinginya dalam suka dan duka, nyatanya, malah memberikan luka yang sulit untuk disembuhkan. "Kau pikir aku bercanda?" tanya Safiya dengan ekspresi datar. Sejenak keduanya hening, Safiya bersidekap sambil melihat ke arah tv yang baru saja ia nyalakan. "Aku minta maaf, jika semua perlakuanku dulu begitu menyakitimu. Aku pikir, tidak ada gunanya jika aku terus mengikuti kemauan ayah untuk terus menyalahkanmu, mengenai keadaan yang tak pernah kau lakukan," ucap Iqbal. "Sekarang permintaan maafmu itu tidak berguna, Kak. Karena aku sudah hanyut terlalu dalam, dan tidak tahu caranya untuk menepi lagi, Kak!" "Setidaknya, aku bisa memberikan sedikit kebahagian diatas luka yang kau miliki," ucap Iqbal. "Aku rasa tidak perlu, Kak. Simpan semua hal yang kau punya untuk menyelamatkan dirimu suatu saat nanti. Aku sudah mengambil keputusan untuk menikah dengan lelaki yang bukan pilihanku." "Sebagai cara untuk pergi dari rumah yang membuatku setiap hari merasa sesak. Suatu hari nanti, aku akan berterima kasih kepada ayah karena perjodohan ini." "Atau mungkin, ayah yang akan meminta maaf kepadaku untuk semua hal yang terjadi. Tapi aku berharap, aku yang akan datang ke rumah ini untuk berterima kasih." Safiya menatap Iqbal dengan sorot mata penuh ketegaran. Semua yang sudah dipilihnya, tak akan pernah ia sesali, meski berujung menyakitkan untuknya. Gadis manis itu meninggalkan Iqbal yang terdiam dengan menatap punggung adiknya yang semakin menjauh. Lelaki itu menundukkan pandangannya, bersamaan dengan helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. "Aku menyesal telah memperlakukanmu seperti orang lain, Safiya. Setelah kau menikah, aku akan bekerja di perusahaan ayah dengan sungguh-sungguh. Agar kelak perusahaan itu maju dan semakin berjaya." "Aku juga akan berusaha menjadi kakak yang baik, agar tak ada lagi air mata yang membasahi pipimu," gumam Iqbal. Setelah sampai di kamar, Safiya tertawa, tetapi, lambat laun air mata kembali berderai. Rasanya, ia tak bisa menahan rasa sedih yang melanda hatinya. "Kenapa kau tawarkan semua kebahagiaan itu sekarang, Kak? Aku butuh semua itu sejak aku kecil, ketika aku dinyatakan buta, selama tiga tahun aku mencari cara untuk bisa berjalan tanpa bantuan orang lain." "Hanya tongkat sebagai penunjuk jalan. Bahkan, di kampus pun, aku tidak boleh kenal dirimu. Lalu sekarang, kau seolah menjadi kakak yang baik, semua itu sudah tak aku butuhkan, Kak." Safiya menghapus air matanya, kesedihannya entah kapan berujung bahagia. Karena dia benar-benar berjuang sendiri. "Safiya, jangan menangis! Semua sudah berhasil kau lewati. Semangat harus tetap ada, semoga, kelak, hidupmu berguna untuk orang banyak." Safiya mulai berdiri, menghirup udara sebanyak mungkin, menghembuskan secara perlahan, berjalan ke arah meja rias, untuk melihat betapa kacau wajahnya. Bersamaan dengan suara dering telpon yang menggema. Membuat Safiya mengeryit ke arah benda pipih itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN