"Besok jam makan siang aku jemput," ucap Samir setelah sambungan terhubung.
"Mau kemana lagi?" tanya Safiya merasa bingung.
"Nanti kamu juga bakal tahu." Samir enggan memberitahu, namun merasa sedikit aneh dengan suara Safiya yang agak sengau.
"Aku berada di kampus, jangan menjemputku di rumah," ucap Safiya.
"Oke, setengah dua belas, aku akan ke kampus. Jangan banyak tanya dan banyak alasan," jawab Samir.
"Iya. Dasar tuan aneh!" gerutu Safiya namun masih terdengar jelas di pendengaran Samir.
Tak berapa lama, panggilan di matikan secara sepihak. Safiya menatap layar ponselnya dengan wajah kesal.
"Mau apa lagi, besok aku harus dijemput?" Safiya merasa bingung dengan Samir.
Safiya beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Melupakan semua pertanyaan yang ada di kepalanya.
___
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Kedaan rumah Safiya nampak sepi seperti biasanya. Makan malam yang terjadi tak ada obrolan. Hanya denting sendok yang beradu, mengisi kekosongan suasana tanpa suara.
Setelah menghabiskan makananya, Safiya mulai berdiri dari duduknya, untuk beranjak pergi. Namun langkahnya terhenti, saat suara Hamzah menginterupsi.
"Tunggu di ruang tengah, ayah mau bicara!"
Safiya hanya menoleh sekilas tanpa ingin menjawab. Entah, sepertinya dia sudah hilang respect terhadap apa pun yang menyangkut mengenai keluarganya.
Menunggu ayah dan kakaknya berada satu ruangan yang sama, Safiya memilih asik dengan ponselnya. Iqbal yang baru saja peka kalau adiknya ganti handphone pun bertanya.
"Kapan kamu beli ponsel?" tanya Iqbal yang memilih duduk di dekat Safiya.
"Kepo!" Safiya menjawab enggan menoleh.
"Kakak beneran tanya loh, Safiya."
Safiya memejamkam mata sejenak, ia menoleh ke arah kirinya, sehingga bersitatap dengan sepasang mata elang milik sang kakak.
"Sudah beberapa hari, dan kamu baru kepo?" Safiya menjawab memberikan sebuah pertanyaan.
"Ya, karena aku memang enggak tahu. Kamu punya uang dari mana? Enggak mungkin kalau ayah kasih ke kamu," tebak Iqbal.
"Aku pakai tabunganku, hp yang lama aku jual dan beli yang baru," jelas Safiya.
Keduanya berhenti ngobrol setelah Hamzah berdehem dan mengambil tempat duduk di sofa single depan kedua putranya.
"Ayah mau bicara mengenai hari pertunanganmu, Safiya," ucap Hamzah menatap bergantian ke arah dua anaknya.
"Apa lagi, Yah? Tadi pagi aku sudah datang ke rumah sahabat ayah untuk membicarakan semua hal mengenai pertunangan dan pernikahan," jawab Safiya dengan suara malas.
"Benarkah? Lalu apa yang kamu mau?" tanya Hamzah.
"Aku maunya pesta sederhana. Tetapi, itu tidak mungkin bukan?" tanya Safiya menatap serius ke arah ayahnya. "Dua keluarga terpandang dengan banyak harta, harus mengadakan pesta pertunangan secara sederhana?" Safiya kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku sudah pilih dekorasinya mau seperti apa, bersama mamanya Samir perlengkapan untuk pertunangan pun sudah hampir selesai," jawab Safiya.
"Ayah lihat dekarosi yang kau pilih?" tanya Hamzah.
Safiya mengotak-atik ponselnya dan memberikan benda pipih itu ke ayahnya. Hamzah melihat kalau putrinya memilih acara dilakukan di luar ruangan.
"Kau pilih halaman sebagai tempat dilaksanakan acara?" tanya Hamzah menatap serius kepada putrinya.
"Ya, halaman kita luas dan yang diundang juga keluarga dan beberapa kolega saja," jawab Safiya.
Iqbal yang sejak tadi menjadi pendengar mulai bicara dalam hati. 'Kenapa Safiya berubah menjadi antusias dengan perjodohan ini? Bukankah ia tak setuju kalau dijodohkan?'
'Atau semua yang dia katakan tadi siang memang benar?'
"Kamu yakin, Safia dengan perjodohan ini?" tanya Iqbal menatap ragu ke arah adiknya.
"Memangnya selain yakin, aku bisa apa?" Safiya membalikkan pertanyaan ke arah kakaknya.
"Keputusan adikmu sudah benar, Iqbal! Jangan kau racuni dengan hal-hal yang akan merugikannya," sahut Hamzah menatap serius ke arah putranya.
"Kalau bisa di hentikan, kenapa tidak, Yah? Lagipula, penglihatan Safiya sudah sembuh. Ayah tidak perlu menggerutu untuk mengeluarkan uang banyak untuk biaya penyembuhannya," ucap Iqbal seolah menjadi pahlawan untuk adiknya.
"Kakak ...!" Safiya menoleh sambil memanggil Iqbal.
Lelaki itu terdiam, sambil menatap balik ke arah adiknya. Safiya menggeleng, sebagai tanda untuk mengalah atas semua keputusan yang sudah dia ambil. Gadis itu selain merasa tak betah berada di rumahnya sendiri, dia juga tak mau beradu mulut dengan ayahnya.
"Tapi ingat satu hal, Yah. Kalau sampai Safiya tidak mendapatkan kebahagiaan setelah berumah tangga, orang pertama yang aku salahkan adalah dirimu, Ayah!" Iqbal seolah memberikan ultimatum keras kepada ayahnya.
Hamzah sedikit terperangah dengan ucapan putranya. Dia tak menyangka kalau anak sulungnya akan berubah haluan untuk melawannya. Lelaki paruh baya itu mulai berpikir, apa yang salah dengan semua yang ia lakukan?
Obrolan pun kembali terjadi, Safiya juga sudah menceritakan detail mengenai baju juga cincin pertunangan itu. Gadis itu hanya menyuruh ayahnya untuk mencari catering terbaik untuk acaranya nanti di malam minggu.
Karena keluarga Samir sudah melakukan hampir 70% dari rangakaian acara. Safiya juga tidak mau kalau keluarganya malu atas acara yang akan berlangsung. Apalagi kedua belah pihak adalah orang terpandang. Meski ia tak suka dengan perilaku ayahnya, gadis itu masih menjunjung tinggi martabat keluarganya.
____
Seperti biasa, aktifitas pagi hari adalah pergi kuliah. Safiya pagi ini nebeng kakaknya. Awalnya, gadis itu menolak saat Iqbal memberikan tumpangan. Namun, karena lelaki tampan itu mendorong keras tubuh ramping adiknya hingga masuk ke mobil, akhirnya, Safiya duduk di dekat kemudi menuju kampus bersama kakaknya.
"Nanti kamu bakal malu kalau aku keluar dari mobil bagus kamu," ucap Safiya tanpa menoleh ke kakaknya.
Sayangnya, Iqbal hanya diam tak menanggapi ucapan adiknya itu. Lelaki itu membuang semua dendam dan benci kepada Safiya. Karena sejatinya, gadis itu memang bukan penyebab ibunya tiada. Semua karena takdir yang harus diterima.
Mau menyangkal kalau Safiya bukan adiknya, semua terasa percuma. Karena darah akan tetap lebih kental daripada air. Sebentar lagi, adiknya akan pergi dari rumah, jika dia sudah menyandang gelar istri.
Lalu tak ada lagi seseorang yang akan ia ajak bicara meski tak sering, dan tak ada lagi sosok yang akan ia ajak bertengkar, meski hanya hal sepele.
"Sejak kapan kamu berubah menjadi orang tuli, Kak?" Safiya merasa jengkel karena sejak tadi ia tak dianggap oleh Iqbal.
"Ternyata kamu cerewet. Aku pikir, sejak kamu buta itu kamu juga sedikit bisu. Ternyata, kamu lebih cerewet dari seoran nini," jawab Iqbal.
Tas selempang yang berada di pangkuan Safiya melayang mengenai bahu Iqbal. Hal itu membuat lelaki tampan itu mencekal tas warna hitam dengan tangan sebelah kanannya.
"Sakit dodol!" keluh Iqbal menoleh sekilas ke arah adiknya.
"Rasain! Suruh siapa ngatain aku bisu terus cerewet kaya nini-nini," jawab Safiya menarik paksa tasnya.
Untungnya, barang yang ada di dalamnya tak berhambur keluar karena menghantam badan Iqbal. Sampai di kampus, Safiya buru-buru keluar, dia berjalan cepat karena kakaknya sedikit berlari agar mengimbangi langkah adiknya.
Semua aktifitas kedua orang itu menyita perhatian orang-orang yang sudah datang di kampus. Iqbal yang terkenal dingin dan tak pernah dekat dengan wanita, akhirnya membuat fenomena.
Berita kedekatan itu akhirnya menyebar, karena semua orang belum tahu, kalau keduanya adalah saudara. Safiya juga enggan meluruskan berita yang beredar. Karena menurut gadis itu tak penting, dan hanya membuang waktu.
Gina yang menjadi teman dekat Safiya pun tak mendapat jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Gadis itu hanya tersenyum penuh arti menatap wajah cantik yang memakai hijab.
"Gimana, jadi main bareng aku enggak? Mumpung mata kuliah hanya dua," bisik Gina saat di dalam kelas.
Safiya menoleh, "Lain kali ya, Gin. Aku hari ini ada acara dadakan sama Tante. Nanti aku bakal dijemput sama anaknya setelah mata kuliah selesai."
Gina memberungut, "Kapan dong? Kamu punya hutang menjelaskan semua hal yang terjadi loh?"
Safiya tersenyum, "Aju bakal secepatnya atur waktu buat kita jalan berdua deh!"
Menit berlalu, jam bergulir dengan cepat. Safiya selesai dengan mata kuliahnya. Gadis itu mulai berjalan santai ke arah parkiran. Menunggu Samir datang untuk menjemputnya.
"Kalau Samir enggak antar kamu pulang telpon kakak, nanti aku jemput," ucap Iqbal secara tiba-tiba sudah berada di belakang Safiya.
Safiya yang kaget mengumpat lelaki yang berselisih dua tahun.
"Kaya jalangkung saja!"
Iqbal duduk di sebelah adiknya, bertepatan mobil Samir terparkir tak jauh dari mereka duduk. Calon tunangan Safiya itu mulai turun dan menyapa Iqbal.
"Apa kabar, Kak?"
"Baik," jawab Iqbal tersenyum ke arah Samir.
"Aku mau minta izin membawa Safiya untuk memilih cincin pertunangan," ucap Samir.
Iqbal tersenyum dengan mengangguk pelan. "Pulangnya jangan malam-malam!"
"Siap, Kak!" Samir menjawab dengan senyum tipis.
Safiya mulai beranjak dan berjalan meninggalkan kakaknya. Dia harus mulai terbiasa berada di dekat manusia aneh seperti calon tunangannya.
Safiya duduk dengan menahan gugup yang luar biasa. Jantungnya berdetak tak karuan karena harus berdekatan dengan lelaki yang susah ditebak.
'Ya Allah, apakah aku bisa menghabiskan seumur hidupku dengan lelaki ini?'