Pemuda itu meremas ujung map warna cokelat di tangannya. Rautnya terlihat lesu. Kedua matanya nanar dan memerah.
Ia berharap ini hanya mimpi. Ia berharap bisa segera bangun dan kembali ke dunia nyata. Tapi bagaimana caranya? Jika nyatanya saat ini memang bukan mimpi. Ini adalah kenyataan yang sesungguhnya.
Rori melempar map dan tas selempang ke jok belakang. Ia lalu membuka pintu mobil bagian depan. Ia masuk dengan tergesa. Ingin rasanya ia pergi dari tempat yang bau obat ini secepat mungkin.
Ia ingin segera memberi tahu semua orang terdekatnya. Ia ingin mencari pertolongan. Ia ingin mendapatkan solusi tentang apa yang harus ia lakukan. Sebelum semuanya bertambah parah. Sebelum ia ... benar - benar mati.
Untuk saat ini -- selain keluarga -- hanya Sushi yang ada di pikirannya. Sudah menjadi sebuah kebiasaan, sejak dulu ia selalu membagi apa pun lebih dulu pada Sushi dibanding dengan keluarganya.
Tapi semenjak insiden bodoh yang dilakukannya sendiri di cafe dua hari yang lalu, Sushi sama sekali belum menghubunginya.
Rori pernah coba menelepon, namun tak diangkat. Rori mendekatinya di kampus, tapi Sushi menghindar.
Apa jika sekarang Rori memberitahunya tentang hal ini, Sushi akan peduli?
Rori ragu, namun ia tetap mendial nomor Sushi. Nada tunggu terdengar mencekam di telinganya. Mengira - ngira bagaimana reaksi Sushi? Atau justru ... Sushi tak akan menanggapinya seperti yang sudah - sudah.
Benar ... sampai nada tunggu bersambut dengan suara operator wanita. Mengatakan bahwa saat ini penerima tak dapat menerima panggilannya. Rori mengulang sampai beberapa kali. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim sebuah pesan.
Sus, sekali lagi gue bener - bener minta maaf. Gue jelasin sekali lagi, waktu itu gue beneran sakit, gue beneran black out. Tapi pas sadar gue lihat muka khawatir lo. Gue nggak bisa nahan diri buat ketawa. Gue sebenernya nggak ngerjain lo. Gue ketawa karena gue terkesan sama kepedulian lo.
Rori mengetik pesan yang lain.
Sus, bener kata lo. Kayaknya gue kena karma. Dan karma yang gue terima bener - bener buruk. Gue habis nerima diagnosa yang belum bisa gue terima. Gue sakit parah, Sus. Gue butuh pengobatan instensif segera, atau gue bisa mati. Jujur, gue nggak bisa hadapin ini sendirian sekarang. Gue butuh dukungan keluarga dan orang - orang terdekat. Terutama lo, Sus.
Rori menunggu beberapa saat. Sushi belum juga membaca pesan itu. Padahal saat ini ia sedang online. Rori mengetik pesan lagi.
Gue nggak bohong, Sus. Gue serius. Gue beneran sakit.
Rori berusaha meraih map cokelat di jok belakang. Ia membukanya, kemudian memotret isinya. Lalu mengirim hasilnya pada Sushi.
Kedua mata Rori membulat kala melihat dua centang yang tadinya berwarna abu - abu, berubah menjadi biru. Tanpa sadar bibirnya mengulum senyum. Ia sangat bersyukur. Akhirnya Sushi mau membaca pesannya.
Rori menunggu reaksi Sushi.
Sampai beberapa saat, Sushi tak juga mengetik pesan balasan. Kenapa? Apa ini berarti Sushi belum mempercayainya? Sushi masih menganggapnya berbohong? Sushi masih belum memaafkannya. Bahkan saat ia sakit, sahabatnya itu tak lagi peduli.
~~~~~ Y S A G ~~~~~
"Ar ... Ardi ...!" Seorang wanita paruh baya yang memakai daster, memanggil Sushi yang masih sibuk mengangkut satu per satu sak berisi padi.
Padi - padi itu adalah hasil panen Pak Rudi -- tetangga Sushi yang paling berada. Syukur lah, keluarga Pak Rudi bukan orang yang congkak. Juga tidak pelit.
Ketika panen raya seperti sekarang, ia selalu mengajak semua tetangga untuk bekerja bersama. Selain akan membayar jasa mereka dengan uang, Pak Rudi juga akan memberi hasil panen itu. Makanya para tetangga dengan senang hati selalu membantu.
Wanita berdaster yang memanggil Sushi tadi bernama Maryam -- ibu kandung Sushi. Ia adalah seorang single parent, terhitung semenjak ayah Sushi meninggal tujuh tahun yang lalu.
"Bentar, Bu!" Sushi menumpahkan seluruh isi sak di atas pelataran Pak Rudi yang disemen. Pelataran ini memang sengaja dibangun untuk menjemur padi seperti sekarang.
Sushi sebenarnya heran. Tadi Maryam bersamanya bekerja membantu Pak Rudi. Tapi tiba - tiba sekarang sudah berada di depan gubuk kecil mereka.
"Kenapa, Bu?" tanya Sushi begitu ia sampai di dekat Maryam.
"Ibu tadi, kan, dimintain tolong Pak Rudi bikin es buat kita semua. Eh, di dalem Ibu lihat HP kamu dipakek mainan sama Adek. Udah Ibu coba minta, tapi nggak boleh. Coba kamu aja yang minta, biasanya dia kan nurut sama kamu. Ibu takut aja kalo dia hapus data - data penting kamu."
Sushi mencoba melihat ke dalam rumah. Benar, Kafka adiknya sedang memainkan ponselnya. "Ya udah, deh, Bu. Aku minta dulu."
Maryam mengangguk. "Ibu balik ke rumah Pak Rudi duluan." Wanita itu mengambil ceret besar berisi minuman rasa jeruk yang terlihat segar.
Sushi segera masuk ke rumah setelah Ibu pergi. Ia mendekati Kafka perlahan.
Jarak umur Sushi dan Kafka hanya lah tiga tahun. Fisik Kafka mirip seperti Sushi. Orang yang tak tahu akan menganggap Kafka sebagai anak yang 'normal'. Namun nyatanya, Kafka adalah anak yang berbeda.
Kafka menyandang keterbelakangan mental. Di usia yang sudah 17 tahun, pola pikirnya masih seperti anak balita. Kafka tidak suka tiap kali diganggu, terutama saat ia sedang asyik. Kafka adalah anak - anak yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa.
"Dek ...," ucap Sushi sembari duduk di sebelah Kafka.
Kafka hanya menoleh sebentar, kemudian kembali asyik berkutat dengan ponsel Sushi.
Sushi coba melihat apa yang sebenarnya sedang Kafka lakukan dengan ponselnya. Oh, ternyata Kafka hanya membuka semua aplikasi yang ada secara bergantian. Sushi tersenyum karenanya. Hanya karena itu, Kafka sudah terlihat sangat senang.
"Dek, tadi Mas lihat di luar anak - anak lagi main layang - layang. Kamu nggak mau ikut?"
Kafka masih tetap konsentrasi menatap layar ponsel.
Sushi tak menyerah. "Dek, ayo! Ntar Mas bantuin kamu nerbangin layangannya, deh. Kamu belum tahu, kan, kalo Mas pinter banget nerbangin layangan? Bisa terbang tinggi banget, nanti diiket di tiang, biar tetep terbang sampai berhari - hari."
Kafka agaknya mulai tertarik. Kini ia memandang wajah kakaknya. Seperti bertanya apakah benar Sushi ahli menerbangkan layang - layang?
Saat ini dimanfaatkan Sushi untuk mengambil ponselnya dari tangan Kafka. Syukur lah, Kafka tak menyadarinya.
"Sana, kamu duluan keluar! Biar Mas cari dulu layangannya."
Kafka mengangguk dan segera melakukan apa yang Sushi minta. Syukur lah, Kafka memang selalu menurut padanya.
Sebelum mencari layang - layang, Sushi terlebih dahulu mengecek ponselnya. Siapa tahu ada pengumuman di grup kelas. Atau ada chat penting.
Sushi tertegun melihat ada tujuh panggilan tak terjawab dari Rori. Juga ada pesan baru dari Rori. Pesan - pesan itu sudah terbuka. Pasti Kafka yang tak sengaja membukanya.
Sushi membaca pesan dari Rori secara runtut. Ia sebenarnya sudah tak terlalu marah pada Rori. Jujur, Sushi sendiri bingung kenapa ia bisa begitu marah pada Rori. Ia merasa sudah bersikap berlebihan. Apalagi Rori adalah sahabatnya sejak lama.
Kemarin Sushi sangat emosi. Ditambah ia merasa iri dengan kondisi ekonomi keluarga Rori yang sangat berada. Rori bisa bersenang - senang, melalukan apa pun, memiliki apa pun, tanpa harus bersusah payah. Sedangkan ia?
Sushi tidak berteman dengan Rori karena materi. Sushi tulus berteman dengannya. Tapi terkadang, rasa iri itu sama sekali tak terbendung. Puncaknya adalah kemarin. Ditambah Rori yang mengerjainya. Padahal ia benar - benar khawatir pada Rori.
Rori mengaku ia tidak berbohong. Bahkan sekarang ia mengaku sedang sakit parah. Ia juga mengirim bukti hasil pemeriksaan. Tapi Sushi masih belum tahu harus percaya atau tidak.
"Mas ... ayo!" seru Kafka dari arah depan rumah.
Sushi akhirnya tersadar bahwa ia memiliki janji dengan adiknya itu. Ia lalu beranjak untuk mencari layang - layang, meletakkan ponselnya di dalam laci.
~~~~~ Y S A G ~~~~~
T B C