bab. 14. Gertakan Radit.

1473 Kata
"Kenapa harus Safiya?" tanya Samir dengan menatap kesal ke arah sahabatnya itu. "Kenapa tidak?" Radit balik bertanya dengan raut wajah santai. "Kamu kan tidak cinta sama dia, ya aku yang akan mencintainya asal kau tidak menyentuhnya!" Radit kembali memberikan alasan mengapa dia menginginkan Safiya. Samir hanya mendengus saja tak memberikan sepatah kata pun kepada Radit. Keduanya kembali menikmati kopi dalam diam dengan suasana kafe yang semakin terdengar sahdu, beralunan musik menenangkan dan enak untuk menemani sore itu. "Dia akan menjadi istriku, kenapa kamu malah membuat pernyataan yang membuat aku kesal," ucap Samir kembali membuka obrolan. "Lah, aku hanya meneruskan apa yang kamu sampaikan tadi, Samir. Kalau kamu tidak akan jatuh cinta sama Safiya, bahkan berdeklarasi tak akan pernah menyentuhnya, meski kalian sudah menjadi pasangan dalam pernikahan." "Daripada tuh cewek jamuran karena kamu anggurin, aku yang akan menggantikan posisimu, setelah kau menceraikannya setahun kemudian," jelas Radit. "Tutup mulutmu, Radit! Sekali lagi kau bicara ingin memiliki Safiya aku hajar kau!" Tanpa sadar, Samir memberikan kalimat ancaman kepada sahabatnya. Hal itu membuat Radit tertawa terbahak karena sikap Samir benar-benar terasa aneh. 'Dia ini sebenarnya tertarik dengan calon istrinya, hanya saja, dia tak tahu cara membedakan mana rasa cinta juga simpati kepada gadis itu.' 'Kita lihat saja, Samir, kalau sampai kau lepaskan wanita itu, kau benar-benar lelaki bodoh yang pernah aku kenal,' monolog Radit dalam hati. "Berhenti tertawa, Dit!" titah Samir menatap kesal ke arah sahabatnya. "Ya, oke. Tapi aku tidak bercanda dengan semua ucapanku, Samir." Keduanya lantas melupakan obrolan mengenai Safiya. Mereka membahas pekerjaan juga membahas beberapa pertemuan bisnis yang akan dilakukan sebelum hari pernikahan digelar. Meski belum menjadi CEO secera resmi, Samir sudah mengambil alih seluruh pekerjaan penting dalam perusahaan. Menit berlalu, tak terasa hampir dua jam keduanya nongkrong di kafe. Akhirnya, keduanya memutuskan pulang karena lelah ingin beristirahat. ___ "Ceey .... Ada yang habis belanja!" Iqbal menatap serius ke arah Safiya yang baru datang dengan beberapa paper bag di tangannya. "Kenapa? Iri, bilang bos ...." Safiya menatap kakaknya dengan tatapan dingin. "Kamu sekarang pintar merayu ayah ya?" Iqbal bertanya dengan senyum sinis. "Enggak merayu, Kak. Aku meminta. Mau tahu apa sebabnya?" Iqbal hanya mengedikkan bahu saja, sebagai tanda tak perduli dengan alasan Safiya. "Aku enggak punya barang bagus untuk bertemu Samir. Kalau aku tidak belanja, siapa yang akan malu? Bukan aku, tapi ayah," ucap Safiya menjelaskan ke Iqbal. "Terserah, aku tak peduli!" Iqbal menjawab sambil fokus pada hp. Safiya melanjutkan langkah untuk masuk ke kamarnya. Dia tak mau ikut makan malam, karena dia sudah makan di mall. Yang ia butuhkan hanya mandi, lalu beristirahat. "Kapan lagi bisa belanja dengan puas tanpa memakai uang sendiri," ucap Safiya dengan tawa berderai. "Harus dengan alasan Samir, baru aku bisa belanja ini dan itu tanpa berpikir tak punya uang lagi." Gadis manis itu mulai beranjak ke ruang ganti, menyimpan semua belanjaan dalam lemari. Perhiasan dan beberapa aksesoris lainnya dia simpan juga dengan rapi. Bukan tanpa alasan ia membeli beberapa