Bab 5

2017 Kata
Andre tidak terlihat lagi setelah memberikan ucapan selamat kepada Christian dan Gillian. Bukan hanya kedua orang tuanya dan Farrel saja yang mencari, tetapi juga Tara dan Dini. Mereka sudah menyusuri kediaman keluarga Santoso, dari mulai halaman depan sampai halaman belakang tapi Andre tetap tidak terlihat. Bahkan di lantai dua juga Andre tidak mereka temukan. Adriana sudah cemas saja. Andre tidak mungkin ke mana-mana, masih di rumah ini. Hanya saja mereka belum menemukannya. Berkali-kali Max meyakinkan istrinya dengan kata-kata seperti itu agar Adriana tenang. Namun, naluri seorang ibu tidak bisa disangkal. Adriana tahu kalau Andre masih berada di sini, tapi dia dapat merasakan kalau putranya tidak baik-baik saja. Andre sedang kesakitan. "Daddy, ini gimana, sih? Masa Andre belum keliatan juga." Kedua tangan Adriana saling meremas, kentara sekali kalau dia sedang cemas. "Kenapa?" tanya Gillian. Dia baru bisa menghampiri Adriana lagi setelah selesai menyapa tamu-tamunya yang lain. "Kata Dini, Andre nggak ada, ya?" Adriana mengangguk. Wajah cantiknya menunjukkan kecemasan yang sangat. Wajar, putra satu-satunya menghilang entah ke mana. Meski baru beberapa jam, tetap saja Adriana takut terjadi sesuatu pada putra tunggalnya. "Udah dicari ke ...?" Gillian tidak melanjutkan kata-katanya, hanya jari telunjuknya saja yang menunjuk ke segala arah rumahnya. Adriana mengangguk lagi. "Udah, tetap nggak ada." "Di atas?" tanya Gillian seraya menunjuk lantai dua rumahnya. "Udah juga," sahut Adriana lemas. "Nggak ada juga." "Kita periksa kamera pengawas kalo gitu!" usul Christian. Dia juga baru bisa menyusul. Tamu-tamunya sudah mulai pulang, pesta akan segera berakhir. Semua setuju dengan usul itu. Mereka mengangguk kemudian melangkah menuju ruang kendali. Menanyakan tentang Andre pada dua orang petugas yang berjaga di sana. "Nggak keliatan mas Andre, Pak," jawab salah seorang petugas. "Di saya juga nggak ada," sahut petugas lainnya. Adriana semakin cemas saja. Kalau tidak tertangkap kamera pengawas, lalu ke mana putranya? Apakah Andre pergi keluar saat orang-orang tengah sibuk menikmati pesta sederhana pasangan Santoso? Adriana yakin tidak, mobilnya masih ada, mustahil Andre meninggalkan tempat ini dengan berjalan kaki. "Itu mas Andre!" Seruan salah seorang petugas jaga membuat mereka menolehkan kepala serentak pada petugas jaga itu, kemudian beralih pada monitor yang ditunjuk si petugas. Di layar itu tampak Andre menaiki tangga tergesa, menghilang di lantai atas yang memang sengaja tidak dipasangi kamera pengintai. Lantai dua lebih privasi, kamar-kamar tidur mereka berada di lantai dua, sehingga Christian tidak memasangi kamera pengintai di sana. "Naik ke lantai atas." Adriana mengangguk membenarkan perkataan si petugas. Tangannya mencengkram lengan suaminya erat. Adriana semakin yakin telah terjadi sesuatu kepada putranya. Ketakutan akan menemukan Andre sudah tidak bernyawa menghantui Adriana. Dia takut Andre akan mengambil jalan pintas menyusul Vian dengan cara mengakhiri hidupnya. Gillian memeluk bahu sahabatnya. Dia tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak. Menanti saat-saat berpisah yang sama sekali tidak pernah diharapkan. Semua itu sangat menyakitkan. Hari-harinya selalu dihantui ketakutan. "Andre pasti nggak akan kenapa-kenapa, he is fine! Just sure that!" ucap Gillian meyakinkan Adriana. Adriana mengangguk. Iya, dia harus yakin kalau putranya tidak akan kenapa-kenapa. Andre baik-baik saja seperti yang Gillian katakan. Meski nalurinya mengatakan sebaliknya, Adriana tetap mencoba untuk yakin. "Kamar Vian," celetuk Dini. "Kita belum mencari Andre ke kamar Vian." Dini menatap mereka semua bergantian. "Dini yakin Andre ada di sana!" serunya. Bergegas Adriana keluar dari ruang kendali, setengah berlari menuju tangga dan menaikinya. Adriana sudah berlari sekarang, dia sudah berada di lantai dua. Dini mungkin saja benar, Andre berada di dalam kamar itu. Kenapa hal itu tidak terpikirkan olehnya? Panik dan khawatir membuatnya melupakan satu hal penting di rumah ini, kamar Vian. Adriana menghentikan langkahnya beberapa meter di depan kamar almarhumah Vian. Melangkah pelan mendekati pintu kamar yang tertutup. Tangan Adriana gemetar memutar handle pintu. Sungguh air matanya tidak bisa lagi dibendung menyadari pintu yang terkunci. Rasanya tak mungkin putranya berada di dalam kamar ini, pintu kamar terkunci, tidak bisa dibuka. "How is it?" tanya Gillian begitu tiba di samping Adriana. Melihat gelengan kepala dan air mata Adriana mereka sudah tahu jawabannya. Adriana tidak menemukan putranya. "The door is locked!" seru Max, ia sedang berusaha membuka pintu. Beberapa kali ia menggerakkan handle pintu, tapi daun pintu tak juga berubah posisi. "It's impossible!" bantah Gillian. Kepalanya menggeleng. "Pintunya nggak pernah dikunci. Aku membersihkan kamar ini setiap hari jadi pintunya nggak pernah aku kunci." Gillian tidak berbohong. Dirinya memang yang selalu membersihkan kamar mendiang putrinya. Gillian tidak mengizinkan siapa pun memasuki kamar almarhumah Vian selain dirinya dan Christian. Bahkan Dini pun tidak pernah lagi melihat isi kamar itu. Hanya sekali dan itu saat pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. "But it's really locked, Gill." Max menggelengkan kepala, mengembuskan napas berat melalui mulutnya. "Oh my God!" Gillian menutup mulutnya dengan tangan kanan. Menyentuh lengan Christian, meminta suaminya untuk mengambilkan kunci cadangan. Christian yang mengerti segera berlari ke kamar mereka tanpa bersuara. Selang satu menit pria itu sudah berada kembali di sisi Sang Istri. Memberikan kunci ke tangan Gillian yang gemetar dan berkeringat. Berulang kali Gillian mencoba memasukkan anak kunci ke lubang pintu, berulang kali juga gagal. Seolah ada yang mengganjal lubang itu. Christian mencoba membantu, mendorong dengan kuat dan berhasil masuk. Suara benda yang terjatuh memasuki gendang telinga mereka. Christian yakin kalau itu adalah suara kunci yang menyentuh lantai. Bunyi klek menandakan kunci terbuka membuat mereka mengembuskan napas lega. Christian mendorong pintu, melebarkannya agar mereka semua dapat melihat suasana di dalam kamar. Gillian mengerjap melihat keadaan kamar yang terang benderang. Juga sesosok tubuh yang terbaring di ranjang almarhumah putrinya. Itu Andre, sedang memeluk boneka kesayangan Vian. Adriana langsung menerobos masuk. Menghampiri putranya yang tampak tertidur. Adriana sangat terpukul menemukan jejak air mata di pipi Andre. Belum lagi air mata yang terus mengalir meski ia tertidur. Ataukah Andre tidak tidur? Siapa tahu Andre hanya memejamkan mata. Tangan Adriana terulur, mengusap rambut putranya yang masih memejamkan mata. Sepasang alisnya mengernyit tidak melihat pergerakan dari Andre. Seharusnya tubuhnya bereaksi. Meski tertidur, otak manusia tetap terjaga. Minimal Andre sedikit bergerak kalau tidak terbangun. Namun, Andre sebaliknya, ia tidak bergerak sedikit pun. Tangannya tetap memeluk boneka beruang berbulu putih pemberian Tara. Air mata Adriana luruh. Tangannya sekarang mengguncang bahu Andre sambil memanggil nama sang putra. "Ndre, kok, tidur di sini? Bangun, Sayang!" pinta Adriana lembut. Namun, Andre tetap tidak bereaksi. "Andre!" Sekali lagi Adriana memanggil. Kali ini dengan suara yang lebih keras. "Andre, bangun, Nak! Ini Mommy!" Andre tetap tak bergerak. Sepertinya ia terlalu pulas. Mungkin karena terlalu lelah sehingga Andre masih belum mau membuka mata. Hal itu mengakibatkan Adriana semakin kencang saja tangisnya. Gerakan tangannya mengguncang tubuh Andre semakin cepat dan kuat. Sampai-sampai tubuh itu berguncang. Percuma Max menahan Adriana, entah kenapa tenaga Adriana terasa lebih besar dari biasanya. Kepanikan membuatnya lebih kuat dua kali lipat. Andre yang merasa terganggu perlahan menggerakkan matanya. Mengerang lirih ketika menyadari kalau ia tidak hanya sedang bermimpi. Memang ada yang mengguncang tubuhnya, dan pelakunya adalah Sang Ibu. "Mom?" Sepasang alis tebal Andre berkerut melihat ibunya duduk di sisi kosong tempat tidur. Ia bangun perlahan setelah mengerjap beberapa kali dan mengucek mata. Gerakan Adriana terhenti dengan sendirinya. Menatap takjub dan kelegaan yang sangat pada Sang Putra yang ternyata tidak apa-apa. Tadi dia menduga putranya pingsan atau lebih buruk lagi sudah tidak bernyawa. Andre tidak bergerak sama sekali meski dia memanggil dan mengguncang bahunya. Hanya air matanya saja yang terlihat di balik bulu matanya. Andre menatap bingung orang-orang di depannya. Kenapa mereka ikut-ikutan berada di kamar ini? Bagaimana bisa? Bukankah ia sudah mengunci pintu kamar tadi? Andre berdecak tanpa suara, terhenyak ketika ibunya yang berlinang air mata menubruknya. "Mom?" Adriana tidak menyahut, hanya terisak di bahu lebar putranya. Sungguh, dia sangat khawatir tadi. Sekarang rasanya sangat lega, putranya tidak apa-apa. "Mom?" Sekali lagi Andre memanggil. Ibunya sangat menggelikan baginya. Tiba-tiba semuanya berada di kamar ini dengan wajah rata-rata terlihat ... cemas? Benarkah itu? Mereka semua cemas, tapi entah pada apa. Yang pasti satu hal, mereka semua sudah mengganggunya. Andre mendengkus kesal. Apalagi melihat Dini juga ada di antara mereka. Kekesalannya semakin bertambah saja. Untuk apa Dini juga berada di sini? Perempuan itu tidak diterima di kamar ini. "Kamu nggak apa-apa, 'kan, Sayang?" tanya Adriana mengurai pelukan. Membingkai wajah tampan yang ditumbuhi kumis tipis itu, memeriksa seluruh bagian tubuh Andre. Tentu saja Andre risih dengan ibunya yang memperlakukannya seperti seorang bocah saja. Pria itu berdecak, menjauhkan tangan Sang Ibu dari wajahnya. "I'm fine, Mom!" sahut Andre agak kesal. Sungguh, ia malu. Dirinya bukan lagi seorang bocah melainkan pria dewasa. Sudah tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. "Mommy aja lagi kenapa nangis-nangis kayak gini?" tanya Andre seraya mengusap air mata Adriana menggunakan ibu jarinya. "Jelek amat! Ntar Daddy berpaling dari Mommy kalo jelek gini." Andre tersenyum tipis, memeluk ibunya erat. Lega. Bukan hanya Adriana yang merasakan itu, tetapi juga semua yang berada di dalam kamar itu. Mereka ikut merasakan ketakutan Adriana saat Andre tidak bereaksi tadi. "Kamu jangan bikin takut lagi, dong." Adriana memukul pelan punggung Andre. "Mommy sama yang lainnya nyari kamu tapi kamunya nggak ada. Tau-tau ketemunya di sini." Adriana mengurai pelukan. Menatap Andre dengan air mata yang kembali mengalir. "Mommy pikir kamu kenapa-kenapa, kamu tadi nggak bergerak, Sayang." Andre memutar bola mata. "I'm fine, Mom. Aku nggak apa-apa. Aku tadi cuma pengen tidur aja. Kaget pas Mommy guncang bahu aku, dikira tadi ada gempa." Adriana membelalak, tapi kemudian tertawa kecil. Tangannya terangkat mengacak sayang rambut putranya yang berantakan. "Kalian, kok, bisa masuk ke sini?" tanya Andre. Suaranya sudah kembali datar. "Kan, aku udah kunci pintunya tadi." "Of course we all can go into this room," jawab Gillian. "Don't you forget, I have the spare key." Gillian tersenyum, menunjukkan kunci cadangan yang berada di tangannya. Dia menggoyang-goyangkannya. Sekali lagi Andre berdecak. Bagaimana mungkin ia bisa lupa pada hal sepenting itu? Dasar bodoh! Andre memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kamu kenapa berada di sini?" Christian yang bertanya. "Semuanya nyariin kamu, lho. Tara sama Dini sampe nangis." Andre tidak menunjukkan reaksi apa-apa mendengar kalimat terakhir Christian. Ia tidak peduli dengan hal itu. Tidak penting menurutnya, apalagi Dini. Kenapa juga perempuan itu harus menangis? "Nggak apa-apa, Om," sahut Andre datar. "Aku cuma pengen sama Vian aja." Gillian menghela napasnya yang tiba-tiba terasa sesak. Sebegitu besarnya kah cinta Andre untuk putrinya? Sudah sepuluh tahun Vian meninggalkan mereka, tapi Andre masih belum melupakannya. Gillian mendekati Andre yang masih berada di atas tempat tidur mendiang putrinya. Boneka beruang juga masih berada di pangkuan pria itu. Gillian duduk di sisi kosong tempat tidur di sebelah Adriana. Menatap Andre dengan mata yang berkaca-kaca. "Thank you," ucap Gillian serak. "Thank you for loving Vian this much. But, don't torture yourself in her memories. Please, don't make the people who love you worry you."¹ Bukan hanya Gillian yang berlinang air mata saat mengucapkan kata-kata itu, Andre juga menangis. Air matanya tumpah tanpa ia sadari. Benarkah semua yang dikatakan Gillian? Ia sudah membuat orang-orang di sekelilingnya khawatir? Andre menatap mereka semua bergantian, dan tatapannya berhenti pada wajah ibunya. Air mata masih membasahi pipi mulus Mommy meskipun ia sudah menghapusnya. "You have to get up and move on, don't get stuck in the memories of Vian. You have to make yourself happy." Gillian menggenggam tangan Andre, berharap pemuda itu mengerti. Andre menatap Gillian, menggeleng pelan beberapa kali. "Nah, I can't," jawabnya serak. "She's my happiness. If you think I'm unhappy, you're wrong. I'm so happy with all these memories. So, I beg to all of you, stop worrying about me. I am fine!"² Air mata Andre tak berhenti mengalir saat ia mengucapkan semuanya. Itu adalah ungkapan perasaannya, dan penegasan sekali lagi penolakannya terhadap kehadiran Dini. Gillian menutup mulutnya dengan kedua tangan. Cinta Andre ternyata sangat besar dan keras kepala, sampai-sampai tetap tidak mau berpaling. Namun, bukan hanya cintanya saja yang besar, luka yang dirasakan pria muda itu juga sangatlah besar. Dia dapat merasakan semua kepedihan dan luka Andre. Gillian mengangguk, dia tidak akan memaksa Andre lagi untuk melupakan mendiang putrinya. Dia yakin tidak akan pernah berhasil. Gillian mengangguk. "Thank you," ucapnya sekali lagi. "Thank you so much." Andre tidak menjawab, tidak juga mengangguk ataupun menggeleng. Ia justru bergerak turun dari tempat tidur, melangkah keluar kamar tanpa menoleh lagi. Ada lega yang dirasakannya. Anggukan Gillian dianggapnya sebagai restu baginya untuk tetap bersama Vian. Meski hanya di dalam kenangan, Vian tetap hidup. Yang pasti Vian tetap selalu berada di hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN