Rori mengumpulkan keluarganya malam ini. Ia ingin jujur pada mereka. Rori sudah menunggu di ruang keluarga. Mahera sedang berjalan ke arahnya.
"Papa sama Mama mana?" tanya Rori.
"They're still up there. Actually, they're afraid if you set up a prank again!"
"Nggak, Mbak. Kali ini aku mau ngomong serius."
"Really?" Mahera menelisik adiknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "My Rori, udah berkali-kali kamu nge - prank aku. Kali ini aku nggak akan kena lagi."
"Sumpah demi Allah, Mbak. Aku serius!"
"Emangnya you mau bilang apa, sih, My Rori?"
"Kita tunggu Papa sama Mama dulu, Mbak. Aku nggak mau jelasin dua kali. Karena jujur ini berat banget buat aku pribadi."
Mahera mengernyit. "Aku jadi tambah curiga. I smell something's fishy."
Raut Rori memelas. "Mbak Hera, tolong percaya sama aku kali ini aja! Sushi udah nggak percaya lagi sama aku. Aku udah nggak punya siapa - siapa lagi selain Mbak Hera, Mama, sama Papa!"
"I selama ini selalu percaya sama you, My Rori. Tapi you waste all my trust to you!"
"Aku akuin aku salah, Mbak. Tapi tolong kali ini aja percaya sama aku! Kasih aku kesempatan terakhir buat dapet kepercayaan dari Mbak Hera!"
Mahera sebenarnya kasihan pada adik semata wayangnya. Tapi ia benar - benar masih kesal karena sudah dibohongi ratusan kali oleh adiknya sendiri.
Oom Holkay dan Tante Alona berjalan beriringan menuju ruang keluarga. Tatapan mereka terlihat curiga. Mencurigai sang anak bungsu. Sekaligus mencari - cari siapa tahu ada kamera yang sedang mengintai.
"Ada apa sebenernya, Ror?" tanya Oom Holkay.
"A - aku pengin ngomong serius sama kalian semua." Rori sampai tergagap. "Papa sama Mama silakan duduk dulu."
Oom Holkay dan Tante Alona saling berpandangan. Mereka enggan, tapi akhirnya tetap duduk juga.
"Mama, Papa, Mbak Hera." Rori memulai tujuannya. "Aku tahu selama ini aku udah nyia - nyiain kepercayaan kalian, berkali - kali. Sekarang aku udah nerima akibatnya. Aku dihukum sama Tuhan. Aku kena karma yang benar - benar buruk!
"Dua hari yang lalu aku periksa ke rumah sakit. Hari ini diagnosanya keluar. Aku ... sakit parah. Ada kanker di dalam usus aku. Udah stadium tiga. Aku harus jalanin pengobatan secepatnya. Aku bener - bener butuh dukungan dari kalian semua. Karena aku nggak bisa laluin ini semua sendirian."
Hening ... semua orang tertegun. Mereka benar - benar tak percaya dengan apa yang baru saja Rori katakan. Mereka benar - benar tak dapat menerimanya. Kesedihan tersirat dengan begitu jelas di raut mereka.
Rori terlihat lega karena keluarganya percaya padanya. Setelah ini ia bisa menjalani pengobatan dengan tenang. Ia benar - benar bersyukur.
Sampai ....
Terdengar suara cekikikan tawa, berasal dari Tante Alona. Disusul suara tawa Oom Holkay. Lalu terakhir tawa Mahera. Sejujurnya Mahera hanya ikut - ikutan kedua orangtuanya karena ia tak mengerti apa yang membuat mereka tertawa.
Rori pun tercengang. Ternyata ia memang sudah kehilangan kepercayaan semua orang. Semua orang kini menganggap bahwa apa pun yang ia lakukan, apa pun yang ia katakan, hanyalah sebuah kebohongan.
"Rori ... Rori ...." Oom Holkay berkata di tengah tawanya. "Papa ngerti kamu sangat into sama Youtube. Papa hargai usaha kamu. Ya ... Papa emang jengkel karena sering jadi korban kamu. Tapi Papa nggak bisa benci sama kamu. Bagaimana bisa Papa membenci anak Papa sendiri? Tapi ... beneran, prank kamu kali ini ... konyol banget!" Oom Holkay tertawa lagi.
"Mana si Sushi, Ror? Biasanya dia ikutan akting sama kamu!" sahut Tante Alona. "Jangan - jangan dia kamu sembunyiin di tempat rahasia, biar bisa ngerekam semuanya dengan baik!"
Rori menggeleng. "Aku berani sumpah, Ma, Pa! Aku nggak bohong! Aku beneran sakit!" Rori masih berusaha menjelaskan.
Oom Holkay menggeleng. "Udah Rori, ini udah malem. Kita semua udah capek dengan segala aktivitas hari ini, kan? Yuk, mari ke kamar masing - masing, lalu tidur."
"Pa, aku serius!" Kedua mata Rori sudah berair. Hatinya sangat sakit karena tak lagi dipercaya oleh kedua orangtuanya sendiri. Tapi ia tak mau berhenti berusaha. "Seperti yang aku bilang tadi, aku udah dihukum sama Tuhan karena dosa - dosa aku selama ini. Aku bener - bener nyesel. Sekarang yang aku butuhin hanya dukungan dari kalian."
Oom Holkay mengacungkan jempolnya. "Bagus sekali, Nak!" Oom Holkay menghapus airmata yang baru saja menuruni pipi Rori. Ia lalu bertepuk tangan. "Ternyata kamu bener - bener berbakat dalam hal akting. Nanti kamu Papa kirim ke Jakarta, deh. Ikut casting di sana. Dengan casing mentereng superior kayak gini dan bakat yang mumpuni, kamu bisa jadi aktor bertaraf internasional. Ngalahin Iko Uwais, deh, nanti!"
"Tapi, Pa ...." Rori benar - benar bingung bagaimana harus menjelaskan lagi. Ia lalu teringat dengan hasil pemeriksaannya. Ia mengambil map dari tas, mengambil isinya, memperlihatkannya pada sang Papa. "Ini hasil pemeriksaan aku, Pa. Ini hasil periksa lengkap."
Oom Holkay tersenyum sembari menyingkirkan berkas - berkas yang diberikan Rori. "Total banget kamu emang, ya, Nak. Masya Allah emang. Sampai bikin bukti pemeriksaan palsu segala. Haha. Udah, yuk, ah. Papa bener - bener udah ngantuk. Ayo, Ma, Hera, Rori, semuanya tidur."
Oom Holkay sudah berbalik dan siap melangkah. Namun kemudian Rori berlutut dan memeluk kedua kakinya. "Pa, tolong percaya sama aku. Aku harus gimana biar Papa sama Mama percaya sama aku. Tolong, Pa, Ma. Aku nggak bisa hadapin ini sendirian. Benar - benar nggak bisa."
Kesabaran Oom Holkay sudah habis rupanya. Ia telah coba bersabar sejak tadi. Tapi Rori terus saja seperti ini. "RORI!" bentaknya.
Hal itu berhasil membuat Rori melepaskan pelukan dari kakinya. Anak itu jatuh terduduk di atas karpet. "Udah, Rori ... semuanya udah cukup! Dewasa lah, Nak. Kamu nggak bisa selamanya kayak gini! Kamu harus mulai mikirin masa depan kamu!"
"Tapi, Pa ...."
"Cukup, Rori, cukup! Sekali lagi kamu coba jelasin omong kosong itu, Papa bakal berbuat sesuatu hal yang nekat untuk mendidik kamu. Supaya kamu mengerti, manusia hidup di dunia bukan hanya untuk bersenang - senang. Supaya kamu mengerti kerasnya dunia. Dan berhenti melakukan banyak hal bodoh yang nggak ada hikmahnya sama sekali!"
"Pa, aku nggak bohong! Aku bener - bener sakit, Pa!"
"RORI!" Bentakan kembali terdengar. Lebih keras dari sebelumnya. "Kesabaran Papa benar - benar udah habis. Rupanya kamu emang perlu didisiplinkan!"
Suasana terasa mencekam. Tante Alona dan Mahera tak dapat berbuat apa - apa untuk membantu Rori. Toh akar dari masalah ini dilakukan oleh Rori sendiri. Rori memang perlu 'dididik'.
"Mulai besok kamu harus pergi dari rumah ini! Papa akan sediain sebuah rumah buat kamu tinggali. Rumah yang mungkin nggak pernah ada dalam bayangan kamu selama ini untuk ditempati. Papa akan ambil mobil kamu. Papa juga akan narik semua fasilitas, termasuk kartu kredit. Papa cuman akan kirim uang sebulan sekali, dan itu hanya cukup untuk makan sehari - hari dan juga keperluan rumah. Biaya kuliah, kamu pikirin sendiri. Dengan begitu, kamu akan banyak belajar."
"Papa ...." Belum selesai Rori bicara, sang Papa sudah menyela.
"Keputusan Papa nggak bisa diganggu gugat. Atau kamu mau disipliner ini diperberat?"
Rori bungkam seketika. Ia tak berani mengatakan apa pun lagi. Membiarkan orangtua dan kakaknya pergi.
Dunia Rori berputar 180° hanya dalam beberapa hari.
Dibenci sahabatnya sendiri. Tidak dipercaya oleh keluarganya sendiri. Ia sakit parah, dan tak ada yang peduli. Sekarang ... Ia justru diusir dari rumah, dan diharuskan mencari uang sendiri.
Lalu bagaimana dengan biaya pengobatannya nanti?
~~~~~ Y S A G ~~~~~
-- T B C --