"Andre, udah siap belum, Sayang? Mommy nggak mau kita telat, ya!"
Andre meringis mendengar seruan ibunya. Mereka akan menghadiri pesta ulang tahun pernikahan orang tua almarhumah Vian. Sesungguhnya Andre ingin pergi sendiri ke pesta, ia sudah dewasa, sangat memalukan kalau masih pergi bersama kedua orang tua. Namun ibunya yang sangat cerewet luar biasa meminta untuk pergi bersama, berangkat dengan satu mobil saja.
Iya! Andre memang masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Ia memiliki sebuah apartemen tapi sangat jarang ditempati. Bukan karena ia takut tinggal sendiri ataupun tak ingin berpisah dari orang tuanya, melainkan karena Mommy yang tidak memberikan izin. Karena tak ingin membuat Mommy sedih, Andre menuruti saja keinginan ibunya. Sudahkah ia mengatakan kalau ibunya sangat cerewet? Berbagai macam alasan dikemukakan Mommy agar ia tidak meninggalkan rumah. Mulai dari bujukan sampai ancaman yang akhirnya membuatnya harus menuruti keinginan sang ibu.
Cepat-cepat Andre memasang jas-nya. Ia tidak ingin mendengar teriakan Mommy untuk yang kedua kali, karena setelah itu Mommy akan mengomel sepanjang perjalanan, terus berulang sampai besok hari. Sungguh, ia tidak ingin itu terjadi, bisa-bisa telinganya sakit dan harus diperiksakan ke dokter. Kemudian, saat dokter bertanya penyebab sakit telinganya, sangat menggelikan kalau ia harus menjawab karena omelan sang ibu. Andre bergidik, menggeleng sekali untuk mengusir pikiran melantur itu dari kepalanya sebelum keluar kamar. Andre menuruni tangga tergesa, kakinya menginjak lantai dasar rumahnya bertepatan dengan Mommy yang berbalik. Sepertinya Mommy berniat menyusulnya.
Adriana tersenyum melihat putra tunggalnya sudah bersama mereka. Putra tunggal yang selalu membuatnya bangga dan sedih dalam waktu bersamaan. Apalagi kala matanya menangkap cincin yang terpasang di jari manis Andre, cincin pertunangannya dengan almarhumah Vian, hati Adriana semakin teriris. Alasan utamanya melarang Andre untuk tinggal sendiri adalah karena ia tidak ingin terjadi apa-apa pada putranya. Ia tidak ingin Andre terus berhalusinasi dan mengatakan kalau Vian sedang berada di sisi atau di depannya. Ia sangat takut kesehatan mental Andre terganggu.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Adriana begitu Andre berdiri di sampingnya.
Max mengangguk, menyetujui usul istrinya. Sudah tidak ada lagi yang mereka tunggu kecuali Adriana ingin mengajak asisten rumah tangga mereka.
"Mommy, Andre naik mobil sendiri aja, ya?"
Sungguh, Andre rasanya sangat tidak nyaman harus berangkat ke pesta bersama kedua orang tuanya. Seperti bocah saja. Mungkin, seandainya usianya masih belasan, tidak akan masalah. Hanya saja ia sudah hampir 30 tahun, dan itu sangat memalukan.
Gelengan kepala Adriana membuat Andre mengerang. Perempuan itu tetap tidak ingin putranya pergi sendiri. Dia khawatir kalau-kalau Andre mengurungkan niat untuk pergi ke pesta mengingat ada Dini di pesta itu. Adriana tentu saja tahu, sampai detik ini Andre masih belum bisa menerima kehadiran Dini. Masih belum rela jantung dan mata Vian berada di tubuh Dini. Entah sampai kapan akan seperti ini, padahal Vian sendiri yang ikhlas dan sukarela memberikan kedua organ tubuhnya itu pada Dini. Namun, tetap saja Andre menyalahkan Dini, dan itu masih berlanjut sampai sekarang.
Mungkin orang-orang tidak tahu. Mungkin mereka mengira Andre sudah berubah, mereka menduga Andre sudah tidak membenci Dini, ia sudah tidak bersikap dingin dan tidak peduli lagi pada Dini. Namun, mereka salah. Andre masih seperti dulu, masih menolak dan membenci Dini. Hanya saja sudah tidak terlalu kentara lagi. Usianya yang sudah dewasa membuat Andre bisa menyembunyikan penolakan dan rasa bencinya pada Dini sehingga orang-orang salah menduga.
"Kamu pergi bareng-bareng Mommy sama Daddy aja. Kan, tadi janjinya kayak gitu." Adriana mengingatkan.
Dengan sangat amat terpaksa Andre memasuki mobil milik ayahnya, duduk di jok belakang. Bosan, Andre mengambil ponsel dari saku jas-nya. Membuka aplikasi berkirim pesan untuk mengecek siapa saja yang sudah mengiriminya pesan. Ada pesan dari Tara dan Farrel sahabatnya. Ada juga beberapa pesan dari nomor tidak dikenal. Ia tidak menyimpan nomor itu tapi yakin kalau pesan ini dari Dini. Andre langsung menghapus pesan itu tanpa membacanya terlebih dahulu. Selalu seperti itu, ia tidak pernah membaca pesan dari Dini, tidak pernah mau tahu dengan perempuan itu. Sudah cukup Dini merampas kebahagiaannya. Ia tidak akan membiarkan Dini melakukan hal lebih jauh lagi.
Lu udah di mana, Nyet?
Pesan dari Farrel. Sahabatnya itu sepertinya sudah tiba di tempat pesta, kediaman keluarga Santoso.
Gue udah tiba dari tadi.
Benar, kan, dugaannya? Farrel tidak akan memanggilnya dengan penghuni kebun binatang kalau tidak sedang menunggunya.
Masih di jalan gue.
Bentar lagi juga sampai.
Andre langsung mengirimkan dua buah pesan itu. Kemudian menyentuh pesan Tara dan membacanya. Pesan Tara lebih panjang dari pesan Farrel. Perempuan dan laki-laki sungguh berbeda. Laki-laki lebih suka langsung, sementara perempuan sangat penuh drama. Itu yang diyakini Andre, menurut pengalaman hidupnya. Vian meninggalkannya untuk selamanya tanpa memberitahu. Bukankah itu sangat drama?
Andre mengepal. Setiap mengingat Vian dadanya selalu saja sesak. Luka yang ditinggalkan Vian tidak pernah mengering, selalu berdarah setiap harinya. Semakin berdarah setiap ia mengingat Vian. Andre melirik jari manisnya. Cincin pertunangannya dan Vian masih melekat di sana. Dulu ia sempat melepasnya, kala kedua irang tuanya dan orang tua Vian memintanya untuk menerima Dini sebagai pengganti Vian. Hell yeah! Jangan bercanda! Vian tidak akan terganti. Hanya ada satu Vian di dunia ini dan itu adalah Cilia Vian Santoso.
Ndre, lo jadi, kan, ke pesta anniversary pernikahan ortu Vian?
Kok sampa sekarang lo belum datang juga?
Jangan-jangan lo urung datang lagi.
Awas lho, ya, Ndre, kalo nggak dateng! Gue pecat jadi sahabat gue baru tau rasa lo!
Sudahkah ia mengatakan kalau perempuan juga suka mengancam? Mereka selalu menggunakan ancaman atau air mata untuk mendesak dan memaksa. Sangat menyebalkan.
Gue masih di jalan, Ta
Bentar lagi juga nyampe
Andre membalas pesan Tara menggunakan kata-kata yang sama saat ia membalas pesan Farrel. Biarkan saja ia dinilai tidak memiliki perbendaharaan kata yang lain, ia tidak peduli. Lagipula, kedua sahabatnya menanyakan hal yang dana padanya, hanya saja pesan Tara dinilainya terlalu bertele-tele.
Tidak ada kemacetan yang berarti saat mereka di jalan raya, sehingga tak sampai satu jam mereka sudah tiba di kediaman keluarga Vian. Deretan kendaraan roda empat dari berbagai merek menyambutnya ketika Andre keluar dari mobil. Andre membiarkan kedua orang tuanya masuk ke dalam lebih dulu, ia akan menyusul mereka nanti, sebentar lagi. Tentu Andre tidak ingin dinilai sebagai bayi besar karena selalu mengekor kedua orang tuanya.
Getaran ponsel di dalam saku jas membuat Andre kembali mengambil benda itu. Satu pesan lagi dari Farrel diterimanya. Andre memutar bola mata jengah. Entah kenapa malam ini Farrel seperti perempuan saja, sangat cerewet.