set perhiasan. Meski bukan berlian, setidaknya, dia punya barang yang bisa dia jual, saat ada keperluan mendesak. "Satu minggu itu sangat cepat berlalu, bagaimana bisa aku sesantai ini?" Memikirkan acara lamaran itu membuat dirinya enggan melakukan apa pun. Ponselnya berdering dengan nama yang sengaja belum dia rubah. "Tuan Aneh! Untuk apa dia menelponku lagi? Apa dia tak tahu diri, setelah membicarakan hal yang membuat aku sakit hati?" tanya Safiya sambil menatap layar ponselnya. Akhirnya, gadis itu mengangkat panggilan dari Samir. " Ya, ada apa?" tanya Safiya setelah panggilan terhubung. "Mama pemgen bicara denganmu," jawab Samir langsung pada inti pembicaraan. Safiya mengeryit, tak lama suara lemah lembut menyapa rungunya. "Halo, Sayang?" "Iya, Tan, apa kabar?" "Baik, Sayang. Besok kalau tidak sibuk, bisakah kau datang ke rumah? Ada beberapa hal yang harus tante bicarakan denganmu," ucap Santi. "Besok kebetulan tidak ada kelas, Tan. Nanti aku suruh Pak Leo buat anterin ke sana," jawab Safiya dengan suara lirih namun masih terdengar jelas oleh Santi. "Kebetulan sekali, kalau kamu enggak ada kelas. Nanti, biar Samir saja yang jemput kamu ke rumah. Lagi pula, kamu juga belum tahu alamat rumah sini kan?" "I-ya Tan! Bukankah Samir kerja?" Safiya berusaha pasrah dengan keputusan wanita yang melahirkan Samir itu. "Biarkan saja, menjemput kamu kan tidak sampai dua jam," jawab Santi. Meski dia enggan satu mobil dengan Samir, tapi, dia tak berani mengutarakan ketidaksukaannya ke lelaki itu. "Sampai jumpa besok ya, Nak," pamit Santi dengan suara riang. "Iya, Tan." "Besok aku jemput jam sepuluh siang. Karena setelah jam makan siang ada pertemuan dengan klien di luar," ucap Samir. "Oke," safiya menjawab singkat. Setelah mengatakan itu, Samir mematikan telponnya. Safiya menghembuskan nafas panjang karena dia harus kembali bertemu dengan lelaki tak punya hati. ___ Pagi hari yang terlihat mendung, cahaya matahari masih malu dan bersembunyi di gumpalan awan berwarna hitam. Rasanya, Safiya enggan bangun, karena cuaca pagi ini begitu mendukung untuk bergulung di bawah selimut tebal. Namun, janji bertamu ke rumah calon mertua, membuat pikirannya tak bisa tenang. Tepat jam tujuh pagi, dia membuka mata dan mulai menggosok gigi dan mencuci muka. Sarapan adalah pilihan nomor satu sebelum ia mandi kemudian bersiap pergi. Saat dia sampai di lantai bawah, kedua pasang mata menatap secara aneh ke arahnya. Gadis itu tanpa suara duduk dengan tenang, mengambil dua potong sandwidch, kemudian memakannya. "Tumben kamu keluar jam segini, ini hari rabu kamu kan libur kuliah," ucap Iqbal menatap ke arah adiknya. Safiya menghentikan kunyahannya, tersenyum tipis ke arah kakaknya, yang dia anggap menyebalkan itu. "Ternyata, kakak seperhatian itu ke aku. Aku pikir, kamu cuek dan membenciku tanpa ada perhatian sedikitpun," ucap Safiya. "Idih, GR amat sih!" Iqbal tak suka dengan ucapan adiknya seolah menyindirnya. "Enggak usah ngaku, tapi aku yakin kakak bakal rindu aku, kalau aku sudah menjadi istri orang," celetuk Safiya. "Benar dengan ucapan kakakmu, tumben kamu sudah bangun di jam segini?" tanya Hamzah menatap Safiya. "Samir akan menjemputku, karena mamanya ingin bertemu," jawab Safiya dengan kalimat datar. "Pakailah baju yang sopan, jaga tata krama di rumah calon mertua," ucap Hamzah. "Ayah tidak usah khawatir, meski ayah tak pernah mengajarkan semua itu padaku, aku tahu bagaimana caranya bersikap baik," jawab Safiya dengan menatap wajah ayahnya. Hamzah hanya diam tak menjawab, mengangkat cangkir kopinya, dan mulai menikmati cairan kopi itu dengan pelan. Dia tak akan mempermasalahkan apa pun yang dikatakan putrinya. Safiya sudah mau menerima perjodohan itu pun, sudah sangat berarti untuknya. "Kau tidak minta uang saku lagi kepada ayah?" sindir Iqbal kepada adiknya. "Kalau uangku habis, sebelun aku jadi istri orang, aku akan meminta kepadanya," jawab Safiya sambil mengangkat dagu ke arah Ayahnya. Senyum manis yang penuh arti itu tersungging di bibir Safiya. Gadis itu beranjak pergi ke arah dapur, dia meminta Mbak Ria untuk membuatkan coklat panas. Moodnya tidak boleh hancur, karena hari masih pagi dan dia masih banyak aktifitas yang harus dilakukan. "Nona, sudah sarapan?" tanya Mbak Ria. "Sudah, dong. Sekarang mau minum yang manis dan hangat," jawab Safiya. "Cokelat panas?" tanya Mbak Ria. Safiya mengangguk, "Nanti bawa ke taman belakang ya, Mbak! Aku mau duduk di sana sambil lihat tanaman." "Siap, Non!" Safiya enggan duduk bersama dua lelaki itu, lama kelamaan dia akan terpancing emosi. Udara singin menyapa kulitnya. Sudah lama, dia tak bisa menikmati keindahan pagi dengan begitu nyata. "Mendung, tapi udaranya begitu enak untuk sekadar duduk bersantai." Tak lama minumannya datang, Safiya berterima kasih kepada Mbak Ria. Aroma wangi bercampur manis membuatnya memejamkan mata dan menghirup dalam aroma cokelat itu. "Hanya dalam hitungan hari, aku akan meninggalkan rumah yang memberikan sejuta luka." ___ Setelah mandi dan bersiap, Safiya menunggu Samir datang. Tinggal lima belas menit lagi sebelum jarum jam pas di angkat sepuluh. "Tunggu di bawah saja deh!" Baru mau keluar kamar, pintunya sudah diketuk. Safiya membukanya, di sana ada asisten rumah yang memberitahu kalau ada tamu mencarinya. "Nona, ada tamu untuk anda!" "Iya, Mbak, saya akan segera turun." Langkah pelan menyusuri tangga, dari arah ruang tamu itu jelas terlihat di mana Safiya berjalan pelan. Tatapan mata Samir begitu awas mengikuti setiap gerak gadis cantik itu. Safiya pagi ini hanya berpenampilan sederhana, memakai dres warna hitam dengan aksen bordir di beberapa bagian. Rambut panjang yang biasa di gerai, dia kuncir. Memperlihatkan leher jenjang nan putih mulus. Semakin dekat, membuat Samir semakin sulit menelan ludah. Lelaki itu terpesona namun enggan mengakui. Make up tipis namun terlihat flawes itu semakin membuat penampilan Safiya sempurna. "Mau berangkat sekarang, atau nanti?" tanya Safiya menatap wajah tampan di depannya. Samir masih diam, belun merespon ucapan Safiya. Sehingga gadis itu menggoyangkan tangannya di depan wajah Samir. "Kau bertanya sesuatu?" tanya Samir menatap wajag ayu Safiya. Safiya menghela nafas panjang, "Iya, mau berangkat nanti apa sekarang?" "Sekarang saja, lagi pula, ayah dan kakakmu juga enggak di rumah," jawab Samir. Samir berjalan lebih dulu, Safiya asik membuka tasnya untuk melihat kalau ada barang pribadi yang tertinggal. Saat lelaki itu berhenti mendadak, membuat gadis itu tak sengaja menubruk bahu lebar Samir. Untungnya, Samir menoleh ke belakang, dia menarik tangan Safiya dan keduanya saling tatap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN