Safiya tersenyum lebar kala tatapannya beradu dengan Gita. Gadis berkerudung itu melambaikan tangannya agar sahabatnya itu segera menghampiri. Iqbal yang melihat dari jauh hanya diam memperhatikan.
"Menyebalkan. Aku harus menjadi baby sitter dadakan," gerutu Iqbal sambil mencari meja yang kosong.
Beralih pada dua gadis manis itu, mereka memesan makanan juga minuman.
"Kenapa secara tiba-tiba kau menelpon ngajak keluar?" tanya Gina menatap wajah cantik Safiya.
"Aku pikir, beberapa waktu ke depan, tidak ada waktu untuk bertemu denganmu, kalau tidak sekarang," jawab safiya.
"Kenapa? Kau membuat teka-teka di malam hari?" Gina bertanya dengan wajah kesal.
Safiya terkekeh pelan, "Makan malam sudah datang, lebih baik kita makan dulu."
"Kau semakin membuat aku penasaran," keluh Gina sambil menghela nafas pelan."
Safiya tertawa pelan, gadis itu juga melihat ke segala arah untuk menemukan kakaknya duduk di sebelah mana.
"Kau mencari apa?" tanya Gina yang ikut penasaran dengan tingkah sahabatnya.
"Kau tahu, aku datang di antar kakakku," aku Safiya sambil memulai makan.
"Wah, keren sekali. Seandainya aku juga punya kakak," jawab Gina dengan penuh rasa iri.
Gina adalah anak pertama dari dua bersaudara. Dia menjadi iri saat Safiya mengatakan punya kakak.
"Itu karena terpaksa saja, karena sopirku sudah pulang," jelas Safiya.
Obrolan terus terjadi, hingga makanan yang terhidang di maja mulai habis. Setelah selang beberapa menit, Safiya memulai bicara kepada Gina. Gadis itu menceritakan sedikit kisah hidupnya kepada gadis berhijab itu.
Safiya merasa nyaman berada di dekatnya, percaya bahwa gadis itu tak akan membocorkan semua rahasia yang dia ungkap. Gina sampai menangis tersedu, saat mengetahui sisi kelam hidup sahabatnya.
Dari mulai dia dituduh menjadi penyebab kematian ibunya, hingga dia kecelakaan yang mengakibatkan kebutaan. Namun setelah penglihatan kembali normal, Safiya kembali dihadapkan dengan masalah baru.
"Aku dijodohkan, Gina. Acaranya lusa jam delapan malam," ucap Safiya masih dengan senyum tipis menatap sahabatnya.
Air mata kembali berlinang membasahi pipi gadis berhijab itu.
"Kamu punya mantra apa? Sehingga masih bisa tenang dan menerima semua keadaan?" tanya Gina sambil menghapus air mata yang jatuh di pipi.
"Aku sudah banyak belajar dari kesalahan maupun dari kisah hidupku sendiri, Gina. Merasa terbuang iya, tetapi kini ada cara untuk aku melangkah pergi meninggalkan mereka yang tak menginginkan keberadaanku," jawab Safiya.
"Untungnya, mukzizat datang di saat yang tepat, Safiya."
"Ya, aku pun merasa bahagia karena mataku kembali normal, Gina. Lupakan dengan kisahku! Jangan lupa datang di acara lamaranku ya?"
Gina mengangguk sebagai jawaban, "Tentu aku harus datang, dan mendoakan yang terbaik untukmu."
"Terima kasih!" Safiya meraih tangan kanan Gina, lalu meremasnya pelan. Senyum tipis selalu menutupi luka di hatinya.
Obrolan terus berlanjut, hingga pukul sepuluh malam, kedua wanita itu memutuskan untuk pulang. Iqbal memperhatikan interaksi kedua gadis dari jarak jauh. Setelah Gina masuk ke kendaraannya, Safiya pun mulai berjalan mendekat ke arah kakaknya yang berdiri bersandar pada pintu mobil.
"Ngrupiin apa sih, lama banget baru pulang?" tanya Iqbal kepada adiknya.
"Kakak sejak kapan kepoin aku?" Safiya malah balik bertanya.
"Ah, susah ngomong sama kamu, malah. Bukannya dijawab malah tanya," gerutu Iqbal sambil membukakan pintu untuk Safiya.
Setelah mengambil tempat duduk, Safiya memakai sabuk pengaman dengan senyum mengembang. Iqbal lalu menjalankan kendaraannya menuju rumah. Mata lelah Safiya tak bosan memandang indahnya gemerlap lampu yang mewarnai kegelapan malam.
Iqbal sesekali menoleh ke sisi kirinya, melihat binar kebahagiaan yang jarang ia lihat di wajah adiknya, entah mengapa membuat hatinya menghangat. Sepertinya, acara perjodohan dengan Samir memberikan dampak baik untuk hubungan dirinya, adik, juga ayahnya.
"Jangan lihatin aku dengan ekspresi seperti itu, Kak!"
Iqbal menoleh saat mendengar ucapan adiknya. "Kenapa emangnya?"
"Nanti kamu bakal kangen kalau pas aku sudah enggak di rumah lagi."
"Tinggal aku datangi saja rumah suamimu agar bisa bertemu denganmu."
"Ish, dasar menyebalkan!"
Iqbal tertawa pelan, tak menyangka akhirnya dia bisa mencoba lebih dekat dengan adik kandungnya.
'Andai saat itu aku tak ikut menyalahkan semua masalah yang ada pada Safiya, tentu gadis ini tak punya luka yang cukup mengaga,' ucap Iqbal dalam hati.
Perjalanan ke rumah pun sampai, Safiya langsung melangkah lebih dulu, meninggalkan kakaknya yang masih mencoba memasukkan kendaraannya ke dalam garasi. Rumah sudah mulai sepi, karena jarum jam bergerak menuju dini hari.
"Safiya tunggu!" seru Iqbal yang sudah menyamai langkah adiknya.
"Apa sih, Kak?" tanya Safiya memasang wajah lelahnya.
"Main nylonong aja. Orang mah ucapin terima kasih dulu kek, apa kek," jawab Iqbal mencoba menahan langkah adiknya.
Lelaki itu baru sadar, kalau dalam hitungan hari, adiknya akan menjadi istri orang. Lalu, tak ada seseorang lagi yang akan dia ganggu, atau sekadar menghilangkan rasa suntuknya.
Ternyata, membuka hati untuk adiknya terasa menyenangkan. Daripada harus menuruti ego untuk terus membangun benteng yang tinggi dan saling menyalahkan.
"Makasih, kakakku yang cerewet." Safiya berlari kecil masuk ke kamarnya. Iqbal hanya menatap siluet adiknya sambil garuk-garuk kepala.
___
"Safiya, setelah resmi menjadi menantu keluarga Akmal, jangan mempermalukan keluarga kita!"
Setelah sarapan selesai, Hamzah berucap hal yang hanya membuat Safiya tersenyum sinis.
"Papa kira aku mau selingkuh, atau bunuh diri, sehingga membuat jagat pemberitaan heboh?"
"Safiya ...." Iqbal mencoba mengendalikan emosi adiknya.
Gadis itu menoleh ke arah kakaknya, memberikan tatapan yang sulit diartikan.
"Meski semua adalah setingan ayah, aku tidak akan pernah mempertaruhkan ikatan pernikahan. Akan aku jalani apa pun yang sudah menjadi pilihanku, Yah. Kau tak perlu khawatir!"
Safiya memutuskan pergi dari meja makan. Rasanya dadanya mulai bergemurih menahan amarah, setiap kali ayahnya berbicara mengenai pernikahannya. Gadis itu menuju taman belakang. Duduk pada sebuah bangku dan menatap ke seluruh area bagian belakang.
Sejak kecil, dia sudah terbiasa hidup susah maupun mandiri. Harusnya, masalah seperti ini bisa ia kendalikan dan jalani dengan mudah. Namun nyatanya, tetap saja ada rasa tak terima dalam diri Safiya.
Masa mudanya direnggut oleh ayahnya. Ditukar dengan perjodohan yang tak seharusnya dilakukan pada era modern seperti sekarang. Hembusan nafas panjang mulai terdengar.
"Mama, aku rindu!" sebuah kalimat yang terus terucap jika dia berada di titik lemah.
Safiya adalah gadis biasa, yang masa kecilnya tak merasakan kasih sayang dari keluarga. Kemudian, kebutaan membuat dia dikucilkan bahkan selalu terhina.
"Percuma saja aku mengeluh, semua harus dijalani karena sudah menjadi bagian takdir yang memang aku terima."
___
"Iqbal, ayah harap kamu juga tidak seenaknya seperti adikmu," ucap Hamzah yang masih setia duduk di meja makan.
"Maksud ayah apa?" tanya Iqbal merasa ambigu dengan perkataam pria paruh baya di depannya.
"Setelah Safiya menikah, kau juga harua belajar mengelola perusahaan. Belajar tanggung jawab, karena kau seorang pri!" Hamzah menjawab dengan menatap serius ke wajah putranya.
Iqbal mengangguk, "Tentu aku akan belajar banyak hal, Yah. Lagi pula, aku sebentar lagi sidang."
"Itu akan sangat bagus untuk masa depanmu. Ayah akan ke kantor sebentar, karena ada pertemuan yang tidak bisa di undur. Kau jaga adikmu karena malam nanti acara pertunangan akan dilaksanakan," titah Hamzah.
"Pertunangan ini Safiya menyutujui dengan sadar, Yah. Dia tak akan melarikan diri, kalau ayah takut soal itu," jawab Iqbal.
Hamzah seolah tak peduli dengan ucapan Iqbal, lelaki itu melihat jam digital yang ada di tangannya, lalu dia bersiap untuk pergi ke kantor.
"Pokoknya jagain Safiya, ayah tidak takut dia melarikan diri."
Iqbal hanya diam sambil menatap kepergian ayahnya. Setelah ayahnya tak terlihat lagi, lelaki itu berusaha mencari Safiya yang melangkah ke area belakang. Hembusan nafas lega, terdengar dari bibir Iqbal.
"Ayah sudah berangkat ke kantor. Kamu mau di situ terus?" tanya Iqbal sambil berdiri bersandar pada pintu. Tangan kanannya ia masukkan pada kantong celana pendeknya.
Safiya menoleh, tatapannya tertuju pada lelaki berwajah tampan yang mirip dirinya.
"Ngapain kamu malah ke sini? Ganggu saja!"
"Siapa yang ganggu? Aku cuma mau kasih info kalau Ayab sudah enggak di rumah."
Safiya mulai beranjak dari tempat duduknya, dia berjalan ke arah kakaknya. "Kamu enggak pergi juga?"
"Enggak. Aku mau istirahat karena nanti malam acara spesial adikku," jawab Iqbal sambil menarik hidung mancung Safiya.
Safiya mengusap hidungnya yang terlihat memerah karena ulah sang kakak. "Ish, nyebelin!"
Tawa Iqbal berderai memenuhi area taman belakang. Sedangkan Safiya bersungut kesal karena ulah sang kakak. Sampai di kamar, gadis itu tak tahu apa yang harus ia lakukan. Entah mengapa dia tak ke kampus, rasanya sangat membosankan.