Lu beneran datang, kan, bro?
Tapi, kok, lu nggak keliatan, cuman bokap sama nyokap lu doang.
Sudah ia duga. Pertanyaan Farrel terlalu mudah untuk ditebak. Andre menghela napas sebelum mengetikkan pesan balasan.
Gue masih di luar
Iya kali gue masuk ke dalam barengan ortu gue
Malu!
Andre mengembalikan ponsel ke tempat asalnya. Memasuki rumah besar di depannya yang tidak berubah sama sekali dengan langkah lebar. Suasana hangat menyambut matanya. Ruang tamu sudah disulap menjadi tempat pesta. Tidak ada lagi lukisan dan foto yang terlihat, semuanya dilapisi dengan gorden hias tebal berwarna putih, seperti tema pesta malam ini.
Andre segera membawa kakinya menghampiri Christian dan Gillian Santoso, ia ingin memberikan ucapan selamat kepada pasangan suami istri itu. Sungguh niatnya nyaris berhenti melihat Dini berdiri di samping Gillian, tapi ia tetap memaksakan diri. Sepasang suami istri itu adalah orang tua Vian, ibu dan ayah dari gadis yang dicintainya. Sungguh, ia akan sangat tidak sopan kalau tidak menghampiri mereka. Anggap saja Dini tidak pernah ada! Toh, ia sudah terbiasa dengan semua itu. Dini baginya hanyalah makhluk tak kasat mata.
"Om, Auntie, selamat, ya!" Andre mengulurkan tangan pada Christian kemudian memeluk pria itu hangat.
"Kirain kamu nggak datang, Ndre," ucap Christian tersenyum sambil mengurai pelukan mereka.
Sungguh, melihat Andre di sini merupakan sebuah keajaiban baginya. Andre sangat jarang mau berkunjung ke rumah mereka, sibuk menjadi alasan utama. Begitu pun saat jamuan makan malam yang biasanya sebulan sekali mereka laksanakan, Andre juga tidak muncul. Selalu saja ada alasan yang membuatnya tidak bisa hadir. Padahal Andre hanya tidak ingin bertemu Dini. Christian memaklumi sikap Andre yang sampai sekarang masih belum merekam mata dan jantung Vian berada di tubuh putri angkatnya itu. Hanya saja, ia tidak menyangka kalau kekerasan Andre bertahan sampai sepuluh tahun meninggalnya Vian.
"Iya, Om." Andre meringis. Sungguh, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu sering ia menolak undangan keluarga Santoso. Kaki ini pun ia ingin menolaknya. Seandainya saja Mommy tidak bersandiwara dengan air mata buaya yang membuatnya harus menurut. "Aku lagi nggak ada kerjaan juga, kosong. Jadi, ya ...." Andre mengangkat bahu, berusaha menunjukkan senyum terbaiknya pada Christian.
"Okay." Christian mengangguk. "Terima kasih udah datang," ucapnya tanpa menutupi kegembiraan dalam nada suaranya.
Andre mengangguk. Beralih pada Gillian yang terlihat memukau dengan riasan minimalis. Andre tidak meragukan kecantikan ibu Vian. Kecantikan yang menurun pada mendiang Vian.
"Andre!"
Gillian yang lebih dulu memeluknya. Mengusap-usap punggungnya hangat dan lembut. Andre baru tahu kalau Gillian menangis setelah perempuan itu mengurai pelukan.
"Andre, so nice to see you here. I thought you weren't coming."
Sekali lagi Andre meringis. Keseringannya absen pada acara-acara yang diselenggarakan keluarganya dan keluarga almarhumah Vian membuatnya harus terbiasa dengan pertanyaan itu. Ia yakin kalau ini bukanlah pertanyaan terakhir.
"I'm not too busy tonight. So, I guess I can ...." Andre mengibaskan kedua tangan kacau sambil mengangkat bahu.
Gillian tersenyum. Sama halnya seperti suaminya, Gillian juga dapat memaklumi Andre. Pria itu sangat jarang muncul karena tidak ingin bertemu Dini. Andre yang sampai sekarang masih belum bisa menerima mata dan jantung Vian di dalam tubuh Dini, juga dapat diterimanya. Dia juga awalnya seperti itu, tidak dapat menerima. Namun, akhirnya dia dapat menerima setelah membuka hati. Juga melihat sakit dan penderitaan Dini dalam beradaptasi dengan kedua organ itu. Gillian tahu Dini terluka, sampai sekarang pun dia masih bisa merasakan kepedihan perempuan itu. Meski Dini sekarang lebih pandai menutupi semua luka dan perasaannya, tapi sebagai seorang ibu dan sesama perempuan dia dapat merasakannya.
"Thank you for your coming." Gillian tersenyum hangat. Memeluk Andre sekali lagi dan membiarkannya berlalu tanpa menyapa atau menatap Dini yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
Gillian menoleh pada putri angkatnya, memeluk perempuan itu memberinya kekuatan.
"Dini nggak apa-apa, Ma. Dini kuat, kok," ucap Dini tersenyum. "Kan, udah terbiasa."
Gillian mengusap kepala Dini, mengecupnya sekali sebelum kembali memeluknya lagi.
***
Andre menaiki tangga dengan langkah lebar. Tujuannya adalah kamar Vian yang berada di lantai dua. Ia masih ingat di mana letak kamar itu, meski sudah lama tidak melihatnya. Masih dengan langkah lebar bahkan setengah berlari Andre menuju kamar Vian begitu kakinya menginjak lantai dua. Andre berhenti pada pintu berwarna merah muda dengan tulisan Vian's room pada daun pintu. Tangannya gemetar menyentuh handle pintu. Andre berharap ada keajaiban di dalam kamar ini selain pintunya yang tidak terkunci ini.
Keadaan kamar Vian gelap gulita. Andre segera menekan saklar yang berada di dinding dekat pintu untuk menyalakan lampu. Mata biru Andre mengerjap begitu lampu menyala, menyesuaikan dengan cahaya. Warna merah muda menyambutnya. Tangan Andre menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia akan berada di sini saja selama pesta berlangsung. Sungguh, ia tidak menyukai pesta dan segala kehingarbingarannya, terlalu mengganggu baginya yang menyukai kesunyian.
Kaki Andre melangkah pelan, matanya mengamati interior dan barang-barang di kamar ini dengan teliti. Tidak ada yang berubah, semua tetap sama. Termasuk foto Vian berukuran besar yang menempel pada dinding di depannya. Andre membawa kaki mendekat ke arah foto itu. Sungguh dadanya sangat sakit dan sesak, semakin dekat jaraknya semakin perih dadanya. Udara terasa semakin berkurang membuat napasnya semakin berat.
Andre tersengal, tangannya gemetar menyentuh foto itu. Vian tampak sangat bahagia di foto, senyum manisnya mengembang sempurna. Senyum manis yang justru semakin menorehkan luka di hatinya. Andre menundukkan kepala, membuat bulir-bulir bening tumpah dari sana. Ia terlalu rindu pada sosok gadis di dalam foto, sudah terlalu lama mereka tidak bertemu. Bahkan di dalam mimpi juga Vian semakin jarang mendatanginya. Mimpinya beberapa malam yang lalu adalah mimpi terakhir setelah beberapa bulan ia tidak pernah bermimpi tentang Vian. Setelah itu tidak ada lagi, Vian seolah tak ingin menemuinya lagi.
Andre merasa dadanya semakin sesak. Air matanya juga semakin deras. Kepala bersurai gelap itu masih tertunduk dengan bahu berguncang. Tanpa mengangkat kepala, apalagi mengusap air matanya, Andre menyeret kaki menuju tempat tidur Vian dan membaringkan tubuhnya di sana. Tangannya meraih boneka beruang putih berukuran sedang. Andre masih ingat, Tara yang membelikan boneka ini untuk Vian.
Andre memeluk boneka erat, membenamkan wajahnya di punggung boneka. Wangi Vian menguar dari sana. Wangi yang tidak akan pernah dilupakannya, wangi khas yang hanya dimiliki seorang Cilia Vian Santoso.
Tubuh Andre semakin berguncang seiring tangisnya yang semakin kuat. Berada di dalam kamar Vian membuatnya semakin sedih dan terluka. Andre sudah tahu itu, ia mengambil resiko ini agar merasa dekat dengan Vian-nya.