2. Penglihatan Mama

1139 Kata
Raya menatap bangunan di depannya. Bangunan tua yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi tempatnya berteduh. Sebuah pohon besar tumbuh tepat di depannya, dengan daun yang begitu rindang. Raya mengembuskan napas sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam bangunan yang tidak lain adalah rumahnya itu. "Kamu kok cuekin dia?" Suara seorang wanita menyapa gendang telinga begitu dia masuk. Raya meletakkan kantung kresek yang dibawanya ke atas meja makan. "Terus aku harus gimana? Sok kenal?" "Ra, tapi—" "Dia nggak berbeda sama orang-orang, Ma. Dia natap aku aneh. Lagi pula ini pertama kali kami ketemu langsung." Raya mengeluarkan satu per satu cup mie instan yang dibelinya. "Mama lihat lho, kamu bakalan akrab sama dia." "Maaf, Ma. Tapi kayaknya penglihatan Mama kali ini salah," ucap Raya. Dia menatap mamanya sejenak sebelum berlalu ke kamarnya. "Dia bahkan ngira gue setan," gumam Raya. Dia benci mengakuinya, tapi penglihatan mamanya selama ini memang tidak pernah salah. Raya melemparkan tubuhnya ke kasur dan memandang langit-langit. Gadis itu meringis ketika punggung tangannya tidak sengaja bergesekan dengan permukaan sprei. Dia lalu bangkit dari posisinya dan berjalan mengambil kotak P3K. Berkelahi memang bukan keahliannya. Apalagi dia seorang perempuan. Meskipun Tuhan memberinya kelebihan, tapi bukan berarti tidak ada yang bisa melukai dirinya. Sepulang sekolah tadi, Raya membantu seorang wanita yang berusaha mengambil tasnya kembali dari seorang preman. Meskipun ragu, Raya berusaha membantu wanita itu. Dia membuat kedua kaki preman itu tersandung karena sebuah batu yang dilemparkannya secara diam-diam. Kesempatan itu dia gunakan untuk mengambil tas. Namun ketika dia berhasil merebutnya, preman itu mengeluarkan sebuah pisau lipat tapa bisa dia duga. Alhasil benda tajam itu menggores punggung tangannya. Seketika orang-orang di sekitar berlarian menghampiri saat mendengar jeritan wanita. "Awww!" Raya meringis saat mengoleskan anti septik. "Gue tuh bukan superhero, ngapain juga nolongin orang." Raya memasukkan kembali kotak P3K ke dalam laci dan kembali berbaring. Gadis itu menolehkan kepalanya pada jendela kamar, dan tirai tertutup seketika. Hal itu membuat kamarnya menjadi sedikit lebih gelap. Kedua matanya terpejam. "Penyihir!" "Dia pembawa sial!" "Pembawa kutukan!" Raya membuka kedua matanya. Lagi-lagi ingatan itu. Dia membencinya. Raya memegang salah satu pelipisnya yang tertutup oleh poni. Terasa guratan bekas jarum di sana. Sepuluh tahun yang lalu, orang-orang di tempat asalnya melemparinya dengan batu. Mereka menganggap Raya dan mamanya adalah penyihir, pembawa sial, dan semacamnya. Bahkan papanya sendiri juga melakukan hal yang sama. Lelaki itu dengan tega mengusir istri dan anaknya dari rumah. Menyuruh mereka pergi sejauh mungkin dan tidak kembali lagi. Tirai terbuka begitu Raya kembali menoleh pada jendela. Gadis itu terkekeh tanpa alasan. Dalam hatinya, dia ingin sekali memecahkan kaca jendela kamar itu dan menusuk setiap sisi lehernya dengan pecahan kaca. Namun sisi lain dirinya menahan sekuat tenaga, mengingat masih ada orang yang butuh kehadirannya. Mamanya. Raya tidak mungkin meninggalkan mamanya begitu saja. Gadis itu menatap sebuah foto yang terpajang di dinding kamarnya. Foto dua orang anak kecil, yang satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Mereka terlihat mengenakan pakaian berwarna putih. Yang perempuan mengenakan rok bermotif bunga dan bando putih di atas kepala. Sementara yang laki-laki mengenakan jumpsuit dan topi yang berwarna senada. Senyum keduanya terlihat sama, serta garis wajah yang serupa. Melihat foto itu, tiba-tiba membuat Raya teringat kembali dengan Angkasa. Dia membuang napas saat mengingat reaksi Angkasa tadi. Lelaki itu seperti benar-benar ketakutan. Padahal, Raya tidak berniat sama sekali menyakitinya. Meskipun dia bisa melakukannya kapan pun, tanpa harus bersusah payah menyentuh Angkasa. Dia bahkan bisa melukai Angkasa hanya dengan tatapan mata, atau bahkan tanpa perlu menatapnya pun bisa dia lakukan. Kalau perlu dia Raya bisa saja merobohkan semua bangunan di sekolahnya. Setahun berada di sekolah yang sama, namun baru kali ini Raya bertemu langsung dengan Angkasa. Dia memang tidak begitu peduli dengan orang-orang di sekitarnya, tapi yang dia tahu Angkasa itu tidak lain adalah murid yang rajin. Rajin dihukum oleh Pak Tomi karena sering tidak mengerjakan tugas matematika. "Kadang takdir gak bisa diubah, Ra. Kalo udah Tuhan yang mutusin, kamu gak bisa apa-apa kecuali nurut. Menghindar pun percuma. Tuhan masih punya cara lain." Raya bukannya tidak ingin bertemu dengan lelaki itu. Hanya saja setiap kali dia melihat Angkasa, dia teringat pada— Memikirkannya saja sudah membuat Raya pening. Raya berjalan menuju kamar mandi dan segera membersihkan tubuhnya. ? Angkasa meletakkan kantung kresek yang dibawanya ke atas meja. Lelaki itu kemudian berjalan menuju kamarnya. Namun tepat ketika dia hendak menaiki tangga, kepalanya menoleh pada seorang wanita yang tengah duduk di sofa yang tidak jauh darinya. "Kenapa, Ma?" Angkasa berjalan mendekati mamanya yang terlihat begitu gelisah. "Tadi tas Mama diambil preman, Sa." "Kok bisa? Mama gak kenapa-kenapa kan? Barang Mama ada yang ilang?" Angkasa terlihat begitu khawatir. Mamanya menggeleng. "Mama gak kenapa-kenapa. Tapi .... " Matanya tiba-tiba menatap mata Angkasa. "Tapi?" "Mama khawatir sama orang yang nolongin Mama tadi. Mama lihat tangannya luka. Tapi dia langsung pergi pas balikin tas Mama." "Enggak parah, 'kan? Nanti juga sembuh, Ma. Udahlah. Yang penting sekarang Mama baik-baik aja." "Tapi Sa, masalahnya dia perempuan. Tangannya berdarah. Mama jadi kasihan sama dia. Belom sempet ngucapin terima kasih juga." Angkasa menaikkan sebelah alisnya. Dia seperti teringat sesuatu. "Mama masih ingat mukanya?" "Dia cantik, rambutnya sebahu, dan .... " Mamanya menatap seragam yang dipakai Angkasa. "Dia pakai seragam sekolah yang sama dengan kamu." "Hah?" "Seragam kalian sama. Iya, Mama gak salah lagi. Dia satu sekolah dengan kamu." Satu sekolah? "Sa? Kok malah ngelamun?" Mama Angkasa menggoyangkan lengan putranya pelan. "Eh ... enggak kok, Ma. Ya udah, Angkasa mau ke kamar. Capek." Angkasa perlahan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Dia meletakkan tas miliknya di atas meja belajar dan berjalan menuju kasur. "Gue manusia. Sama kayak lo." Angkasa seketika mengingat gadis yang ditemuinya di belakang sekolah tadi. Auranya terasa agak berbeda dari kebanyakan orang. Mendadak bulu kuduk Angkasa meremang. ? Diandradora Ini Kak Angkasa Danial kan? Yang kelas XI IPA 2 itu? Ariennn Ya ampunn.. pangerannya Cakrawala?? Koalala_ Bang, munduran dikit dong. Gantengnya kelewatan. Ea~ Ujung ibu jari milik Raya terus mengamati komentar-komentar dari para gadis di sekolahnya. Bahkan ada beberapa siswi dari sekolah lain yang ikut berkomentar. Raya tidak mengerti mengapa para gadis-gadis itu mengagumi Angkasa. Padahal Angkasa tidak sepopuler Gavin, ketua OSIS sekolahnya. Angkasa juga payah dan penakut. Raya menolehkan kepalanya ke pintu kamar begitu seseorang masuk. "Mama manggil kamu dari tadi. Pantesan gak denger. Ternyata lagi stalking i********: punya Angkasa." Mama Raya terkekeh pelan. Melihat itu, Raya langsung mematikan layar ponselnya. "Ada apa, Ma?" "Mama mau minta tolong buat beliin telur ke depan." Raya mengangguk. Dia bangkit dari posisinya. "Ra, kamu belum akrab juga sama Angkasa, ya?" Langkah Raya terhenti di detik itu juga. "Ma, tolong berhenti bahas itu. Takdir yang Mama bilang itu, bakalan aku ubah. Aku gak mau ngelibatin orang lain lagi. Cukup Rama. Setelah itu, enggak ada lagi. Nggak terkecuali Mama." Raya menelan ludah. Dadanya terasa sesak setiap kali menyebut nama Rama. Jika posisi Rama saat itu bisa dia tukar, maka Raya akan menukar Rama dengan ayahnya. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN