Perjalanan menuju sebuah mall itu terasa menyebalkan menurut Safiya. Karena lelaki dingin berwajah tampan itu tak mengucapkan sepatah kata pun untuk memulai bicara. Dan dia juga tak tahu cara membuka obrolan dengan seseorang yang kaku.
Hingga sampai tujuan pun, Samir tetap diam. Namun, saat Samira turun dari kendaraan dia membantu membukakan pintu. Safiya hanya memberikan seulas senyum tipis, tanpa ucapan terima kasih.
Lelaki berjas hitam itu berjalan lebih dulu, membuat Safiya kalang kabut mengimbangi langkahnya. Karena kebetulan perempuan berwajah cantik itu memakai hells setinggi tujuh centi.
"Pikiran lelaki dingin itu kemana? Jalan cepat kaya mau dapat piala oscar saja," gerutu Safiya pelan.
Karena dia merasa sakit pada kakinya, Safiya memilih berhenti sejenak sambil membuang nafas pelan.
"Biarkan saja dia jalan lebih dulu, aku bisa telpon mamanya untuk bertanya di mana letak toko perhiasan itu," ucap Safiya pelan.
Menatap punggung Samir yang sudah agak jauh, Safiya mencebikkan bibirnya karena benar-benar merasa lelah.
"Dasar lelaki tak ada perhatian. Peka sedikit kenapa?"
Safiya terus saja menggerutu, dia juga mulai melanjutkan langkah. Sayangnya, dia tak perhatikan jalan di depannya, karena sibuk mengambil ponsel di tasnya. Hingga kejadian tak terduga mulai datang.
Safiya menabrak d**a bidang Samir yang sengaja menunggu. Safiya hampir saja jatuh karena insiden itu. Untungnya, lelaki tampan itu menarik pelan pergelangan tangan Safiya. Keduanya saling tatap, gadis manis itu langsung berdiri dengan benar, sekaligus menetralkan degub jantung yang berdebar.
"Kalau jalan itu pakai mata, Safiya. Jangan asik pada barang pribadimu saja!" Samir berucap dengan nada kesal.
"Suruh siapa kamu jalan cepet banget. Kamu enggak tahu apa kalau aku pakai hells?" Safiya sengaja mengacungkan satu kaki kananya agar Samir melihat hells yang ia kenakan.
"Alasan saja!" Samir yang kesal akhirnya mengambil tangan Safiya dan keduanya gandengan.
Safiya terdiam tak bicara lagi. Tatapan matanya tertuju pada tangannya yang terasa hangat karena tangan Samir yang menggandengnya. Safiya juga tak jadi mengirim pesan ke Santi. Tak lama, keduanya sampai di sebuah toko perhiasan.
Senyum santi langsung menyapa, saat Samir membuka pintu dan masuk ke toko.
"Kalian kemana saja? Kenapa lama sekali?" tanya Santi langsung ke arah Safiya.
Gadis itu melapas tautan tangan Samir, kemudian bertakzim kepada Santi. Wanita paruh baya yang masih awet muda itu mengelus pelan kepala Safiya dengan senyum tulusnya.
"Maaf kalau telat, Tan." Safiya meminta maaf karena datang terlambat.
"Enggak apa-apa, yang penting kalian sudah sampai," jawab Santi.
Santi langsung membawa Safiya dan Samir ke etalase toko. Karena tadi mamanya Samir sudah bicara dengan manager toko, jadi, beberapa pilihan cincin sudah siap di depan mata. Termasuk model cincin yang dipilih Safiya hari itu.
"Mau tetap memilih cincin yang kemarin atau ganti lagi, Sayang?" tanya Santi menoleh ke arah calon menantunya.
Safiya tersenyum, dia menoleh ke arah calon suaminya. Meski enggan bertanya untuk sekadar tukar pendapat, Safiya juga tak boleh egois. Samir juga harus memilih cincin itu.
"Samir, bagaimana menurutmu?" tanya Safiya menatap wajah tampan itu.
"Aku menurut saja apa pilihanmu. Wanita yang lebih pintar memilih," jawab Samir yang memang pasrah mengenai cincin pertunangan.
Baginya, kalau Safiya suka dengan desain yang dipilih, tentu semua menjadi yang terbaik.
"Kalau gitu, aku tetap pada pilihanku yang kemarin, Tan," jawab Safiya.
Keduanya lantas mengukur jari agar size cincinya pas. Setelah itu, mereka menunggu beberapa saat sampai cincin pertunangan siap di bawa pulang. Setelah melakukan p********n, Santi berjalan di depan bersama Safiya.
Entah apa yang keduanya bicarakan, sehingga tertawa dan terlihat asik. Samir hanya menjadi pendengar yang baik, sesekali menatap wajah cantik yang ekspresif.
"Mau makan di sini atau di restoran lain, Samir?" tanya Santi menoleh ke arah putranya.
"Terserah mama saja, aku oke-oke aja," jawab Samir.
"Oke, di sini saja. Setelah makan siang, kita ke butik buat ambil baju buat acara. Setelah itu baru terserah kalian mau kemana," ucap Santi.
Ketiganya melakukan makan siang di restoran sebuah mall. Santi yang memilih menu makanan itu. Dan Samir izin untuk ke toilet dulu. Saat itu, digunakan Santi memberitahu apa saja yang disukai dan tidak disukai Samir.
Safiya merasa beruntung karena Santi memberinya beberapa tips juga memberi arahan saat nanti ia menjadi istri. Hal-hal sepele namun sangat berguna unguk dirinya. Setidaknya, Santi tidak menjadikan dirinya musuh atau seorang lawan, seperti kebanyakan ibu mertua lainnya.
Saat Samir kembali, akhirnya makan siang pun terjadi. Santi sengaja mengambil gambar diam-diam. Ia akan mengunggahnya nanti setelah sampai di rumah. Senyum puas terlihat jelas di wajah cantiknya.
___
Setelah mengambil beberapa setel baju juga kebaya, Safiya langsung disuruh membawa kebaya yang akan ia kenakan di malam lamaran nanti. Santi menelpon sopir, sehingga Samir langsung mengantar calon istrinya pulang.
Safiya menikmati perjalanan pulang dengan menatap ramaianya kendaraan di siang menjelang sore itu. Agar rasa bosan berada dalam satu lingkup dengan Samir sedikit terurai. Gadis itu juga sadar, kalau Samir baik kepadanya hanya sebuah tuntutan saja.
Karena dia sudah tahu, visi dan misi lelaki itu saat menerima perjodohan. Dia tak berharap lebih dengan pernikahan yang akan ia jalani. Setidaknya, dia bisa lepas dari belenggu yang kian mencekik, meski dia tinggal bersama keluarganya.
Saat kendaraan mewah itu terparkir di depan rumahnya, Safiya langsung bersiap turun. Namun Samir kembali membuat gadis itu takjub, meski terlihat bodo amat, nyatanya, Samir membukakan pintu untuknya.
'Semoga perlakuan kecil seperti ini terus ada meski nanti sudah tinggal bersama,' ucap Safiya dalam hati.
"Aku tidak bisa mampir, salam saja kepada ayahmu," ucap Samir.
Safiya mengangguk, "Terima kasih."
Samir hanya menatap datar ke arah Safiya, lalu masuk ke kendaraannya, kemudian melaju meninggalkan rumah mewah berlantai dua itu.
Safiya masuk membawa paper bag yang berisi kebaya juga sepatu. Rumah nampak sepi, ia hanya menatap sekeliling rumah dengan tatapan lelah. Kemudian, menuju kamarnya.
Tubuh safiya melayang jantuh ke ranjang berukuran besar. Tatapannya tertuju ke langit-langit kamarnya.
"Apa aku pergi keluar saja nanti malam bertemu Gina?"
Sesaat, Safiya punya ide pergi berdua dengan Gina. Sebelum acara lamaran, dia butuh ruang sendiri. Setidaknya, temannya itu harus ia undang agar ada seseorang yang ikut bahagia di acara spesial.
"Aku chat dulu deh, siapa tahu Gina enggak ada acara."
Safiya meraih tas yang tergeletak di sebelahnya, dia kemudian mengetik beberapa kata, untuk Gina. Tak lama, pesan pun direspon. Temannya itu bersedia bertemu sambil makan malam di luar.
Safiya meminta Gina yang memilih restoran. Karena dia belum paham, tempat mana yang menyediakan makanan yang enak. Setelah deal, gadis itu mulai mandi.
Tiga puluh menit kemudian, safiya sedang menikmati secangkir kopi di ruang tengah. Tak lama, Iqbal datang dan ikut duduk di sana.
"Aku pikir kau akan pulang malam," ucap Iqbal menatap adiknya yang bersikap acuh.
"Nanti habis magrib keluar lagi," jawab Safiya dengan nada datar.
"Sama Samir lagi?"
Safiya menggeleng sebagai jawaban.
"Sama siapa lagi? Jangan mulai keluyuran tak jelas! Nanti ayah bakal marahin kamu."
"Aku ada rencana pergi sama Gina dari kapan hari. Aku pikir tidak ada salahnya aku ajak makan malam, sebelun nanti aku disibukkan dengan acara lamaran, lalu pernikahan."
Iqbal mengangguk paham, Safiya menatap dalam ke arah kakaknya. Ia kadang tak paham, dengan sikap Iqbal yang berubah tak bisa ditebak.
"Jangan lupa izin sama ayah!" Iqbal berkata sambil beranjak naik ke lantai dua.
"Iya ...!" Safiya menoleh memperhatikan kakaknya yang sudah jauh.
Hanya selang sepuluh menit dari kedatangan kakaknya, ayahnya juga datang. Hamzah berhenti sejenak saat melihat Safiya duduk di sofa ruang tengah. Keduanya saling tatap untuk beberapa detik, kemudian lelaki paruh baya itu melanjutkan langkah.
Namun sebelum menjauh dari ruang tengah, suara Safiya menghentikkanya.
"Ayah, aku akan izin keluar bersama Gina sahabatku."
Hamzah menoleh, "Pergilah. Jangan pulang larut malam."
"Boleh aku membawa mobil sendiri?"
Hamzah ingin mengatakan Pak Leo yang akan mengantar. Tetapi, dia baru ingat kalau sopir anaknya sudah pulang.
"Biar Iqbal yang mengantar."
Safiya hanya mengangguk saja, daripada dia tidak diizinkan pergi, lebih baik dia diantar kakaknya.
___
Setelah bersiap dan berhasil mengajak kakaknya, gadis itu akhirnya dalam perjalanan menuju sebuah restoran yang alamatnya sudah dikirimkan Gina.
"Gara-gara kamu aku jadi enggak bisa istirahat," gerutu Iqbal kepada adiknya.
"Ih, bawel aja dari tadi. Kalau aku boleh bawa kendaraan sendiri, aku juga enggak bakal ganggu kamu," jawab Safiya menatap sengit ke arah kakaknya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, keduanya sampai.
"Aku akan ikut masuk dan menunggu kamu sampai selesai," ucap Iqbal.
"Kamu pulang aja deh!" Safiya menatap penuh harap ke kakaknya.
"Sudah sana masuk! Aku bakal ikut masuk dan duduk berjauhan dengamu. Kamu enggak perlu takut aku denger semua obrolan kalian," ucap Iqbal mendorong pelan tubuh ramping adiknya agar masuk lebih dulu.
Safiya menghentakkan kakinya, wajahnya ditekuk dengan bibir manyun. "Kenapa dia berubah perhatian? Padahal dulu mau nebeng ikut ke kampus saja semua penghuni kebon binatang terucap semua."